Selama ini Tania hidup dalam peran yang ia ciptakan sendiri: istri yang sempurna, pendamping yang setia, dan wanita yang selalu ada di belakang suaminya. Ia rela menepi dari sorot lampu demi kesuksesan Dika, mengubur mimpinya menjadi seorang desainer perhiasan terkenal, memilih hidup sederhana menemaninya dari nol hingga mencapai puncak kesuksesan.
Namun, kesuksesan Dika merenggut kesetiaannya. Dika memilih wanita lain dan menganggap Tania sebagai "relik" masa lalu. Dunia yang dibangun bersama selama lima tahun hancur dalam sekejap.
Dika meremehkan Tania, ia pikir Tania hanya tahu cara mencintai. Ia lupa bahwa wanita yang mampu membangun seorang pria dari nol, juga mampu membangun kembali dirinya sendiri menjadi lebih tangguh—dan lebih berbahaya.
Tania tidak menangis. Ia tidak marah. Sebaliknya, ia merencanakan pembalasan.
Ikuti kisah Tania yang kembali ke dunia lamanya, menggunakan kecerdasan dan bakat yang selama ini tersembunyi, untuk melancarkan "Balas Dendam yang Dingin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Siang itu, rumah terasa sunyi, Dika sudah berangkat bekerja. Sebuah mobil berhenti di pekarangan rumah Tania. Tania yang sedang membaca di ruang keluarga, sedikit terkejut mendengar suara mobil Luna yang familiar.
Tania meletakkan buku bacaannya ke sofa, melangkah ke pintu depan dan membukanya.
"Luna? Aku pikir kamu masih di luar kota," sapa Tania, ramah.
"Aku baru sampai tadi, langsung ke sini. Aku khawatir sama kamu, Tan," balas Luna, cemas.
"Aku baik-baik saja, ayo masuk," ajak Tania, mempersilakan Luna masuk.
Mereka berdua berjalan menuju ruang keluarga. Di perjalanan, Luna merendahkan suaranya, berbisik tegang di telinga Tania.
"Tadi aku sempat hubungin temanku yang kerja di kantor Dika, Tan. Dia kaget banget dengar Dika selingkuh, karena dia tahu Dika sudah menikah."
Tania berhenti melangkah, menatap Luna dengan serius. "Terus?"
"Dia juga kenal sama wanita itu! Namanya Farah... Farah Kirana," bisik Luna penuh amarah.
"Katanya, Farah itu dulunya cuma karyawan magang di sana. Gara-gara sering ketemu Dika, mereka jadi dekat. Temanku bilang Dika yang minta Farah resign setelah mereka jadian, dan janji mau biayain hidupnya!"
"Dan kamu tau? Teman ku bilang ada gosip soal Farah yang kemungkinan punya banyak hutang, soalnya ada karyawan lain yang waktu itu mendengar percakapan Farah di telpon, toilet kantor."
Wajah Tania mengeras mendengar detail pengkhianatan itu. Tapi dia segera memasang topeng tenangnya kembali.
"Sudah, ayo masuk," potong Tania, melanjutkan langkahnya ke ruang keluarga.
Mereka berdua berjalan menuju ruang keluarga. Televisi menyala, dan Farah duduk dengan tenang di sofa, menonton acara drama, seolah-olah rumah itu miliknya.
Farah menoleh, menatap Luna dengan pandangan bingung, tidak mengenali wanita itu.
Namun, Luna langsung terkejut. Matanya membulat. Dia mengenali wajah itu, wajah wanita yang bermesraan dengan Dika di restoran. Luna menunjuk Farah dengan jari telunjuknya, tubuhnya menegang, siap menerkam.
"Kamu!" sentak Luna, suaranya keras.
Seketika Tania tersadar dan teringat soal Luna yang juga mengetahui siapa Farah. Dengan gerakan cepat, Tania membekap mulut Luna. Tangan Tania yang secepat kilat membekap mulut Luna, cengkeramannya kuat, isyarat mata Tania penuh peringatan, membuat Luna terdiam karena terkejut akan kekuatan sahabatnya yang biasanya lembut itu. Tania menarik paksa sahabatnya itu menjauh dari ruang keluarga.
Tania menarik Luna ke ruang kerjanya, menutup pintu dengan rapat. Luna langsung melepaskan bekapan Tania, dan mulai marah-marah.
"Tania! Kamu gila, ya? Kamu tahu dia siapa, kan? Bisa-bisanya kamu menampung selingkuhan suamimu sendiri di sini! Kamu wanita bodoh!" sembur Luna, berapi-api.
Tania tetap tenang, membiarkan Luna melampiaskan amarahnya. Setelah Luna sedikit tenang, Tania angkat bicara.
"Aku punya rencana sendiri, Lun," kata Tania, nadanya datar dan penuh makna.
"Aku masih harus menunggu, yang jelas belum saatnya," kata Tania lagi.
"Aku ingin kamu bekerja sama denganku. Berpura-pura lah tidak tahu apa-apa, berpura-pura lah percaya akan cerita bohong mereka bahwa Farah adalah sepupu Dika."
Luna menatap Tania, bingung. "Maksud kamu?"
"Jadi si Dika bawa selingkuhannya masuk dan membuat cerita seolah-olah wanita nggak tau diri itu, sepupunya?" Luna benar-benar marah, ia berkacak pinggang di depan Tania.
"Iya," jawab Tania singkat.
"Ya Tuhan, Taniaaaa... aku benar-benar gak mengerti sama jalan pikiran kamu, sudah seperti ini kamu tetap bilang punya cara sendiri," Luna menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tapi Tania! Kita punya bukti foto dan video mereka berdua. Kita bisa hancurkan mereka sekarang juga. Kenapa harus menunggu?" geram Luna, frustrasi.
"Nggak bisa, Lun. Mas Dika sudah merencanakan ini matang-matang, ada perjanjian pra-nikah yang mengikat. Kalau aku gegabah, aku yang akan kalah dan Mas Dika yang akan mendapatkan semuanya."
Luna terkejut. "Perjanjian? Perjanjian apa?"
"Perjanjian pra nikah. Makanya aku butuh rencana yang sempurna. Aku butuh kamu untuk bekerja sama denganku. Berpura-pura lah tidak tahu apa-apa, berpura-pura lah percaya akan cerita bohong mereka bahwa Farah adalah sepupu Dika," jelas Tania.
Luna terdiam sejenak, memproses informasi yang mengejutkan itu. Wajahnya menunjukkan dilema antara amarah dan logika. Akhirnya dia mengangguk pelan, menatap Tania dengan ekspresi baru—kagum bercampur takut.
"Baiklah, aku ikut rencanamu, Tan," ujar Luna, akhirnya.
Sebuah seringai dingin muncul di bibir Tania. Tania menuntun Luna ke meja kerjanya. Meskipun Luna merasa heran, ia tetap pasrah tangannya ditarik oleh Tania, rasa penasaran kini mengalahkan amarahnya.
Tania duduk di kursi kerjanya, sementara Luna berdiri di sampingnya, sedikit membungkuk untuk melihat layar laptop. Tania menyalakan laptopnya dan mulai membuka folder tersembunyi yang dilindungi kata sandi.
"Kamu harus lihat ini," ucap Tania, suaranya tenang tapi penuh otoritas. "Aku punya lebih banyak bukti dibanding kamu."
Tania pun mulai menunjukkan buktinya yang ia simpan di laptopnya. Dia memutar rekaman suara dari hari sebelumnya—percakapan Dika yang meremehkannya, rayuan Farah, dan rengekan manja mereka. Kemudian, Tania beralih ke video. Video buram dari kamera tersembunyi, merekam Dika dan Farah berduaan di kamar tamu, gestur mesra mereka, dan ciuman rahasia mereka.
Luna terkejut, matanya membelalak. Tangannya secara refleks menutupi mulutnya yang terbuka lebar. Pemandangan di layar laptop itu lebih mengerikan daripada video singkat Dika di restoran yang ia rekam beberapa waktu lalu
"Ya Tuhan, Tania..." bisik Luna, suaranya tercekat. "Mereka... mereka benar-benar melakukannya di rumah ini?"
Tania hanya mengangguk kecil, seringainya tetap terukir.
"Ini... ini rekaman dari mana, Tan? Kamu pasang kamera?" tanya Luna, semakin terkejut.
"Tentu saja," jawab Tania santai. "Semua area vital di rumah ini ada mata-mata kecilku."
Luna menggeleng-gelengkan kepalanya, air mata samar muncul di matanya—tapi bukan karena sedih, melainkan karena rasa bersalah dan kekaguman. Akhirnya ia mengerti: sahabatnya tersebut bukanlah wanita yang bodoh seperti katanya tadi. Bahkan Tania lebih cerdik darinya. Semuanya benar-benar terencana, dan Luna kini merasa bangga sekaligus takut akan kecerdasan dingin sahabatnya itu.
"Aku... aku minta maaf, Tan. Aku menyebutmu bodoh tadi," kata Luna tulus. "Kamu lebih cerdik dari kita semua. Semuanya benar-benar terencana."
"Nggak papa, Lun," balas Tania, menepuk lembut tangan Luna. "Sekarang kamu tahu apa yang aku hadapi. Aku punya amunisi yang cukup untuk menghancurkan mereka, tapi aku harus melakukannya di waktu yang tepat."
Di sisi lain...
Di luar pintu ruang kerja yang tertutup rapat, Farah berdiri tegang. Dia langsung mengikuti Tania keluar dari ruang keluarga ketika melihat Tania menarik wanita asing yang memanggilnya "Kamu!". Instingnya menjerit bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Farah menempelkan telinganya ke kayu pintu yang dingin, berusaha sekuat tenaga menangkap percakapan di dalam.
"Sial! " gerutu Farah dalam hati. "Pintu ini kedap suara! Aku nggak bisa mendengar apapun! "
Farah menggeretakkan giginya karena kesal. Dia yakin, Tania dan wanita yang baru saja ditariknya sedang merencanakan sesuatu. Ada aura konspirasi yang kuat dari cara Tania membekap mulut wanita itu.
"Mas Dika bilang Tania bodoh dan polos? Lihat cara dia menarik wanita itu tadi! Itu bukan gerakan wanita polos! Mereka pasti sedang membicarakanku! "
Farah semakin frustrasi. Dia melirik ke arah dapur, memastikan tidak ada Ibu Dika di sana. Dia merasa terisolasi dan curiga. Dia harus tahu apa yang sedang terjadi di balik pintu tertutup itu, sebelum terlambat.
Farah menendang pintu sedikit, mencoba menciptakan suara agar mereka tahu ada orang di luar, tapi percuma. Dia hanya bisa mondar-mandir di depan pintu dengan gelisah, otaknya berputar cepat, mencoba menebak apa yang sedang direncanakan oleh Tania yang ternyata lebih cerdik dari dugaannya.
Kembali ke ruang kerja Tania...
Di dalam, Tania dan Luna, yang fokus dengan bukti video, tidak menyadari kehadiran Farah di luar. Fokus mereka terarah pada layar laptop.
"Kapan waktu yang tepat itu, Tan? Aku sudah gatal ingin melihat mereka berdua menerima balasan yang setimpal," desak Luna.
Tania menutup laptopnya dengan gerakan cepat, pandangannya tajam menembus mata Luna.
"Sebentar lagi, Luna. Sebentar lagi."
Bersambung...