Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
Lampu-lampu neon berkelip liar dengan diiringi oleh dentuman bass yang begitu sangat keras, menggema ke seluruh bagian dalam sebuah ruangan tertutup yang dipenuhi oleh banyak sekali anak muda berpakaian kekinian—ada yang memakai dress bodycon, tanktop, atau sekadar kaus oversize berpadu dengan sneakers mahal.
Para pelayan mondar-mandir membawa nampan berisi gelas kaca berkilauan, sementara seorang DJ yang berada di atas panggung terus-menerus memutar musik EDM yang membuat lantai semakin bergetar.
Beberapa anak muda mengangkat botol minuman mereka ke udara, menyoraki beat yang semakin bertambah menggila sambil mulai berdansa ria.
Di sebuah lorong menuju salah satu ruangan, terlihat sosok Aira sedang berjalan dengan kecepatan sedang, sembari memasukkan kedua tangan ke dalam jaket oversize berwarna putih yang memiliki style Korea miliknya.
“Aku baru tahu kalau di malam selain weekend tempat ini juga ramai … bahkan, kayaknya lebih ramai daripada hari Sabtu sama Minggu, deh,” batin Aira, melihat banyak sekali orang yang sedang memenuhi area tempat kerjanya, seraya sedikit menggembungkan kedua pipi putihnya—kala merasakan rasa dingin sangat luar biasa, “Sumpah, malam ini dingin banget. Padahal aku udah pakai jaket sama celana panjang, tapi hawa dinginnya tetap nggak bisa buat ditahan … beda banget sama malam-malam sebelumnya, yang walaupun pakai dress bodycon aja nggak ada rasanya sama sekali.”
Aira mengembuskan napas lewat bibir mungilnya secara perlahan-lahan, sambil mulai mempercepat langkah kakinya agar sesegera mungkin dapat tiba di tempat tujuannya pada malam hari ini.
Beberapa menit berlalu, pintu sebuah ruangan secara perlahan-lahan mulai terbuka, menampilkan sosok Aira sedang melangkahkan kaki ke dalam seraya berusaha mengukir senyuman—meskipun hanyalah senyuman tipis.
Beberapa orang perempuan yang sudah terlebih dahulu berada di dalam sana refleks mengalihkan pandangan ke arah belakang, lantas membalas senyuman yang sedang diberikan oleh Aira.
“Akhirnya kamu datang juga, Sayang,” kata Cassandra—seorang perempuan berumur 42 tahun yang memiliki tubuh proporsional dan begitu sangat terawat, dengan rambut panjang bergelombangnya yang memiliki warna hitam kemerah-merahan—saat melihat Aira sedang berjalan mendekati tempat dirinya berada.
Aira sedikit merekahkan senyumannya, lantas menghentikan langkah kaki tepat di samping kanan seorang perempuan berambut pendek sebahu yang saat ini tengah mengenakan tanktop serta hotpants berwarna putih. “Maaf, aku telat, Mami.”
Cassandra mengangguk paham, kemudian memberikan kode kepada para perempuan lain untuk kembali bekerja setelah dirinya selesai menjelaskan semuanya sebelum Aira datang sekarang. Ia lantas melangkahkan kaki menuju salah satu sofa panjang yang berada di dalam ruangan—sesudah para perempuan lain meninggalkan ruangan kerjanya—sembari memberikan kode kepada Aira untuk duduk di hadapannya.
Mengerti dengan kode itu, membuat Aira segera mendudukkan tubuh di hadapan tempat Cassandra berada, seraya mengeluarkan kedua tangan ramping nan lentik miliknya dari dalam saku jaket.
“Ada apa, ya, Mi? Kayaknya cuma aku doang yang belum dikasih penjelasan, ya?” tanya Aira, menyandarkan punggung ke sandaran sofa sambil menyelipkan beberapa helai rambut yang sedikit berantakan ke belakang telinga kanan.
Cassandra mengangguk pelan, menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kirinya sambil menatap lekat wajah cantik salah satu anak kesayangannya itu. “Iya, Sayang … Yang lain udah Mami kasih tahu … soalnya mereka harus balik lagi kerja.”
Aira hanya mengangguk-anggukkan kepala pelan sebagai jawaban, membalas tatapan yang sedang diberikan Cassandra sambil menunggu perkataan selanjutnya yang akan segera dirinya dengarkan.
“Jadi, gini, Sayang ….” Cassandra menaruh kedua tangan di atas lututnya, sebelum kembali membuka suara. “Ini soal kejadian malam minggu kemarin … kamu tahu nggak kalau ada salah satu pelanggan kita yang habis berantem sampai nggak sadarkan diri?”
Mendengar hal itu, membuat Aira spontan sedikit melebarkan mata sambil menelan air liur dengan begitu sangat susah payah—saat mengingat kembali tentang kejadian pada malam Minggu, malam di mana dirinya hampir saja diperkosa oleh salah satu pelanggan club tempat dirinya bekerja.
Aira diam sejenak sambil menggigit bibir bawahnya cukup kencang, lantas secara perlahan-lahan mulai menganggukkan kepala. “Tahu, Mi … itu pelangganku. Waktu itu … setelah aku selesai nemenin dia … dia yang lagi dalam keadaan mabuk maksa aku buat mau berhubungan suami-istri. Jelas, waktu itu aku nolak, walaupun tahu tenagaku nggak sebesar dia … tapi, aku beruntung … waktu aku udah mau menyerah dan pasrah, ada cowok yang bantuin aku … dia langsung hajar orang itu sampai nggak sadarkan diri, Mi.”
Cassandra tidak langsung memberikan respons. Perempuan berusia empat puluhan awal itu hanya menatap Aira cukup lama—sorot matanya berubah menjadi lebih lembut, meskipun bibirnya tetap terjatuh rapat. Setelah beberapa detik hening yang terasa sangat panjang, dirinya mulai menarik napas pelan dan menautkan jari-jemarinya yang masih berada di atas lutut.
“Jadi, bener, ya …,” kata Cassandra dengan suara sangat rendah, nyaris seperti bisikan, “Mami sempat bingung karena dengan kejadian itu kita cukup merugi walaupun nggak terlalu banyak … Mami tadi udah tanya ke yang lain, dan mereka bilang kalau itu memang pelanggan kamu … Yah, setelah tahu cerita lengkapnya dari kamu … Mami jadi tahu harus ambil tindakan apa sekarang.”
Aira kembali menggigit bibir bawahnya cukup kencang. “Ma-maafin aku, ya, Mi … karena aku, bisnis Mami jadi merugi.”
Cassandra menggelengkan kepala pelan sambil mengukir senyuman begitu sangat lembut—senyuman yang berbeda dari biasanya, tidak diselimuti oleh wibawa serta ketegasan seperti saat dirinya dalam mode bekerja. “Nggak usah ngomong kayak gitu, Sayang … Mami jauh lebih lega tahu kamu nggak kenapa-kenapa. Uang bisa dicari, tapi kalau kamu sampai kenapa-kenapa malam itu … Mami nggak bakal bisa tenang.”
Nada suara Cassandra terdengar begitu sangat tulus dan penuh kehangatan, membuat dada Aira terasa sesak oleh rasa bersalah serta hari yang datang secara bersama-sama. Perempuan berparas cantik itu menundukkan kepala, berusaha menahan sesuatu yang hampir saja jatuh.
“Tapi, tetap aja, Mi … kalau cowok itu sampai sadar dan nuntut, bisa gawat, kan?” kata Aira dengan suara mulai bergetar, “Aku takut kalau nanti malah nyeret Mami juga ….”
“Tenang aja, Sayang. Mami akan urus semuanya. Orang itu nggak bakal bisa nuntut siapa-siapa. Dia yang mabuk dan dia yang mulai duluan … jadi, semuanya akan aman,” jelas Cassandra, sembari sedikit menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi indera penglihatannya, “Oh, iya … gimana keadaan panti? Semuanya aman? Udah nggak ada orang-orang yang gangguin adik-adik kamu lagi?”
Aira mengangguk pelan sebagai jawaban, sembari mulai mengangkat kepala untuk menatap wajah Cassandra sambil mulai mengukir senyuman manis.
“Syukurlah kalau gitu. Oh, iya … untuk Minggu ini … kamu mau ngambil istirahat dulu, kah? Biar pikiran kamu benar-benar fresh lagi?” tawar Cassandra, membalas senyuman Aira dengan tidak kalah manisnya.
Aira diam sejenak sambil kembali menggigit bibir bawahnya cukup kencang—seolah di dalam hati sedang berperang dengan pikirannya sendiri—sebelum kembali membuka suara.
“Kalau boleh, Mi … kayaknya aku mau resign aja ….”