Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 30 Kenyataan yang sebenarnya
Suasana di ruang rawat Vikto dipenuhi tekanan yang tak terlihat. Dinda duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan suaminya dengan lembut, sementara Ziro menjaga jarak. Riko hanya berdiri di dekat pintu, memperhatikan tanpa suara. Dirinya sengaja belum pulang, yakni demi mengetahui kondisi mantan istrinya baik-baik saja, meski harus disuguhkan dengan api cemburu.
Tiba-tiba, pintu diketuk.
Seorang staf keuangan perusahaan Kusuma memasuki ruangan dengan wajah gelisah. Ia langsung menunduk hormat pada Vikto.
“Maaf, Tuan… tapi saya harus mengatakan hal penting. Kami menemukan hard drive cadangan di ruang kerja Tuan Abdi. Seluruh laporan yang diklaim bocor… hanyalah rekayasa. Tidak ada penggelapan. Nominal yang dituduhkan sengaja dipindahkan ke rekening bayangan… atas instruksi langsung dari Tuan Abdi.”
Ruangan itu langsung membeku.
Dinda menahan napas.
Riko mengerutkan kening.
Ziro melotot tidak percaya.
Dan Vikto yang baru saja siuman beberapa jam lalu, ia membuang selimutnya, bangkit duduk meski tubuhnya masih lemah.
“Apa kau bilang barusan?” suaranya berat, tertekan.
Staf itu menelan ludah. “Semua rekaman, penandatanganan, bukti transfer… semuanya dibuat untuk menciptakan tekanan. Agar Tuan Vikto menerima perjodohan dengan Nona Kaira.”
Seolah dunia berhenti berjalan.
---
Tak menunggu waktu, Vikto memaksa turun dari ranjang. Infusnya hampir tercabut jika Dinda tidak cepat menahannya.
“Kak Vikto, jangan! Kamu baru sadar dari koma,” seru Dinda panik.
Namun amarah dalam diri Vikto telah meledak. Air mata bercampur kemarahan membuat dadanya naik turun.
“Dinda… aku harus menemui Papa.”
Ziro mencoba menenangkan. “Bos, nanti dulu. Kondisi Bos belum kuat.”
“Terserah kondisiku! Papa sudah… Dia menyebabkan Oma… Oma…” Suaranya pecah. “Semua ini karena ambisinya.”
Dinda menahan wajah Vikto dengan kedua tangannya, memaksanya menatap. “Kak… dengarkan aku… aku ada di sini. Oma Hela tidak ingin kamu menyiksa diri seperti ini. Tolong, tarik napas dulu…”
Vikto menggigit bibirnya, menahan emosi yang hampir meledak. Tubuhnya bergetar, antara marah, kecewa, dan berduka.
Riko, meski cemburu, ikut bicara untuk meredam. “Vikto, kalau kamu memaksa sekarang, kamu bisa tumbang lagi. Dan Dinda juga… dia sudah cukup hancur. Jangan tambah beban di pundaknya.”
Ucapan itu sukses menghentikan Vikto.
Vikto yang baru bisa turun dari ranjang, ditemani Dinda menuju kamar rawat ayahnya. Ia ingin menuntut kejelasan, yakni tentang “sakitnya”, tentang perusahaan, tentang semua yang membuat Oma Hela ambruk hingga akhirnya berpulang.
Namun begitu sampai di depan pintu, kamar itu rupanya sudah kosong. Tidak ada lagi pasien didalamnya. Vikto benar-benar tercengang melihat kondisi didalamnya.
Tempat tidur sudah dirapikan, infus menghilang, bahkan catatan medis tidak tertinggal sama sekali. Ruangan itu seolah tidak pernah diisi pasien.
“A-apa… ini?” Vikto mematung, rahangnya mengeras. “Mana Papa?”
Dinda yang berdiri di belakangnya menelan ludah. “Kak… mungkin dipindah? Kita bisa tanyakan ke perawat—”
Belum sempat Dinda melangkah, Ziro muncul tergesa-gesa, napasnya memburu. “Bos… saya sudah cek seluruh lantai. Tuan Abdi… sudah pergi. Dia keluar dari rumah sakit dua jam yang lalu.”
“Apa?” Suara Vikto merendah namun bergetar, tanda bahaya yang Dinda kenal makin jelas.
Ziro menunduk. “Dan… itu bukan karena kondisi beliau membaik. Sebenarnya… Tuan Abdi tidak pernah sakit kritis, Bos. Semua itu… cuma rekayasa.”
Dunia Vikto seperti runtuh tanpa suara.
“Apa maksudmu?” Tatapannya tajam, menusuk, memaksa.
Ziro ragu sejenak, tapi pada akhirnya ia bicara.
“Pingsannya… dibikin-bikin. Dia hanya ingin memaksa Bos menyetujui perjodohan dengan Nona Kaira. Termasuk data penggelapan itu, Bos… itu juga bagian dari rencana mereka. Kebocoran dana memang ada, tapi bukan Bos yang harus menanggungnya. Itu dijadikan alasan untuk menekan keluarga Bos.”
Hening. Hening yang terlalu dingin.
Vikto memejamkan mata, napasnya naik turun. Tangan mengepal begitu kencang hingga buku-buku jarinya memutih.
“Jadi… semua ini,” suaranya pecah namun penuh bara, “sampai Oma… sampai beliau… jatuh sakit dan—”
Dinda spontan memeluk lengannya, mencoba menghentikan goncangan di tubuh suaminya.
“Kak… jangan menyalahkan diri sendiri. Bukan Kakak penyebabnya. Bukan.”
Tapi air mata Vikto sudah menggenang.
“Aku anaknya, Dinda…” suaranya serak, jatuh patah. “Aku… bahkan tidak sempat meminta maaf pada Oma. Sementara Papa… Papa malah memilih bohong daripada menyelamatkan ibunya sendiri.”
Dinda menggenggam wajah Vikto, memaksa pria itu menatapnya.
“Kak… Oma tidak pernah menyalahkanmu. Bahkan saat terakhir… dia hanya meminta aku untuk tetap berada di sampingmu. Itu bukti beliau percaya Kakak adalah pria yang benar. Bukan mereka.”
Vikto terisak dalam diam, bahunya bergetar sementara Dinda memeluknya erat-erat.
---
Ketegangan itu pecah seketika ketika pintu belakang rumah sakit terbuka dan terdengar seseorang memanggil dari kejauhan.
“Bos!” Ziro kembali masuk dengan wajah lebih serius. “Kami sudah dapat info dari satpam gerbang. Tuan Abdi meninggalkan rumah sakit bersama sopir pribadi. Sepertinya… beliau kembali ke kediaman.”
Vikto menghapus air matanya, sorot matanya berubah, dingin, tegas, seperti batu yang retak namun tetap kokoh.
“Baik.”
Ia berdiri tegak.
“Aku akan menemui Papa.”
Dinda langsung memegang tangannya.
“Kak… tolong, jangan emosi. Ingat Oma… ingat apa yang beliau titipkan padaku. Aku mohon sama Kakak, jangan pulang dulu. Kondisi Kakak belum stabil. Kak Vikto masih butuh perawatan. Kalau Dokter sudah mengizinkan, baru Kakak bisa pulang."
Vikto menatap istrinya lama, sangat lama… sebelum akhirnya ia mengangguk pelan.
“Baik. Kakak turuti perkataan mu.”
Dinda mengangguk, merasa lega karena suaminya dapat dikendalikan. Riko yang mendapati keamaan untuk Dinda tidak begitu mengkhawatirkan karena adanya orang-orang kepercayaan Vikto selalu siaga, Riko memilih pamit untuk pulang.
"Dinda, aku pamit pulang. Kalau ada apa-apa, atau kamu butuh sesuatu, hubungi aku."
Dinda tidak menjawab sama sekali, rasa kecewanya masih membekas dalam ingatannya. Riko yang tidak mendapat respon dari mantan istrinya, pun langsung balik badan dan pergi meninggalkan rumah sakit. Pergi dengan penuh penyesalan, dan penyesalan terbesar baginya.
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..