"Briana Anderson, seorang miliarder berusia 30 tahun, bagaikan menggenggam dunia di tangannya. Dingin, penuh perhitungan, dan pemilik perusahaan multijutaan dolar, ia dikenal sebagai wanita yang selalu mendapatkan segala yang diinginkannya... hingga ia bertemu Molly Welstton.
Molly, yang baru berusia 18 tahun, adalah kebalikan sempurna dari Briana. Polos, pemalu, dan penuh dengan impian, ia berfokus pada studinya di jurusan manajemen bisnis. Namun, hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat ketika jalan hidupnya bersilangan dengan CEO paling berkuasa dan posesif di New York.
Apa yang awalnya adalah ketertarikan sederhana, berubah menjadi sebuah obsesi yang membara. Briana bertekad untuk memiliki Molly dalam hidupnya dan akan melakukan segalanya untuk melindungi gadis itu dari ancaman apa pun — nyata atau hanya dalam bayangannya.
Akankah cinta Briana yang posesif dan menguasai cukup kuat untuk meluluhkan kepolosan Molly? Atau justru gairah cemburu si miliarder akan membuat Molly terasa terkurung? Sebuah kisah tentang kekuasaan, kontrol, dan cinta yang menantang semua aturan."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raylla Mary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 15
Ciuman yang Membakar
Malam tiba di kota, mewarnai langit dengan biru tua, dan Molly merasakan jantungnya berdebar gelisah di dalam dadanya. Sejak Briana kembali dari perjalanan itu, tidak ada yang terasa seperti seharusnya. Setiap tatapan, setiap sentuhan tidak sengaja, setiap keheningan di antara mereka membawa aliran listrik yang membuatnya kehabisan napas.
Briana, pada gilirannya, tampaknya bermain dengan batas. Seolah-olah dia telah memutuskan untuk menguji tidak hanya kepolosan Molly, tetapi juga kemampuannya sendiri untuk mengendalikan diri. Dia mendekat terlalu dekat, berbicara terlalu pelan, menyentuh tanpa perlu menyentuh.
Malam itu, mereka berdua berada di kamar Briana. Buku-buku Molly tersebar di atas tempat tidur, tetapi tidak satu pun dari mereka yang bisa fokus pada halaman-halaman itu. Briana berjalan perlahan di sekitar ruangan, seperti predator yang mempelajari mangsanya.
"Kau gugup, Molly?" tanyanya, dengan senyum sinis yang membuat gadis itu semakin ketakutan.
"T-tidak... hanya... hanya lelah," gagap Molly, mencoba menyembunyikan tangannya yang gemetar.
Briana mendekat, duduk di sampingnya. Parfumnya memenuhi udara, dan Molly hampir menahan napas. Keheningan menyebar, terlalu berat untuk menjadi nyaman.
"Kau berbohong dengan buruk," gumam Briana, mencondongkan tubuhnya berbahaya dekat.
Molly menelan ludah, mengalihkan pandangannya. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."
Briana mengangkat tangannya dan, dengan gerakan lambat, menyingkirkan sehelai rambut yang jatuh di wajah Molly. Sentuhan sederhana itu membuat seluruh tubuhnya bergidik.
"Kau juga merasakannya, bukan?" Suara Briana terdengar seperti pengakuan, tetapi juga seperti tantangan.
Molly tidak menjawab. Keheningannya cukup bagi Briana untuk bergerak maju sedikit lebih jauh. Wajah mereka berjarak beberapa inci, udara menipis di antara mereka. Molly memejamkan mata secara naluriah, jantungnya berdebar begitu kencang hingga rasanya ingin keluar dari dadanya.
Dan kemudian itu terjadi. Ciuman itu.
Itu tidak lembut, juga tidak halus. Itu mendesak, dipenuhi dengan semua yang telah mereka coba sangkal sampai saat itu. Ciuman yang membakar, yang tampaknya membuka pintu yang tidak satu pun dari mereka berani menutupnya setelah itu.
Molly, meskipun ketakutan, tidak mundur. Tangannya gemetar ketika dia memegang lengan Briana, tetapi intensitas dengan mana dia membalasnya mengatakan lebih dari yang bisa diungkapkan oleh kata-kata.
Ketika Briana akhirnya menjauh, keheningan kembali, bahkan lebih berat. Bibir Molly terasa panas, jantungnya berdebar kencang, dan pikirannya berada dalam kekacauan total.
"Kau seharusnya tidak..." Molly mencoba berbicara, tetapi suaranya gagal.
"Aku tahu," sela Briana, menatap matanya. "Tapi aku tidak bisa berhenti."
Tatapan mereka terkunci, dan ketegangan, alih-alih menghilang, hanya berubah menjadi sesuatu yang lebih besar, lebih berbahaya, dan tak tertahankan.
Molly mundur beberapa inci, seolah-olah dia sangat membutuhkan udara untuk tetap sadar. Matanya, berkaca-kaca karena emosi, terpaku pada mata Briana, yang tetap tegar, tidak mengalihkan pandangan, seolah-olah dia bersedia untuk memikul kesalahan karena telah melewati batas yang tidak dapat diubah.
"Briana..." Suara Molly terdengar rendah, hampir seperti bisikan yang patah. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku..."
Briana tersenyum tipis, tetapi ada sesuatu yang serius di matanya. "Itu terjadi pada kita berdua. Jangan mencoba berpura-pura bahwa kau tidak merasakannya."
Molly memejamkan mata, mengangkat bahunya seperti seseorang yang mencoba melindungi diri dari yang tak terhindarkan. Jantungnya terasa ingin keluar dari mulutnya, sedemikian besar kebingungan perasaannya. Apakah itu salah? Apakah itu berbahaya? Atau apakah itu hanya tak terhindarkan?
Briana mendekat lagi, perlahan, hati-hati, seolah-olah dia takut bahwa gerakan tiba-tiba apa pun dapat menjauhkan Molly selamanya. Dia menyentuh wajahnya dengan kedua tangannya, memaksanya untuk membuka mata dan menghadapi kebenaran yang bersinar di sana.
"Aku tidak akan memaksamu melakukan apa pun," katanya dengan tegas. "Tapi aku tidak akan berbohong: aku menginginkanmu."
Pengakuan itu bergema di ruangan yang sunyi, berat dan memukau. Molly bergidik, merasakan tanah menghilang di bawah kakinya. Kata-kata itu masuk ke dalam kulitnya seperti api, membakar setiap ruang yang masih bersikeras untuk menjadi polos.
"Aku... aku tidak tahu apakah aku bisa..." gagapnya, dengan air mata mengancam akan keluar.
Briana menyandarkan dahinya ke dahinya, menarik napas dalam-dalam. "Kalau begitu, kau tidak perlu memutuskan sekarang. Tapi jangan lari dariku, Molly. Kumohon."
Permintaan itu, sarat dengan kerentanan langka pada Briana, melucuti Molly sepenuhnya. Dia tidak menjawab dengan kata-kata, hanya membiarkan tangannya, yang masih gemetar, terjalin dengan tangan Briana. Itu adalah gerakan kecil, tetapi yang mengatakan banyak: itu bukan "ya", tetapi juga bukan "tidak".
Keheningan kembali, tetapi kali ini tidak seberat sebelumnya. Itu adalah keheningan dua jiwa yang baru saja melintasi perbatasan yang tak terlihat. Udara terasa berbeda, ruang di antara mereka tidak bisa lagi diisi dengan apa pun selain apa yang baru saja mereka temukan.
Molly menunduk, malu, tetapi tidak melepaskan tangan Briana. Jantungnya, meskipun panik, berdetak dalam ritme baru, seolah-olah telah menemukan melodi yang telah ditunggu-tunggunya sepanjang hidupnya untuk dikenali.
Dan Briana, dengan senyum yang mencampurkan keinginan dan kelembutan, tahu pada saat itu bahwa Molly sudah tersesat — bahkan jika dia belum berani mengakuinya.