NovelToon NovelToon
Sengketa Di Balik Digital

Sengketa Di Balik Digital

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Balas Dendam / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:511
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.

Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.

Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 Jalan Pelarian

Hutan itu menelan mereka. Bukan hutan hujan tropis yang lebat, melainkan semak belukar yang berduri, pepohonan karet yang tinggi, dan tanah berlumpur sisa hujan semalam. Jeritan Begal yang tertembak dan ledakan kecil dari truk mereka segera ditelan oleh gemerisik daun yang diinjak Sasha dan Zega.

Sasha berlari tanpa berpikir, hanya mengikuti bayangan Zega di depannya. Kakinya tersangkut akar, tangannya tergores ranting. Ransel yang berisi laptop Bara terasa membebani punggungnya, beban fisik dan metaforis dari semua rahasia DigiRaya.

“Jangan lurus!” Zega berbisik, suaranya terdengar mendesis, bukan berteriak. Ia menarik Sasha ke samping, menjatuhkan diri mereka di balik rumpun bambu yang tebal. “Mereka punya alat termal. Kita harus dingin.”

Mereka bersembunyi. Sasha mengatur napas, tubuhnya gemetar bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga karena adrenalin murni. Dalam hitungan detik, ia mendengar suara-suara. Bahasa asing—aksen Amerika yang tegas—memecah keheningan malam, diikuti oleh derap langkah kaki yang terorganisir.

“Di mana Begal?” Sasha nyaris tidak bisa bicara.

“Mati atau terluka parah. Tapi dia mengalihkan perhatian mereka sejenak. Aku mengikatkan kabel kecil ke baterai truk. Ledakan itu cukup untuk membakar mesin dan memberi kita waktu lima belas detik. Lima belas detik yang baru saja kita buang delapannya,” Zega menjelaskan, matanya bergerak lincah mengamati celah di antara bambu.

Lampu senter taktis menyapu area sekitar. Terlalu terang, terlalu dekat. Sasha menekan dirinya lebih dalam ke lumpur dingin di bawahnya. Jantungnya berdebar kencang, takut detak itu sendiri akan menarik perhatian.

“Mereka mencari jejak panas,” Zega melanjutkan, mendekatkan mulutnya ke telinga Sasha. “Kita harus melewati sungai kecil itu. Air akan membekukan jejak termal kita. Tapi itu ada di sisi kiri. Kita harus berbalik arah.”

Sasha mengangguk. Dia tidak bisa memercayai dirinya sendiri. Seorang CEO, yang hanya beberapa hari lalu sibuk membahas IPO dan metrik pengguna, kini sedang merangkak di lumpur dengan seorang peretas sinis. Dan anehnya, di tengah semua bahaya ini, ia merasa lebih hidup daripada saat ia berada di ruang rapat ber-AC.

“Kau yakin bisa melakukannya? Jalur ini kasar,” tanya Zega.

“Aku sudah melompat dari kereta yang bergerak, Julian,” jawab Sasha, menggunakan nama samaran Zega, nadanya kembali tajam dan menantang. “Hanya karena aku suka high heels bukan berarti aku lemah.”

Zega menyeringai, senyum itu hanya bertahan sesaat sebelum wajahnya kembali tegang. “Aku tahu kau tidak lemah, Maya. Itu masalahnya.”

Saat lampu senter menjauh sedikit ke arah sisa-sisa truk yang berasap, Zega memberi isyarat. Mereka merangkak keluar dari rumpun bambu, bergerak cepat dan membungkuk, menyeberangi semak-semak menuju sungai yang berjarak sekitar lima puluh meter.

Mereka hampir mencapai sungai ketika anjing-anjing mulai menyalak. Suara serak dan agresif itu datang dari belakang, mengoyak malam.

“Anjing pelacak!” Zega menggeram. “Sial. Express Teknologi tidak main-main. Mereka menyewa tim operasi lapangan terbaik.”

Mereka mencapai tepi sungai. Itu hanya selokan air irigasi yang lebar dan dangkal, tetapi airnya keruh dan dingin. Zega tidak ragu. Ia melompat masuk, air mencapai lututnya, dan menarik Sasha di belakangnya.

“Tetap di air selama kita bisa. Jalan melawan arus. Cepat!” perintah Zega.

Sasha mengikuti. Air dingin itu seperti sengatan listrik, tetapi Zega benar—rasa dingin itu bisa mengganggu alat pelacak termal. Mereka berjalan terhuyung-huyung di dalam air, lumpur dan sampah merayapi kaki mereka. Suara gonggongan anjing semakin dekat, kini berjarak tidak lebih dari dua puluh meter, tepat di tepi selokan tempat mereka baru saja melompat masuk.

Zega menarik Sasha ke bawah jembatan beton kecil—bukan jembatan yang sama, tetapi gorong-gorong sempit yang menjorok di bawah jalan tanah. Mereka berjongkok, berlumuran air dan lumpur.

Mereka bisa mendengar anjing-anjing itu mengendus dengan ganas di atas kepala mereka. Kemudian, suara pria berbahasa asing berteriak, “Hilang! Jejak panasnya menghilang di sini! Cari ke utara dan selatan! Mereka pasti masuk ke air!”

Keheningan kembali datang, lebih berbahaya dari suara apapun. Mereka harus menunggu, berharap para pengejar tidak berpikir untuk memeriksa gorong-gorong sempit di bawah kaki mereka.

Sasha dan Zega berdesakan di ruang yang sempit dan berbau amis. Tubuh mereka saling bersentuhan—kulit dingin, pakaian basah, napas terengah-engah yang menyentuh leher satu sama lain. Keintiman yang dipaksakan oleh bahaya.

“Ini gila,” bisik Sasha, gemetar hebat.

Zega membalikkan badannya sedikit, melindunginya dari pandangan luar. Tangannya melingkari pinggang Sasha, memaksanya untuk lebih dekat. Tubuh Zega yang lebih hangat menjadi satu-satunya sumber panas di lingkungan yang dingin dan basah itu.

“Bara menjual data pengguna untuk dana awal. Dia mengkhianati idealisme perusahaannya,” Zega berbisik, kembali ke topik yang mereka tinggalkan di kereta. “Tapi dia mati karena dia mencoba memperbaikinya. Dia menolak Paman Hadi dan tawaran Express Teknologi. Dia mati karena integritas, Sasha.”

Sasha mendongak, matanya bertemu dengan mata Zega yang berkilat di kegelapan. “Mengapa kau peduli? Kau membenci korporasi.”

“Aku benci korporasi yang busuk. Tapi aku menghormati idealisme yang diperjuangkan dengan nyawa. Dan aku menghormati wanita yang mempertaruhkan segalanya untuk menjaga api itu tetap menyala.” Zega menggesekkan ibu jarinya di punggung tangan Sasha. “Kau 28, CEO. Aku 25, buronan. Dunia ingin kita gagal. Dunia ingin kita berpegangan pada etiket dan jarak profesional.”

“Dan apa yang kau inginkan?” tanya Sasha, suaranya serak. Rasa dingin fisik mulai digantikan oleh panas yang menjalar dari kontak kulit mereka.

“Aku ingin kau berhenti memanggilku Julian saat kita sendirian. Dan aku ingin kau mengakui bahwa di sini, di lumpur ini, di bawah gorong-gorong ini, CEO Sasha tidak ada. Hanya ada Maya yang ingin bertahan hidup. Dan aku akan mempertaruhkan segalanya untuk Maya,” Zega berbisik, suaranya dipenuhi janji dan gairah yang terpendam.

Sebelum Sasha bisa merespons, Zega bergerak. Itu bukan ciuman yang lambat atau romantis. Itu adalah ciuman yang putus asa, cepat, dan mendesak, rasa lumpur dan air bercampur dengan kebutuhan yang eksplosif. Tangan Zega yang kuat menekan Sasha ke dinding beton, menuntut respons yang setara dengan risiko yang mereka hadapi. Sasha membalas ciuman itu, melepaskan semua protokol dan kesedihan yang selama ini ia pikul. Ini adalah pengakuan bahwa mereka berdua berada di ujung tanduk, dan satu-satunya yang nyata adalah koneksi yang mereka temukan di neraka.

Sebuah bayangan tiba-tiba jatuh di pintu masuk gorong-gorong. Jantung Sasha melonjak. Mereka berhenti, terpisah hanya sejengkal.

Seorang pria berseragam hitam, dengan senter yang dimatikan, berjongkok di tepi sungai, tepat di depan mereka. Ia tidak bisa melihat mereka di kegelapan gorong-gorong, tetapi ia bisa mendengar. Mungkin napas mereka.

Zega meremas tangan Sasha sekali, isyarat untuk diam total. Ia perlahan meraih pistol kecil di pinggangnya, yang basah dan dingin.

Pria itu menyalakan senter. Cahaya itu menembus gorong-gorong, menyinari air yang berlumpur. Hampir saja mengenai wajah mereka.

Pria itu menghela napas, tampaknya frustrasi. “Tidak ada di sini. Hanya selokan kotor. Kita buang-buang waktu.”

Pria itu bangkit dan pergi, bergabung kembali dengan gonggongan anjing yang kini bergerak menjauh, ke arah yang berlawanan dari mereka.

Keheningan yang memekakkan telinga kembali. Zega menunggu tiga puluh detik penuh, hanya menatap mata Sasha, sebelum ia meletakkan pistolnya.

“Mereka pergi,” bisik Zega. Ia tidak menyebutkan ciuman itu, atau gairah yang baru saja meledak di antara mereka. Prioritas telah kembali. “Kita harus melanjutkan ke Timur. Begal bilang ada jalur ke dermaga ilegal di Jawa Timur. Kita harus berjalan kaki sampai kita bisa mencuri transportasi yang layak.”

Mereka keluar dari gorong-gorong, bau air selokan dan tembakau yang melekat di pakaian mereka. Sasha merasakan sakit di bahunya, tetapi ia mengabaikannya. Ia merasa aneh, tidak terbebani. Entah karena bahaya atau ciuman itu, ia tidak tahu.

Zega berjalan lebih dulu, menggunakan teknik lari yang aneh—berjalan dengan tumit untuk mengurangi jejak. Mereka melewati ladang tebu yang tinggi, menggunakan daun-daun lebar sebagai penyamaran.

Setelah berjalan selama satu jam, mereka mencapai jalan raya kecil. Jalan itu kosong. Zega berhenti, matanya menyipit ke kejauhan.

“Ada yang salah,” katanya, suaranya serius.

“Apa?” Sasha bertanya, mengikuti pandangannya.

“Mereka terlalu mudah menyerah. Agen-agen Express Teknologi ini dilatih untuk melacak jejak di gurun, apalagi hanya di hutan Jawa. Mereka tahu kita menuju Timur. Mereka pasti telah menutup semua jalan keluar lainnya.” Zega melihat ke atas. Tidak ada bintang, langit tertutup awan.

Zega mengeluarkan ponsel kecilnya lagi, kali ini ia hanya menyalakan pemindai gelombang radio. Ekspresinya mengeras.

“Apa yang kau temukan?”

“Sinyal yang sangat samar. Frekuensi militer tingkat tinggi. Bukan sinyal komunikasi mereka,” Zega menelan ludah, wajahnya memucat sedikit. “Mereka tidak mengandalkan anjing atau mata telanjang. Mereka punya drone. Drone dengan pencitraan termal. Mereka tidak mengejar kita. Mereka hanya menunggu kita bergerak ke luar zona aman, dan saat kita keluar dari hutan ini, mereka akan mengunci kita dari udara.”

Zega mematikan ponsel itu. Ia menatap jalan raya yang sepi di depan mereka. Jalan menuju ke dermaga. Jalan menuju ke kematian.

“Kita harus menyimpang dari rencana Begal. Jika kita menuju pelabuhan, kita akan menjadi target tembak yang mudah,” Zega menarik Sasha kembali ke dalam teduhan pohon tebu. “Kita harus menuju ke kota terdekat. Tempat yang ramai. Kita perlu menghilang di keramaian.”

“Kota apa?”

“Jombang. Kita butuh mobil, identitas palsu, dan uang tunai yang bersih. Aku punya kontak di sana. Tapi…” Zega ragu, menatap Sasha dengan tatapan yang memperingatkan bahaya yang lebih besar dari tembakan.

“Tapi apa, Zega?”

“Kontakku di Jombang sangat berbahaya. Mereka bukan tipe idealis sepertiku. Mereka adalah penjahat sungguhan. Dan untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan, kita harus bertindak sebagai pasangan yang sangat meyakinkan. Pasangan yang putus asa, mungkin bahkan pasangan yang sedang mabuk asmara,” Zega mencondongkan tubuhnya, menatap lurus ke mata Sasha. “Aku harus bisa menjual penyamaran itu dengan sempurna, Sasha. Itu berarti, mulai sekarang, di depan siapa pun, kau adalah milikku.”

Sasha merasakan tantangan itu menusuknya. Ia mengangguk. “Baik. Apa yang harus kulakukan?”

Zega tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya meraih kerah jaket Sasha dan menariknya untuk ciuman yang lebih lama, lebih dalam, dan lebih menguasai. Kali ini, tidak ada putus asa, hanya pernyataan kepemilikan. Ketika mereka berpisah, Zega menarik napas dalam-dalam.

“Sekarang, kita butuh kendaraan. Aku melihat satu mobil diparkir di balik bukit sana. Kita ambil itu.” Zega mengeluarkan kunci pas dan obeng dari saku jaketnya. “Siap menjadi pencuri mobil, CEO?”

“Siap,” jawab Sasha, menyeka lumpur dari pipinya, matanya bersinar dengan campuran ketakutan dan kegembiraan liar. Mereka berjalan menuju bukit. Namun, sebelum mereka mencapai mobil target, cahaya tipis yang lembut muncul dari atas, menyapu ladang tebu. Bukan cahaya senter. Cahaya inframerah. Drone itu kini sedang memindai area mereka.

Mereka telah terlihat. Waktu mereka sudah habis....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!