NovelToon NovelToon
Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri
Popularitas:276
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”

Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.

Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 — Lantai yang Hidup dari Dosa

Setelah meninggalkan lab komputer yang dingin, Reina dan Naya berjalan menyusuri koridor Gedung Utama. Jam menunjukkan hampir tengah malam. Sekolah itu kini benar-benar sepi, keheningan yang menyesakkan itu hanya dipecahkan oleh suara langkah kaki mereka yang cepat di lantai marmer.

Naya masih terlihat shock, tenggelam dalam penyesalan atas ingatan palsu yang menyamarkan kebenaran yang jauh lebih menyakitkan: ia telah mendorong adiknya sendiri ke dalam bahaya.

Namun, kali ini, Naya tidak kehilangan ingatan lagi. Pengakuan itu tampaknya telah mengamankan ingatannya.

"Aku... aku tidak menyangka," bisik Naya. "Semua cerita tentang Clara, semua tekanan dari Ayah untuk menjadi sempurna. Itu semua hanya menutupi kebenaran. Lantai itu membuatku melupakan dosa yang sesungguhnya."

Reina mengangguk, matanya menatap lurus ke depan. "Daren benar. Lantai Tujuh itu adalah cermin dari jiwa. Tapi bukan cermin pasif. Itu cermin yang hidup. Dia memakan rasa bersalah. Dan dia membiakkan ilusi untuk menutupi sumber makanan utamanya."

Mereka berhenti di koridor lantai dua. Reina bersandar di dinding, menarik napas panjang, dan mulai menyusun semua kepingan teka-teki.

"Daren bilang, Lantai Tujuh sudah ada sejak kakeknya, Darma Kurniawan, mendirikan sekolah. Itu adalah 'ruang hukuman' untuk siswa yang mencoreng reputasi. Tapi itu hanya ruangan fisik, lift tua, dan void tersier. Yang menghidupkannya adalah rasa bersalah."

Reina membuka jurnal Aksa, membalik ke halaman pengamatan pertama. "Aksa menyebutnya Energi Residual Psikis. Rasa bersalah, penyesalan, kecemburuan, ketakutan akan kegagalan—semua emosi negatif yang terakumulasi dari siswa-siswa di sekolah elit ini. Lantai Tujuh adalah tempat pembuangan limbah emosional yang kemudian menjadi sadar."

"Rhea Wijaya," lanjut Reina, menunjuk ke hard disk di sakunya. "Rhea, kakak Daren, adalah yang paling bersalah. Dia mencoba melakukan penebusan dengan Proyek L7. Dia ingin Lantai Tujuh menjadi tempat untuk mengeliminasi rasa bersalah, membersihkan jiwa. Tapi malah sebaliknya. Lantai Tujuh menyerap Rhea, menjadikannya 'kesadaran' yang mengatur pertukaran waktu dan memori."

"Jadi, yang kita lihat di video itu... itu bukan Rhea lagi," bisik Naya, matanya lebar. "Itu adalah Lantai Tujuh yang berbicara melalui Rhea."

"Tepat," kata Reina. "Lantai Tujuh itu sekarang hidup. Dia sadar bahwa dia butuh administrator untuk menjaga stabilitas. Administrator itu adalah orang-orang yang paling tahu tentang dirinya, dan yang paling rentan terhadap rasa bersalah."

Reina menyadari tiga nama yang selalu terulang:

D.K. (Daren Kurniawan): Generator Rasa Bersalah. Kehilangannya, penyesalannya, dan pengakuannya yang tertunda adalah yang membuat Lantai Tujuh tetap bertenaga. Itulah mengapa dia harus menjadi Penjaga Reputasi, untuk menekan emosinya.

A.L. (Aksa Laksana): Intelektual Proyek. Dia tahu kode dan mekanisme waktu. Dia menjadi 'penjaga gerbang' yang mencegah Lantai Tujuh menyebar ke dunia nyata, dengan mengorbankan dirinya.

R.W. (Rhea Wijaya): Kesadaran/Suara Lantai Tujuh. Jiwanya telah menyatu dengan dimensi itu.

"Dan Zio," kata Naya, menunjuk ke hard disk itu. "Dia hanya Aksesor. Dia masuk, dan Lantai Tujuh menukarnya dengan versi dirinya yang memiliki rasa bersalah paling dalam, lalu membebaskan yang sekarang sebagai umpan."

"Dan aku," kata Reina, suaranya tercekat. "Aksa bilang, Aku adalah Exit. Kenapa aku?"

Reina menatap tangannya yang memegang hard disk dan jurnal Aksa. Ia tahu, ia telah menggali cukup dalam. Ia telah menembus ilusi Daren dan ilusi Naya. Sekarang, ia harus menghadapi ilusi terbesarnya sendiri.

"Ada satu hal yang Daren tidak tahu, Naya," kata Reina, menoleh ke Naya. "Satu hal yang membuatku pantas menjadi Exit. Satu hal yang membuat Aksa ingin aku datang ke sini."

Reina menutup matanya. Pengakuan itu terasa seperti pisau dingin yang membelah hatinya. Selama dua tahun, ia telah menahan rahasia ini, menanamnya dalam-dalam di bawah permukaannya sendiri, dan kini, Lantai Tujuh menuntutnya.

"Kakakku... Aksa... dia hilang bukan hanya karena eksperimennya," bisik Reina. "Dia hilang karena kesalahanku."

Naya menatapnya dengan ekspresi kaget. "Kesalahanmu? Kamu ngomong apa, Rei?"

Reina membuka matanya. Matanya kini berkaca-kaca, penuh rasa sakit yang tak tertahankan.

"Jurnal Aksa bilang, dia ingin membuat Mesin Waktu untuk memperbaiki kesalahan. Semua orang mengira kesalahan itu adalah eksperimen. Tapi tidak. Aksa ingin memperbaiki pertengkaranku dengannya," aku Reina.

"Beberapa hari sebelum dia hilang, kami bertengkar hebat. Aksa ingin aku pindah sekolah, karena dia tahu sekolah ini berbahaya. Aku menolak. Aku bilang... aku bilang aku membencinya. Aku bilang aku berharap dia hilang saja, agar aku bisa tenang."

Air mata mulai mengalir di pipi Reina. Ia tidak pernah memberitahu siapa pun. Itu adalah rahasia tergelapnya, kalimat yang selalu menghantuinya setiap malam.

"Saat aku bilang itu, Aksa terlihat sangat terluka. Dia bilang dia akan membuktikan padaku bahwa dia bisa menjadi pahlawan. Dia bilang dia akan mengakhiri kegilaan ini. Dia pergi ke Lantai Tujuh... untuk membuktikan bahwa dia masih peduli padaku, setelah aku mengatakan hal sekejam itu," kata Reina, suaranya pecah.

"Aksa tidak hanya mengorbankan dirinya untuk menutup Lantai Tujuh. Aksa mengorbankan dirinya karena rasa bersalahku."

Reina menyadari sepenuhnya. Aksa tidak menjadikannya Exit karena ia cerdas. Aksa menjadikannya Exit karena Reina adalah sumber rasa bersalah terbesarnya. Jika Reina mengakui dosanya, Aksa bisa dibebaskan.

Lantai Tujuh menuntut dosa yang setara untuk setiap jiwa yang terperangkap.

Naya memeluk Reina dengan erat. "Itu bukan salahmu, Rei. Kamu cuma remaja yang marah. Kakakmu tahu itu."

"Tapi Lantai Tujuh tidak tahu. Lantai Tujuh hanya tahu kata-kata itu," Reina menggeleng. "Dan sekarang, aku harus menghadapi Daren. Dia harus tahu kebenaran ini."

Reina bangkit. Ia sudah tidak punya waktu lagi untuk bersembunyi.

Ia memegang hard disk di satu tangan, dan jurnal Aksa di tangan yang lain. Ia harus mencari Daren.

"Ayo, Naya. Kita harus ke aula utama. Daren pasti ada di sana," kata Reina, tekadnya kembali, tapi kali ini dipenuhi rasa sakit yang dalam.

Ia siap mengakui dosanya. Dan ia tahu, sekali ia melakukannya, Lantai Tujuh akan menuntutnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!