Setelah orang tuanya bunuh diri akibat penipuan kejam Agate, pemimpin mafia, hidup siswi SMA dan atlet kendo, Akari Otsuki, hancur. Merasa keadilan tak mungkin, Akari bersumpah membalas dendam. Ia mengambil Katana ayahnya dan meninggalkan shinai-nya. Akari mulai memburu setiap mafia dan yakuza di kota, mengupas jaringan kejahatan selapis demi selapis, demi menemukan Agate. Dendam ini adalah bunga Higanbana yang mematikan, menariknya menjauh dari dirinya yang dulu dan menuju kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obstacle
Akihisa, yang mengeluh karena harus menambah jam kerja, segera menjauhkan diri dari tumpukan kayu. Penjaga keamanan AgateX yang bertubuh besar itu melangkah mendekat, tinjunya terkepal erat.
Akihisa dan preman mafia yang bertubuh besar itu mulai bertarung dengan sengit di koridor yang minim cahaya. Penjaga itu adalah dinding; ia mengandalkan kekuatan murni dan massa tubuhnya. Akihisa, sebaliknya, mengandalkan kecepatan, teknik, dan kemarahan karena harus membersihkan kekacauan ini.
Akihisa berusaha melumpuhkan musuh di depannya dengan cepat. Ia melompat, menghindari pukulan keras yang bisa mematahkan tulangnya, dan mencari celah. Ia harus mengakhiri ini sebelum Dokter Kevin panik dan melukai korban.
Walau ia melancarkan pukulan dan tendangan, tubuh musuhnya begitu keras. Pukulan kerasnya ke rusuk atau tendangan ke lutut hanya menghasilkan gerutuan dari penjaga itu. Seolah-olah pria itu adalah karung pasir yang diisi semen.
"Astaga, kau terbuat dari apa, sih?!" gerutu Akihisa, sambil menghindari ayunan tangan besar yang nyaris menghantam kepalanya.
Akihisa tahu ia tidak bisa melawan kekuatan dengan kekuatan. Ia harus mengubah strategi—menggunakan lingkungan di sekitarnya dan mencari titik lemah yang tak terduga. Dokter Kevin dan korban di balik tirai plastik kini bergantung pada Akihisa untuk memenangkan pertarungan yang "tidak efisien" ini.
Pukulan Akihisa tidak mempan. Tenaga Akihisa mulai terkuras untuk terus menghindar dari tinju besar penjaga itu. Ia harus segera mengakhirinya.
Akihisa berpikir sembari menghindar dan sesekali menyerang. Pikirannya bekerja keras, mencari solusi yang ada di luar manual prosedur kepolisian.
"Aduh, ini sangat melelahkan! Protokol tidak berlaku untuk tank manusia," gerutu Akihisa dalam hati.
Ia mencoba mengingat apa yang dilakukan Indra jika lawannya seperti ini—bertubuh besar, mengandalkan kekuatan, dan sangat lambat. Akihisa tahu dia harus meniru mantan detektif jenius yang kini menjadi sopir taksi.
"Apa yang akan dilakukan si idiot Tsundere itu?"
Akihisa mengingat kembali sesi pelatihan yang konyol di masa lalu. Indra sering menggunakan strategi yang tidak lazim.
Akihisa tahu Indra tidak jenius dalam berpikir secara birokratis atau sistematis. Ia hanya jenius dalam bertarung, jenius dalam memanfaatkan kelemahan psikologis dan fisik lawan.
Tiba-tiba, sebuah trik yang dulu selalu dihindari Araya muncul di benak Akihisa. Indra tidak akan menyerang kekuatan lawan, melainkan menyerang sesuatu yang membuatnya marah dan kehilangan fokus.
Akihisa menyeringai. Ide itu sangat bodoh, sangat tidak profesional, dan sangat Indra.
Akihisa, yang telah mengingat kembali trik tidak lazim milik Indra, tidak ragu lagi. Ia tahu ia tidak bisa mengalahkan pria raksasa ini dengan pukulan biasa.
Akihisa mengambil sebuah batang besi yang tergeletak di antara puing-puing, mengubahnya menjadi tongkat yang ringan. Senjata sederhana ini adalah kunci untuk mengimbangi kekuatan kasar musuhnya.
Menggunakan kecepatan superiornya, Akihisa bergerak cepat. Ia tidak menargetkan kepala atau dada yang dilindungi. Sebaliknya, ia melompat dan mendarat di sisi belakang penjaga itu, memukul titik buta musuhnya—tepat di bagian belakang lutut pria itu dengan batang besi.
DHUAK!
Penjaga itu menjerit kesakitan dan terhuyung-huyung. Rasa sakit yang tiba-tiba di bagian tubuh yang tidak dilindungi itu langsung membuat marahnya. Matanya yang sebelumnya kosong kini dipenuhi kemarahan yang membara.
"Dasar bajingan cacing!" raung penjaga itu.
Ia mengabaikan rasa sakit dan berusaha menangkap Akihisa dengan ayunan tangan yang lebih liar dan membabi buta. Namun, Akihisa telah menciptakan celah—celah yang dibutuhkan untuk masuk dan melumpuhkan musuhnya sekali untuk selamanya. Taktik Indra memang menjengkelkan, tapi sangat efektif.
Penjaga AgateX yang marah itu maju menyerang, ayunannya kini liar dan tidak terarah. Akihisa memanfaatkan amarah itu, bergerak dengan tangkas.
Akihisa secara tidak langsung menyerang si penjaga sambil mengitarinya. Ia tidak berdiam diri, terus bergerak memutari pria itu, melancarkan tendangan rendah ke lutut yang sudah sakit, dan pukulan cepat ke sisi-sisi tubuh yang tidak dilindungi oleh rompi balistik.
Setiap serangan Akihisa memang tidak melumpuhkan, tetapi mengumpulkan rasa sakit dan kebingungan. Penjaga itu mencoba mengikuti, tetapi langkahnya menjadi lambat dan terhuyung-huyung, sementara Akihisa semakin cepat.
Hingga akhirnya si penjaga babak belur. Wajahnya penuh keringat dan memar, dan napasnya tersengal. Kelelahan dan rasa sakit membuat pertahanannya runtuh.
Akihisa melihat celah itu. Ia melompat maju, memutar tubuhnya, dan memberikan serangan terakhir di kepalanya—sebuah tendangan berputar yang tepat sasaran, menghantam pelipis penjaga itu. Pria besar itu ambruk ke lantai dengan bunyi yang keras, tidak sadarkan diri.
Akihisa terengah-engah, mengeluh dalam hati tentang betapa pegalnya bahunya besok.
Lalu Akihisa mengambil borgol dari balik mantelnya. Ia tidak mengambil risiko. Ia mengikat tangan dan kakinya ke salah satu tiang besi yang ada di koridor, memastikan penjaga itu tidak akan bangun sampai operasi mereka selesai.
Akihisa telah memenangkan pertarungannya. Sekarang, ia bisa fokus pada tugas utamanya: menyelamatkan korban dan menangkap Dokter Kevin.
Akihisa, setelah mengikat penjaga itu, segera berlari menuju pintu baja dan menyelinap melewati tirai plastik yang memisahkan area operasi. Ia mencari Dokter Kevin dan korban yang berada di meja bedah.
Namun, saat masuk ke dalam ruangan plastik, ia tidak menemui siapapun. Ruangan itu terang, peralatan medis terpasang rapi, tetapi meja operasi kosong.
Yang tersisa di sana hanya ada organ di rak kaca—organ manusia yang diawetkan, yang tampak seperti stok untuk dijual di pasar gelap.
Akihisa terkejut. Sirene dan serangan itu telah membuang waktu krusial mereka.
"Araya-san, Miku, lapor!" bisik Akihisa, napasnya memburu. "Aku kehilangan Dokter Kevin dan si pasien. Mereka sudah kabur! Mereka meninggalkan organ-organ yang diawetkan ini!"
Di markasnya (dan pinggir sungai), laporan ini memicu reaksi berbeda.
Miku terlihat panik.
"Apa?! Tidak mungkin! Kami menguasai semua exit!" seru Miku. "Mungkin ada terowongan rahasia!"
Sedangkan Araya dan Indra yang berada di pinggir sungai sudah menduga itu jebakan. Araya menghela napas, kekecewaan tergambar di wajahnya. Akihisa hanya menggigit umpan.
Indra tidak berbicara, ia hanya memperlihatkan ekspresi dinginnya, yang menyiratkan bahwa rencana jahat AgateX selalu selangkah lebih maju.
Araya, meskipun kecewa, segera kembali ke mode komandan.
"Akihisa, tenang!" perintah Araya melalui earpiece. "Tidak ada waktu untuk panik. Mereka pasti sudah lama pergi. Amankan organ yang ada di rak kaca itu sebagai bukti perdagangan. Dan pastikan penjaga yang kau lumpuhkan tadi dibawa ke kantor!"
Araya tahu, operasi penangkapan Dokter Kevin gagal, tetapi mereka masih mendapatkan bukti yang sangat penting. Perhatian kini harus kembali ke Akari, yang mungkin saja menjadi kunci untuk menemukan target yang kabur ini.
Setelah Araya memberikan perintahnya, Akihisa segera mengamankan barang bukti.
"Araya-san, aku sudah memanggil tim medis dan unit forensik dari kepolisian," lapor Miku dari sisi earpiece yang lain. "Mereka akan tiba dalam sepuluh menit. Tolong jaga dirimu, Akihisa."
"Setelah itu, komunikasi kita dimatikan," tambah Miku. Mereka harus memutuskan komunikasi untuk menghindari pelacakan dari pihak AgateX yang mungkin memonitor frekuensi polisi.
Operasi penyerbuan itu kini telah beralih dari misi penangkapan menjadi misi pengumpulan bukti.
Di pinggir sungai yang gelap, Araya menoleh ke Indra. Wajahnya menunjukkan rasa frustrasi dan pengakuan atas kegagalannya.
Jebakan itu sudah diduga oleh Indra sejak awal, ketika Akihisa melaporkan lokasi tanpa ada tanda-tanda keamanan ketat.
Indra melipat tangannya di depan dada, menyilangkan kakinya dengan santai, dan menatap Araya. Tatapannya dingin, tidak ada celaan yang terucap, tetapi pandangan mata itu seperti sedang mengatakan jika ia benar—bahwa mengandalkan protokol dan strategi kepolisian terlalu mudah ditebak oleh musuh sekelas AgateX.
Araya memejamkan mata sesaat. Ia tidak perlu kata-kata.
"Aku tahu," bisik Araya, suaranya mengandung janji. "Mulai sekarang, kita ikuti rencanamu. Akihisa dan Miku akan membersihkan kekacauan ini. Fokus kita kembali ke Akari."
Indra mengangguk. Komunikasi internal mereka telah selesai.