NovelToon NovelToon
Sayap Patah Angkasa

Sayap Patah Angkasa

Status: tamat
Genre:Angst / Tamat
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Realrf

Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rasa

Teriak Lila menggema, menyayat hati, merobek keheningan kamar 702, sebuah pisau sonik yang mengiris udara yang pekat dengan desinfektan rumah sakit.

Untuk sepersekian detik, dunia membeku. Angkasa, yang masih mencengkeram buku harian ibunya di bawah selimut, melihat Lila terpaku di ambang pintu, matanya yang indah kini menjadi dua lubang hitam kepanikan murni.

Kemudian, neraka pecah.

Pintu yang sama dibanting terbuka lebih lebar, menabrak dinding dengan keras. Dua perawat dan seorang dokter jaga menyerbu masuk, ditarik oleh jeritan monitor jantung yang melengking tanpa henti.

“Code blue, Kamar 702! Siapkan crash cart!” teriak sang dokter, suaranya tegas dan membelah kepanikan.

Lila tersentak dari kelumpuhannya. Insting perawatnya mengambil alih, tetapi matanya tidak pernah lepas dari wajah adiknya yang membiru. Ia berlari ke sisi ranjang, tangannya gemetar saat mencoba mencari denyut nadi di leher Gilang.

“Nggak ada… nggak ada denyut!” suaranya pecah, lebih terdengar seperti rintihan seorang kakak daripada laporan seorang medis.

Angkasa mendorong selimutnya, rasa pusing dan lemah di tubuhnya terlupakan. Ia bangkit, kakinya goyah, tiang infus berderit mengikutinya. Ia tidak bisa membantu secara medis, ia tahu itu. Tubuhnya adalah pengkhianat. Namun, ia tidak bisa hanya diam dan menonton.

“La,” panggilnya pelan, tangannya meraih lengan Lila yang bergetar hebat.

“Lila, lihat aku.”

Lila tidak menoleh. Matanya terpaku pada tim medis yang kini mengelilingi Gilang. Mereka merobek kaus rumah sakit remaja itu, menempelkan pad defibrilator di dadanya yang kurus.

“Jelas!” perintah dokter.

Tubuh Gilang terangkat sesaat dari ranjang, kejang oleh sengatan listrik, lalu jatuh kembali dengan bunyi yang mengerikan. Monitor masih menjerit, garisnya tetap datar.

“Nggak ada perubahan! Naikkan ke 200 joule! Siapkan epinefrin satu ampul!”

“Lila!” panggil Angkasa lagi, kali ini lebih keras, cengkeramannya di lengan wanita itu menguat.

“Kamu harus mundur sedikit. Biarkan mereka bekerja.”

Akhirnya, Lila menoleh. Di matanya, Angkasa melihat sesuatu yang lebih menakutkan daripada kematian, harapan yang sedang dihancurkan. Ia melihat perawat yang tegar itu lenyap, digantikan oleh seorang gadis yang ketakutan setengah mati akan kehilangan satu-satunya keluarga yang ia miliki.

“Dia… dia nggak napas, Mas,” bisiknya, air mata akhirnya mengalir deras membasahi pipinya.

“Gilang…”

“Dia kuat, La. Kamu tahu itu,” kata Angkasa, suaranya mantap meski jantungnya sendiri terasa seperti akan meledak.

“Dia petarung yang hebat.”

“Jelas!”

Tubuh Gilang tersentak lagi. Kali ini, sebuah blip lemah muncul di monitor, diikuti oleh blip lainnya. Jeritan monoton berubah menjadi serangkaian bunyi bip yang tidak teratur dan sangat cepat.

“Ada ritme! Sinus takikardia!” seru salah satu perawat lega.

“Saturasinya naik!”

Napas penuh kelegaan mengisi ruangan, tetapi ketegangan belum usai. Dokter segera memasang masker oksigen di wajah Gilang.

“Kita nggak bisa biarin dia di sini. Pindahkan ke ICCU sekarang juga. Kondisinya sangat tidak stabil,” perintah sang dokter.

Dalam hitungan menit, ranjang Gilang sudah didorong keluar ruangan oleh tim medis, dikelilingi oleh berbagai mesin yang berbunyi. Lila mengikuti seperti bayangan, satu tangannya tidak pernah lepas dari sisi ranjang adiknya, seolah takut jika ia melepaskannya, Gilang akan ikut menghilang.

Angkasa berdiri sendirian di tengah ruangan yang kini terasa begitu kosong dan dingin. Aroma ozon yang menyengat dari defibrilator masih tertinggal di udara. Di lantai, buah-buahan dari kantong kertas yang dijatuhkan Lila tergeletak berantakan,sebuah potret bisu dari kehidupan normal yang baru saja direnggut.

.

.

.

Angkasa menemui Lila satu jam kemudian, duduk di kursi besi yang dingin di luar ruang ICCU. Wanita itu tidak menangis lagi. Ia hanya duduk membungkuk, sikunya bertumpu di lutut, dan wajahnya tersembunyi di telapak tangannya. Punggungnya yang biasanya tegap kini melengkung karena beban kekhawatiran yang tak terlihat.

Angkasa menarik kursi lain dan duduk di sampingnya, tidak berkata apa-apa. Keheningan terasa lebih baik daripada kata-kata penghiburan yang kosong. Ia hanya duduk di sana, menjadi sauh di tengah badai yang mengamuk di dalam diri Lila.

Setelah keheningan yang terasa berlangsung selamanya, Lila akhirnya mengangkat wajahnya. Matanya bengkak dan merah, jejak air mata mengering di pipinya.

“Dokter bilang… ini serangan terburuknya,” ucapnya lirih, suaranya serak.

“Jantungnya terlalu lemah. Mereka bilang… kita harus siap untuk kemungkinan apa pun... kemungkinan yang terburuk.”

“Gilang itu keras kepala,” jawab Angkasa, mencoba tersenyum tipis.

“Dia nggak akan nyerah, dan kamu juga nggak boleh nyerah cuma karena omongan dokter.”

Lila tertawa kecil, tawa hambar.

“Seharusnya aku yang ada di sana. Seharusnya aku yang kena serangan jantung. Aku lebih tua. Aku udah ngerasain hidup. Dia… dia bahkan belum lulus SMA, Mas. Dia belum pernah ngerasain jatuh cinta, belum pernah liburan ke pantai kayak yang selalu dia omongin. Ini nggak adil.”

“Nggak ada yang adil soal ini, La. Hidup tidak pernah adil,” kata Angkasa pelan.

Lila menatapnya, tatapan yang begitu rapuh hingga Angkasa merasa hatinya ikut retak.

“Aku takut,” akunya dalam bisikan.

“Aku takut banget. Kalau dia pergi… aku sendirian. Aku nggak punya siapa-siapa lagi.”

Kata-kata itu menghantam Angkasa lebih keras dari diagnosisnya sendiri. Aku nggak punya siapa-siapa lagi.

Itu adalah kalimat yang telah ia gumamkan pada dirinya sendiri selama delapan belas tahun. Mendengarnya dari bibir Lila, wanita yang telah menjadi pilar kekuatannya, terasa seperti melihat dunia terbalik.

Tanpa berpikir, Angkasa mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Lila yang dingin.

“Kamu nggak sendirian,” katanya, dan kata-kata itu terasa begitu benar, begitu nyata.

“Kamu punya aku.”

Lila menatap tangan mereka yang bertautan, lalu kembali menatap mata Angkasa. Ia tidak menarik tangannya. Sebaliknya, ia balas menggenggam, cengkeramannya erat, putus asa.

Seolah-olah Angkasa adalah satu-satunya pelampung di lautan yang ganas. Yang sedang mengombang-ambing dirinya.

Malam merayap turun, mengubah koridor rumah sakit yang terang menjadi lorong-lorong temaram yang hanya diterangi lampu darurat. Mereka tidak bergerak dari tempat duduk mereka, hanya sesekali bertanya pada perawat yang lewat tentang kondisi Gilang.

Jawabannya selalu sama, “Stabil, tapi masih kritis.”

Entah jam berapa, kelelahan akhirnya menang. Kepala Lila terkulai, bersandar di bahu Angkasa. Napasnya menjadi teratur, dalam, dan damai untuk pertama kalinya sejak sore tadi. Ia tertidur.

Angkasa tidak berani bergerak, takut membangunkannya. Ia menatap wajah Lila yang tertidur dalam cahaya remang-remang. Wajah yang tegar itu kini tampak begitu lelah dan rapuh.

Ia melihat garis-garis halus di sekitar matanya, bukti dari malam-malam tanpa tidur yang ia habiskan untuk merawat adiknya. Ia melihat betapa besar cinta Lila untuk Gilang, sebuah cinta yang rela menanggung beban apa pun.

Sesuatu dalam diri Angkasa bergeser. Ini bukan lagi sekadar simpati atau rasa nyaman. Melihat Lila di titik terendahnya, melihat ketakutannya yang paling jauh terpendam, Angkasa menyadari sesuatu.

Ia membutuhkan wanita ini. Bukan sebagai perawat, bukan sebagai teman sekamar pasien, tetapi sebagai bagian dari dirinya yang telah lama hilang. Kehadirannya telah menambal lubang-lubang di jiwanya dengan cara yang tidak pernah ia duga.

Udara malam terasa semakin dingin. Dengan gerakan yang sangat perlahan, Angkasa melepaskan jaket hoodie-nya dan dengan hati-hati menyelimuti bahu Lila. Wanita itu menggeliat sedikit dalam tidurnya, lalu menyandarkan kepalanya lebih dalam di bahu Angkasa.

Angkasa menatapnya, merasakan kehangatan yang aneh menjalari dadanya. Di tengah keputusasaan dan bayang-bayang kematian, ia menemukan sebuah rumah. Sebuah tempat untuk pulang. Ketakutan terbesarnya bukan lagi pada sel-sel darahnya yang sekarat, melainkan pada kemungkinan kehilangan rumah ini.

Ia menundukkan kepalanya sedikit, mendekatkan bibirnya ke telinga Lila. Udara dari napasnya menyapu helai-helai rambut wanita itu. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, sebuah bisikan yang lahir dari bagian paling rentan di hatinya, ia bergumam.

“Jangan tinggalkan aku, La. Terus sama aku.”

Ia menarik kepalanya kembali, merasakan jantungnya berdebar kencang karena pengakuan yang baru saja ia lepaskan ke alam semesta. Ia menatap wajah Lila lagi, memastikan wanita itu masih tertidur lelap.

Namun, ia tidak tertidur.

Dua mata yang semerah saga itu kini terbuka, menatap lurus ke arahnya dalam keheningan koridor yang panjang.

1
Puput Assyfa
pada akhirnya Angkasa menyerah oleh takdir dan pusat kehidupannya diberikan pada Gilang, pengorbanan Angkasa yang menyedihkan mak🤧
Puput Assyfa
menanti harapan palsu🤧
Puput Assyfa
Mak bull aq butuh pelukan, sumpah gak kuat 😭😭😭
Puput Assyfa
makin kesini makin gak kuat baca tp penasaran sama angkasa 😭😭😭
Puput Assyfa
ya Allah Angkasa aku takut😭😭😭
Puput Assyfa
bener2 Laras bikin muak sikapnya yg arogan dan gak peduli sama anak kandungmu
Puput Assyfa
setiap Angkasa sekarat semakin takut akan kehilangan Angkasa dan tiba2 menutup mata untuk selamanya 😭😭
Puput Assyfa
Laras muncul2 hanya untuk menyakiti angkasa, bukannya sedih anaknya sakit atau prihatin malah marah2 GK jelas km Laras
Puput Assyfa
bahagia yg sederhana tapi berkesan untuk Angkasa disisa waktunya yg tinggal sedikit 🤧
Puput Assyfa
selamat ya Angkasa km sudah memiliki istri yg akan setia menemani disisa hidupmu, walaupun menyakitkan tp aq bahagia akhirnya km punya keluarga baru angkasa.
Puput Assyfa
Laras kah yg datang
Puput Assyfa
walaupun hanya seminggu waktu yg tersisa setidaknya Angkasa merasakan kebahagiaan disisa hidupnya bersama orang yg dicintainya yaitu Lila
Puput Assyfa
semakin kesini makin menyesakan da2 😭 angkasa yg malang
Puput Assyfa
apa keinginan terakhir mu kasa? apa km ingin menikah dgn Lila
Realrf
berasa nggak 😩
Puput Assyfa
hingga Angkasa sekar4tpun Laras tidak muncul untuk menemuinya, hanya Gilang dan Lila yg setia menemaninya disaat2 terakhir Angkasa
Puput Assyfa
nyesek bgt ya Allah 😭😭
Puput Assyfa
keinginan Angkasa sungguh mulia tp aq jg GK rela km pergi untuk selamanya dgn takdir yg seperti ini Angkasa 🤧
Puput Assyfa
suatu saat kalian aq bersama dgn keadaan yg berbeda karena Gilang akan hidup dengan jantung Angkasa menjadi bagian dr Gilang
Puput Assyfa
kematian Angkasa sudah di depan mata tinggal menunggu hitungan bulan sedangkan laran km salah menolong orang ankmu sendiri km abaikan apa km akan diam saja sampa angkasa meninggal Laras
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!