NovelToon NovelToon
THE SECRETARY SCANDAL

THE SECRETARY SCANDAL

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Playboy / Obsesi / Kehidupan di Kantor / Romansa / Fantasi Wanita
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: NonaLebah

Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."

Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.

Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.

Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.

Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 15

Karmel membuka pintu rumah bergaya Skandinavia yang sederhana namun elegan itu dengan perasaan lega telah melewati kemacetan Jumat malam yang menyiksa. Namun, rasa leganya segera berganti dengan kekakuan yang menusuk ketika matanya menangkap sosok yang paling tidak ingin ia lihat.

Renzi dengan santainya duduk di sofa linen berwarna krem, ditemani Nani yang sedang tersenyum lebar. Adegan ini terasa seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan.

"Ngapain dia disini, Bu?!" suara Karmel meninggi, tak mampu menyembunyikan rasa jijiknya.

Nani tampak sedikit tersinggung. "Jangan ngomong gitu dong, Mel. Renzi kesini karena jengukin Ibu katanya." Wajah ibu itu memancarkan kebahagiaan yang polos. "Dia sampai tau lho Ibu lagi sering bolak balik ke rumah sakit."

Renzi menyunggingkan senyum tipis yang penuh arti, matanya yang dingin berhasil menyembunyikan niat sebenarnya. "Bagus ya rumahnya, Mel. Sepertinya yang selalu kamu bilang. Kamu suka rumah tipe Skandinavia." Senyumnya semakin lebar saat melihat reaksi Karmel. "Pasti mahal."

Karmel tertegun. Bagaimana mungkin Renzi tahu tentang impiannya memiliki rumah bergaya Skandinavia? Detail-detail percakapan intim mereka di masa lalu ternyata masih diingatnya dengan baik, dan kini digunakan sebagai senjata.

"Itu bukan urusan kamu," balas Karmel dengan ketus. "Aku mau ke kamar dulu, Bu. Capek!"

Dia berbalik dan meninggalkan Nani dan Renzi tanpa tatapan lagi, langkahnya cepat dan penuh amarah.

Nani menghela napas. "Maafin Karmel ya, Renz. Ibu juga nggak tau kenapa semenjak kalian putus, Karmel jadi tempramen."

Renzi berpaling ke Nani dengan wajah yang tiba-tiba berubah menjadi manis dan penuh perhatian. "Kalau Renzi balikan lagi sama Karmel, Ibu setuju?"

Wajah Nani langsung berbinar. "Ibu dukung banget, Renz!" Tangannya yang keriput menggenggam tangan Renzi dengan hangat. "Bilang aja Ibu mesti bantu apa biar kalian bisa balikan."

Renzi membalas genggaman itu dengan lembut. "Aku mau nginep boleh? Biar besok aku bisa joging pagi sama Karmel lagi kayak dulu."

Tanpa ragu, Nani langsung mengangguk antusias. "Boleh banget! Ibu siapin kamar tamunya ya."

Sementara di lantai atas, Karmel menutup pintu kamarnya dengan gemas. Dia bersandar di balik pintu, jantungnya berdebar kencang campur marah. Renzi tahu persis bagaimana cara melobi ibunya - dengan menunjukkan perhatian yang tulus pada kondisi kesehatannya, dengan mengingat detail-detail kecil yang bahkan Karmel sendiri sudah lupa.

Nani memang selalu punya soft spot untuk Renzi. Selama tiga tahun hubungan mereka dulu, Renzi selalu menjadi pria sempurna di mata Nani - selalu ingat untuk mengirimkan buah-buahan segar saat Nani sakit, rutin menanyakan kondisi kesehatannya, bahkan pernah menemani Nani kontrol ke dokter jantung saat Karmel sedang dinas luar kota.

Yang tidak Nani tahu, di balik sikap manisnya itu, Renzi adalah manipulator ulung yang sedang memainkan bidak-bidak dalam permainannya. Dan malam ini, dengan menginap di rumah mereka, Renzi baru saja melangkah lebih dalam ke dalam benteng pertahanan Karmel.

***

Hujan mengguyur Jakarta malam itu, menciptakan irama dentingan yang monoton di atap rumah bergaya Skandinavia itu. Karmel yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya di lantai atas, menuruni tangga kayu oak dengan langkah berat. Aroma makanan hangat memenuhi rumah, tapi itu tidak cukup untuk menghangatkan suasana yang sudah mulai tebal sejak sore.

Matanya langsung menyempit ketika melihat Renzi duduk santai di meja makan, seolah-olah dia adalah tuan rumah. Pria itu malah sedang asyik memotret hidangan dengan ponselnya, cahaya layar menerangi senyum puas di wajahnya.

"Kok dia masih disini sih, Bu. Suruh pulang kek," keluh Karmel, suaranya sengaja dikeraskan agar Renzi mendengar.

Nani yang sedang mengangkat semangkuk sayur dari dapur, meletakkannya di atas meja dengan hati-hati. "Renzi nginep disini ya, Mel," ujarnya, seolah itu adalah pengumuman biasa.

"Bu!" seru Karmel, tidak percaya.

"Lagian diluar hujan," Nani berusaha memberi alasan, tangannya menunjuk ke arah jendela dimana hujan memang sedang turun deras.

"Dia kan kesini pakai mobil, Bu, bukan motor. Jadi nggak mungkin kehujanan," bantah Karmel dengan logika yang tajam.

Renzi hanya terdiam, menikmati setiap detil pertengkaran ini. Dia bahkan menyeringai kecil saat melihat Karmel semakin kesal.

"Lagian udah malem juga. Renzi pasti capek bawa mobil jauh," Nani mencoba alasan lain, matanya memohon pada Karmel.

"Masih jam 8, Bu. Belum terlalu malem," Karmel menatap jam dinding di ruang makan. "Kalau nggak mau bawa mobil, pesan aja taksi. Tinggalin mobilnya disini."

Saat itulah Renzi memasang wajah sedih yang sempurna - kepala sedikit tertunduk, bibir bergetar palsu. "Renzi pulang aja deh, Bu. Karmel nggak suka aku disini," ujarnya dengan suara memelas yang dibuat-buat.

Taktik itu langsung bekerja. Nani segera mendekat, menepuk punggung Renzi. "Nggak papa, Renz. Nginep disini aja. Nggak usah perduliin omongan Karmel," tegasnya dengan suara yang tidak bisa ditawar.

"Bu!" Karmel hampir menjerit, tapi dia menahannya. Dia melihat mata ibunya yang sudah mulai berkaca-kaca - tanda bahwa Nani benar-benar khawatir jika harus mengusir Renzi dalam hujan begini.

"Udah, Mel. Nggak usah ngeributin hal yang begini," Nani akhirnya bersikap tegas, sesuatu yang jarang dilakukannya. Tangannya yang keriput memegangi pinggangnya yang sering sakit, gestur yang biasa dia lakukan saat lelah atau stres.

Karmel menatap ibunya, lalu melihat Renzi yang kini tersenyum kecil - senyum kemenangan yang hanya bisa dilihat olehnya. Di balik senyum itu, terbaca jelas pesannya: Aku menang lagi.

Dengan napas berat, Karmel akhirnya menyerah. Dia mengambil tempat duduk di seberang Renzi, sejauh mungkin dari pria itu. Tapi sejauh apapun jarak fisiknya, dia tahu pertempuran malam ini belum berakhir. Renzi telah berhasil menembus benteng terakhirnya - rumahnya sendiri.

Sementara di luar, hujan semakin deras, seolah menyetujui bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang dan penuh ketegangan bagi Karmel.

***

Jam dinding di ruang keluarga menunjukkan pukul 00.15. Seluruh rumah sudah diselimuti keheningan malam, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang sesekali tersibak dari balik awan. Di ruang keluarga, Renzi masih terduduk di sofa kulit, ditemani oleh cahaya biru dari laptopnya yang menyala di atas meja kayu. Layarnya penuh dengan grafik dan data analisis, tetapi matanya yang biasanya tajam kini tampak kosong, menatap sesuatu yang tak kasat mata di balik angka-angka itu.

Dari lantai atas, Karmel terbangun karena haus. Botol air mineral di samping tempat tidurnya sudah kosong. Dengan mata masih setengah mengantuk, ia berjalan keluar kamar, menyusuri koridor gelap, dan menuruni tangga kayu yang berderak pelan di bawah langkahnya.

Cahaya dari laptop Renzi langsung menarik perhatiannya. Karmel berusaha tak memandang, berjalan langsung menuju dapur. Bagi dia, melihat Renzi bekerja hingga larut malam bukanlah pemandangan asing. Ia masih ingat betul, dulu di apartemen lamanya, sering kali terbangun tengah malam dan menemukan Renzi tenggelam dalam pekerjaan, wajahnya terlihat tajam dan fokus di bawah cahaya layar komputer.

Setelah mengisi botol airnya, Karmel berbalik untuk kembali ke kamar. Namun, langkahnya terhenti. Renzi sudah berdiri menghadang di ambang pintu dapur, bayangan tubuhnya yang tinggi memanjang di lantai kayu.

"Kita udah lama nggak berduaan, Mel," bisik Renzi, suaranya rendah dan bergetar palsu. "Aku butuh banget pelukan kamu."

Karmel mencoba melewatinya. "Minta aja sana sama cewek-cewek simpanan kamu!"

"Mereka nggak ada yang sesempurna kamu," Renzi membalas, dan sebelum Karmel sempat menghindar, tangannya sudah meraih pinggang ramping Karmel.

"Lepas, Renz!" Karmel memberontak, tetapi cengkeraman Renzi terlalu kuat.

"Ssttt..." Renzi mendekatkan bibirnya ke telinga Karmel. "Nanti ibu kamu bangun."

"Jangan macam-macam kamu! Ini rumah aku!" suara Karmel bergetar, antara marah dan takut.

Renzi tersenyum sinis. "Rumah yang kamu beli dari hasil jual barang-barang mewah pemberian aku?"

"Apa masalahnya kalau aku jual semua barang itu?!" Karmel membalas, suaranya kini dingin dan penuh tantangan. "Itu semua udah jadi milikku kan? Jangan bilang kamu mau minta lagi." Ada kepuasan kecil dalam nada ejekannya.

Renzi tertawa pendek, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Karmel sekali lagi, napasnya hangat menusuk. "Kalau kamu mau, aku bisa beliin lagi yang lebih mahal. Sebut aja yang kamu suka. Asal..." suaranya turun menjadi bisikan yang penuh hinaan, "...kamu layanin aku seperti dulu."

Plak!

Suara tamparan itu memecah kesunyian malam. Karmel melayangkan tamparan keras ke pipi Renzi, membuat kepala pria itu sedikit terpental ke samping.

"Jangan harap!" Karmel mendesis, matanya berapi-api dalam kegelapan.

Dengan langkah cepat dan penuh amarah, Karmel melewati Renzi yang masih memegangi pipinya yang tersengat, meninggalkan pria itu sendirian di ruang keluarga. Renzi tersenyum pelan di balik tangannya yang menutupi pipi, bukan karena sakit, tapi karena dia tahu—reaksi Karmel yang masih begitu emosional membuktikan satu hal: dia masih berarti bagi wanita itu. Dan dalam permainan pikiran Renzi, itu adalah senjata yang lebih berharga daripada segalanya.

1
Forta Wahyuni
jd males bacanya, pemeran wanitanya walau cerdas tpi tetap harga dirinya bisa diinjak2 oleh lelaki jenius tapi murahan.
muna aprilia
lanjut 👍
Forta Wahyuni
hebat Renzi bilang karmel murahan n dia tak tau diri krn tunjuk satu lg menunjuk tepat ke mukanya bahwa dia juga sampah. lelaki jenius tapi burungnya murahan n bkn lelaki yg berkelas n cuma apa yg dipki branded tapi yg didalam murahan. 🤣🤣🤣🤣
Forta Wahyuni
knapa critanya terlalu merendahkan wanita, harga diri diinjak2 n lelakinya boleh masuk tong sampah sembarangan. wanitanya harus tetap nerima, sep gk punya harga diri n lelaki nya jenius tapi burungnya murahan. 🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!