Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.
Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Umar menangkap nada serius dari Bu Koniyah saat dia menatap mereka berdua bergantian.
"Kalian baik-baik di sini ya, Umar," ucapnya pelan tapi tegas.
"Jaga Nay di kota besar ini. Kalian sudah jadi pasangan suami istri. Nggak boleh ada lagi saling curiga, lirik sana sini."
Sambil mengucapkan itu, dia meletakkan tangannya di bahuku, memberikan kekuatan sekaligus beban yang tak terlihat. Umar menunduk sejenak, dadanya berdebar lebih kencang. Rasanya tanggung jawab sebagai suami membuncah dalam hatinya, harus melindungi Nay sepenuh jiwa.
Tanpa kata lebih lanjut, keluarga Umar segera melanjutkan perjalanan ke Semarang, meninggalkan kami berdua di rumah sederhana ini di Jakarta. Mereka yang akan mengurus semua hal tentang Nay di sana, termasuk pekerjaan mengajarnya yang kini tertutup pintu sekolah swasta.
Umar menatap kosong ke luar jendela sambil memutar otak.
“Apakah Nay akan kecewa kalau tahu dia harus meninggalkan pekerjaannya?” gumamnya lirih dalam hati.
Ia sudah memutuskan, barang-barang Nay yang ada di kos akan diurus oleh bibi, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah orang tuanya. Bayangan Nay repot membawa semua barang itu membuat dadanya terasa ringan.
Di sisi lain, Bapak dan Ibu Umar sedang bersiap kembali ke Semarang. Mereka masih harus mengurus pondok pesantren tak jauh dari rumah.
Umar merasakan ketegangan di dadanya ketika teringat orang tuanya akan menemui keluarga besar Citra untuk menyampaikan permintaan maaf atas putusnya pertunangan secara sepihak.
Wajahnya berubah serius, tangan terkepal pelan.
“Apakah mereka akan terluka? Apa mereka bisa menerima?” pikirnya kalut. Namun, suara kecil dalam dirinya berkata,
“Ini tanggung jawab keluarga. Kita harus sabar dan berharap.”.
*****
Di atas tempat tidur empuk yang dingin disapu hembusan AC, Nay berdebar, merasakan sentuhan Umar yang kian erat memeluknya. Desah dan lenguh mereka bergantian, mengisi ruang hening dengan gelora yang tak pernah Nay bayangkan sebelumnya. Matanya berkaca-kaca, berharap momen ini bukan sekadar mimpi.
"Ini nyata, ya?" gumamnya pelan dalam hati, seolah takut kebahagiaan ini hilang tiba-tiba. Umar, dosen muda yang sudah lama bersemayam di pikirannya, kini ada di sisinya, membuat dunia Nay terasa sempurna tanpa cacat.
“Seolah semesta memang merestui,” pikir Nay lirih, tenggelam dalam hangatnya cinta yang menyelimuti mereka berdua.
Nay menutup mata sejenak, napasnya memburu pelan saat mengingat momen itu.
“Seperti puisi yang terukir indah,” bisiknya pelan, wajahnya mengembang dalam senyum samar.
Hatinya dipenuhi kehangatan yang sulit dijelaskan, seolah semua keinginan lenyap dan hanya tersisa cinta yang mereka miliki saat ini. Dengan tangan meremas erat jaketnya, Nay membiarkan kenangan itu merasuk dalam-dalam, lalu menunduk pelan sambil membisikkan terima kasih kepada semesta yang telah merangkai kisah mereka sebuah cerita cinta yang tak mudah terlupakan.
Umar menatap lembut Nay, tangannya meraih rambut lurus yang tercium wangi alami setiap kali disentuhnya.
“Sayangku, terima kasih sudah mau jadi istriku. Rela ninggalin kerjaan di Semarang demi nemenin aku,” katanya pelan, seolah ingin memastikan setiap kata terucap dari hati.
Nay tersenyum tipis, dadanya hangat merasakan cinta yang mengalir dari suaminya. Dalam diam, ia tahu betapa Umar selalu tulus menjaga kebersamaan mereka. Umar sendiri terkadang mengerutkan dahi saat mengingat, agar tetap nyaman satu sama lain, mereka mesti rajin jaga kebersihan, terutama keramas. Sampo yang habis jadi PR kecil tapi bukan soal besar dibanding kebahagiaan yang mereka bina bersama. Ia pun membelai rambut Nay lebih erat, seolah ingin menyampaikan, bahwa pengorbanan kecil ini adalah bagian dari janji hidup mereka berdua.
Nay menatap Umar dengan mata berbinar, bibirnya membentuk senyum manis yang tak bisa disembunyikan.
"Iya, Mas! Aku benar-benar bersyukur punya kamu yang selalu mencintaiku dengan tulus," ujarnya pelan, sambil meraih tangan Umar dan menggenggamnya erat.
Tubuh Nay kini semakin lengket, tak ada lagi jarak di antara mereka. Rasa malu yang dulu sering hadir, perlahan memudar digantikan kehangatan dan kepercayaan penuh. Mereka berdua seolah berbicara tanpa kata, terbuka dan jujur dalam setiap tatap dan sentuhan.
*****
Pagi menjelang saat Nay sudah sibuk di dapur, mengaduk-aduk telur dan menyiapkan nasi hangat. Tangannya cekatan meski matanya sesekali melirik ke arah pintu, menanti Umar bersiap-siap. Hari ini Umar kembali ke kampus, tapi untuk pertama kalinya ia mengajak Nay ikut serta. Napas Umar sedikit berat, dada terasa berdebar saat bayangan teman-teman dosennya memenuhi pikirannya.
“Mereka pasti kesel gara-gara aku nikah diam-diam di Palembang, nggak ngajak,” gumam Umar dengan alis berkerut, sedikit cemas.
Namun sesampainya di kampus, suasana berubah. Senyum dan sapaan hangat menyambut mereka berdua. Rekan dosen, yang biasanya dingin, malah membawa kado-kado cantik dengan tangan terbuka. Airin, yang dikenal paling kritis, menatap mereka dengan senyum manis sambil menyerahkan bungkus kecil berbalut pita.
“Ini buat kalian berdua,” katanya lirih. Detak jantung Umar melunak, ada hangat memenuhi dadanya.
Ia menggenggam tangan Nay erat, merasa beruntung punya teman seperti mereka, yang tak hanya menerima, tapi juga mendukung dengan tulus.
Umar tersenyum tipis, matanya hangat menatap Nay yang tampak sibuk menikmati hari pertamanya sebagai istri resmi di kampus.
"Semoga pernikahan kami membawa berkah dan kebahagiaan, sekaligus menguatkan ikatan persahabatan dengan semuanya," gumamnya dalam hati, seolah memberi semangat untuk langkah yang mereka pilih.
Tiba-tiba, pertanyaan-pertanyaan dari Airin yang tak pernah berhenti mengalir seperti deras hujan deras membuat Umar dan Nay terpana.
"Kenapa mereka tidak bisa mengerti? Memang kami menikah diam-diam, tapi niat kami tulus," Umar berbisik dalam dada, rasa kecewa mulai menyelimuti.
Di ruangan dosen, Nay duduk dengan sikap tegang, mata sesekali menghindar dari tatapan penasaran para dosen yang jadi pusat perhatian. Udara terasa berat, seolah Nay adalah tamu asing di tengah keramaian itu.
"Bu Airin, jangan khawatir," suara Umar yang tenang memecah kesunyian,
"InsyaAllah akhir bulan ini kami akan mengundang semua dosen, Bu dan Pak."
Nay menggigit bibir bawahnya, gugup dan cemas membanjiri dadanya. Meski suaminya berkata tenang, hatinya bergetar menahan segala keraguan yang sulit diusir.
Umar menghela napas sebelum melanjutkan, "Kami baru akan mengadakan pesta pernikahan dan merayakannya di dua kota, Jakarta dan Semarang. Mohon maaf karena tidak memberitahukan sebelumnya."
Nay menatap Umar sejenak, dadanya terasa lebih ringan meski hati masih berdebar. Cinta dan komitmen mereka terikat erat, bahkan dalam pernikahan diam-diam ini. Namun, bayang-bayang pendapat para dosen menghantui pikirannya. Akankah mereka menerima alasan itu? Ataukah pertanyaan lain akan terus muncul menggerogoti?
Meski begitu, Nay mengusap lengannya sendiri, menenangkan diri.
"Tidak peduli apapun reaksinya, aku siap menghadapinya bersama Umar."
Bu Dosen Airin tersenyum lebar, suaranya penuh hangat,
"Wah, syukurlah. Kami tunggu hari bahagianya nanti," disusul anggukan dan senyum dari dosen-dosen yang lain.
Akhirnya hari itu, suasana ruang dosen dipenuhi tawa renyah dan senyum simpul. Seorang dosen laki-laki yang akrab dengan Pak Umar mengeluh ringan,
“Sekarang, semua gadis yang belum punya pasangan, termasuk mahasiswi dan dosen yang selama ini naksir Pak Umar, pasti patah hati.”
Ucapan itu disambut gelak tawa oleh hampir seluruh orang di ruangan, termasuk aku yang tak kuasa menahan senyum. Mataku menyapu satu persatu wajah rekan-rekan dosen, merasakan hangatnya keakraban yang terpancar meski ada rasa kecewa dan iri yang mungkin tersembunyi rapat di balik senyum mereka.
“Apakah benar ada yang tulus ingin menaklukkan hati Pak Umar, atau hanya sebuah permainan kecil?” pikirku, jantung berdebar tanpa alasan jelas. Namun, aku yakin, dari kebahagiaan satu orang di sini, semangat itu akan menyebar dan menjaga keharmonisan kita semua.