Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 - Panggilan Sayang?
Yuni berdiri terpaku di lobi perpustakaan.
Dia melihat punggung Sarah menghilang di tikungan.
Patah hati.
Dia melihat Juan yang berjalan santai masuk ke perpustakaan.
Marah.
Dia menatap Bu Reni di meja sirkulasi, yang menatapnya dengan kasihan.
Malu.
Patah hati, marah, dan malu.
Campur aduk emosi itu membuat perutnya mulas.
"Sialan," bisiknya lagi, lebih pelan.
Dia tidak bisa kabur.
Dia sudah dibayar.
Dia tidak bisa mengecewakan Dika.
Dia menarik napas.
Dia adalah seorang aktris sekarang.
Dia memakai topeng "Yuni yang Tenang".
Dia berjalan masuk ke perpustakaan.
Aroma buku dan pendingin ruangan yang familiar terasa berbeda.
Terasa... ternoda.
Keheningan yang biasanya menenangkannya, kini terasa mencekam.
Setiap batuk kecil, setiap gesekan halaman buku, terdengar seperti tuduhan.
Juan sudah memilih meja.
Tentu saja.
Meja terbesar di area terbuka.
Tepat di bawah kubah atrium yang terang.
Meja bundar besar yang biasanya dipakai untuk diskusi kelompok.
Sebuah panggung.
Setiap orang dari lantai satu, dua, dan tiga bisa melihat mereka.
Ini bukan belajar.
Ini pementasan.
Dia sudah duduk.
Tas ransel kulitnya diletakkan di kursi di sebelahnya.
Dia mengeluarkan laptop ultrathin yang mahal.
Buku teks Termodinamika yang tebalnya seperti kamus.
Dan... sebuah papan catur lipat.
Bukan papan catur plastik murah.
Papan catur kayu. Bidak-bidaknya terlihat berat dan mengkilap.
Yuni berhenti di depan meja.
"Apa ini?" katanya pelan, menunjuk papan catur.
Juan mendongak.
Dia menatap Yuni seolah dia bodoh.
"Catur," katanya.
"Skenario V.2.0."
"Kamu jago catur. Aku suka main sama kamu. Itu 'kegiatan' kita."
"Aku nggak..."
"Hafalkan," potong Juan.
"Duduk."
Yuni duduk.
Di seberang Juan.
Jarak satu meter yang aman.
Ada meja di antara mereka.
Juan mendecakkan lidahnya.
Bunyi decakan itu terdengar keras.
"Apa?" tanya Yuni.
"Nggak," kata Juan.
Dia berdiri.
Berjalan memutar.
Mengambil tas ransel Yuni (yang masih di bahunya).
Meletakkannya di lantai di sebelah kursinya.
Lalu dia menarik kursi di sebelah Yuni.
Suara kaki kursi yang bergeser di lantai marmer... memekakkan telinga.
Semua orang menoleh.
Dan duduk.
Bukan di seberang. Di sebelahnya.
Sangat dekat.
Terlalu dekat.
Lutut mereka hampir bersentuhan.
Yuni bisa mencium bau cologne Juan.
Segar. Mahal. Dan sedikit aroma mint.
Aroma yang tidak cocok untuk perpustakaan.
Aroma yang menginvasi ruang pribadinya.
Yuni menegang. Dia bergeser sedikit.
"Jangan kaku," bisik Juan.
Suara bisikannya terdengar di keheningan perpustakaan.
"Orang pacaran itu duduk sebelahan."
"Aku nggak bisa belajar kalau sedekat ini," balas Yuni.
"Kita nggak di sini buat belajar," kata Juan.
"Aku kira kamu ada kuis?"
"Itu beneran. Tapi prioritas pertama adalah... ini."
Dia menunjuk ke sekeliling.
Setidaknya sepuluh pasang mata sedang menatap mereka.
Berpura-pura membaca.
Tapi mata mereka ada di atas buku.
Dari lantai dua, seseorang sedang mengambil foto.
Yuni bisa melihat kilatan lensa.
Perutnya mulas lagi.
"Oke," kata Yuni.
Dia mengeluarkan buku catatannya.
Dan file skenario yang sudah dia cetak.
Kertasnya sedikit lecek.
Kontras dengan laptop Juan yang mengkilap.
"Skenario V.1.0," katanya. "Kamu belum hafal."
"Aku sudah baca," kata Juan.
"Oke, tes," kata Yuni, sedikit terlalu bersemangat.
Kesempatan untuk membalas.
"Kesan pertama kamu... tentang aku?" tanyanya.
Juan menatapnya.
"Serius?"
"Itu di skenario," kata Yuni. "Keluarga kamu akan bertanya."
Juan bersandar.
Dia menatap Yuni.
"Aku terkesan," katanya, suaranya datar, "Dengan kecerdasanmu... dan pengetahuanmu... soal sistem arsip."
Dia mengatakannya seperti sedang membaca resep obat.
"Aktingmu... lebih kaku dari aku," kata Yuni.
"Aku anak teknik," gerutu Juan. "Bukan anak teater."
"Kamu harus lebih baik."
"Kamu juga," balas Juan. "Ayo, panggil aku sesuatu."
Jantung Yuni berdebar.
"Panggil apa?"
"Panggilan sayang."
Yuni membeku.
"Panggilan... sayang?"
"Iya," kata Juan. "Masa pacaran panggil 'Juan'?"
"Semua orang panggil aku 'Juan'."
"Pacarku nggak boleh sama dengan semua orang."
"Aku nggak mau."
"Itu nggak ada di kontrak."
"Pasal Dua. Arahan wajar."
"Dan ini wajar. Kita butuh panggilan sayang."
Pikiran Yuni kembali ke julukan "Pecundang" yang dia berikan padanya.
Dan dia ingin panggilan sayang?
"Bagaimana dengan... 'Sialan'?" bisik Yuni.
Juan tertawa.
Tawa pelan yang tulus.
Itu mengejutkan Yuni.
Dia belum pernah mendengar Juan tertawa seperti itu.
Tawa itu membuat beberapa mahasiswa di meja lain menoleh.
"Nggak cukup manis buat Oma," kata Juan.
"Pikirkan."
"Aku nggak bisa," kata Yuni.
"Oke, kalau gitu gue yang pilih."
Juan mengetuk-ngetukkan pulpen mahalnya di dagu.
"Bagaimana dengan... 'Sayang'?"
Yuni bergidik. Terlalu klise.
"'Babe'?"
Yuni menggeleng.
"'Matahariku'?"
"Aku lebih baik mati," kata Yuni.
"Oke, oke. Susah banget."
Juan menatapnya.
"Kamu panggil aku... apa ya?"
"Bagaimana kalau... 'Kak'?"
"Kak?"
"Iya. Terdengar sopan. Oma-mu pasti suka."
"Sopan? Kita pacaran, bukan audisi pramuka."
"Aku panggil kamu 'Pecundang'," kata Juan. "Itu panggilan sayangku."
"Itu panggilan menghina."
"Itu panggilan sayang," tegas Juan. "Karena aku suka kamu jago catur. Itu... imut."
Yuni ingin muntah.
"Dan kamu," lanjut Juan. "Akan panggil aku... 'Mas'."
Yuni tersedak.
"Apa?"
"'Mas'," ulang Juan.
"Terdengar... dewasa. Terdengar mapan."
"Oma-ku suka hal-hal yang 'Jawa'. Sopan."
"Dan cukup 'lokal' untuk menipu Oma."
"Aku nggak akan panggil kamu 'Mas'," kata Yuni, ngeri.
"Atau 'Sayang'?" tawar Juan, tersenyum licik.
"Nggak."
"Atau 'Matahariku'?"
"Oke! Oke! 'Mas'!" kata Yuni, terlalu keras.
Keheningan perpustakaan pecah.
Pecah berkeping-keping.
Semua orang.
Semua orang yang pura-pura membaca.
Semua orang di lantai satu.
Bahkan orang-orang di lantai dua yang sedang menatap ke bawah.
Semua menoleh.
Wajah mereka kaget.
Bu Reni di meja sirkulasi mengangkat kepalanya.
Yuni memerah padam.
Dia menendang tulang kering Juan di bawah meja.
"Aduh!" Juan terkejut.
Yuni menatapnya tajam.
"Oke," bisik Juan, menahan sakit. "Oke, nggak usah 'Mas'."
"Kita... kita pikirkan nanti."
"Untuk sekarang..." Juan menatap Yuni.
"Cukup panggil nama."
"Tapi... panggil dengan benar."
Dia mendekatkan wajahnya sedikit.
"Panggil aku 'Juan'," bisurnya.
"Seolah-olah... kamu beneran suka sama aku."
Yuni menahan napas.
Wajah Juan terlalu dekat.
Dia bisa melihat bintik kecil di hidungnya.
Dia bisa melihat matanya yang ternyata tidak hitam pekat, tapi cokelat tua.
Dia bisa merasakan napas Juan di pipinya.
Jantungnya berdebar. Bukan karena suka.
Karena... invasi.
"Aku... "
"Yuni?"
Yuni membeku.
Juan juga.
Mereka berdua menoleh.
Sarah.
Berdiri di samping meja mereka.
Memegang setumpuk buku.
Buku-buku yang Yuni tahu... adalah buku-buku yang Yuni rekomendasikan padanya.
Wajahnya... pucat.
Dia menatap Juan. Lalu menatap Yuni.
Lalu menatap seberapa dekat mereka duduk.
"Sar..." kata Yuni, suaranya hilang.
"Maaf," kata Sarah. Suaranya dingin.
"Gue... mau ambil buku di rak belakang lo."
Dia bahkan tidak melihat ke arah Yuni lagi.
Dia berjalan melewati mereka.
Juan bersandar di kursinya.
Dia menghela napas.
"Temanmu?"
Yuni mengangguk.
Dia tidak bisa bicara.
Dia melihat Sarah menghilang di antara rak-rak.
"Dia tahu?" tanya Juan.
"Nggak," kata Yuni.
"Dia... curiga."
"Bagus," kata Juan.
Yuni menoleh. "Bagus?"
"Dia curiga kita pacaran," kata Juan. "Bukan curiga kita bohong."
"Itu artinya akting kita... berhasil."
Yuni menatap Juan.
Tidak percaya.
"Kamu... nggak punya hati, ya?"
Juan berhenti tersenyum.
Dia menatap Yuni.
"Perasaan... itu nggak ada di kontrak," kata Juan.
"Baik perasaanmu, perasaanku, atau perasaan temanmu."
"Ini pekerjaan, Yuni."
"Sekarang," katanya, menunjuk buku Termodinamika.
"Bantu aku belajar."
"Atau setidaknya, pura-pura bantu aku."
Dia membuka papan catur.
Mulai menyusunnya.
"Dan ayo main," katanya.
"Kamu bidak putih."
"Aku bilang aku nggak bisa main catur!"
"Kalau gitu... ini waktu yang tepat untuk belajar, kan?"
"Pecundang."