Demi biaya pengobatan ibunya, Alisha rela bekerja di klub malam. Namun kepercayaannya dikhianati sang sahabat—ia terjerumus ke sebuah kamar hotel dan bertemu Theodore Smith, cassanova kaya yang mengira malam itu hanya hiburan biasa.
Segalanya berubah ketika Theodore menyadari satu kenyataan yang tak pernah ia duga. Sejak saat itu, Alisha memilih pergi, membawa rahasia besar yang mengikat mereka selamanya.
Ketika takdir mempertemukan kembali, penyesalan, luka, dan perasaan yang tak direncanakan pun muncul.
Akankah cinta lahir dari kesalahan, atau masa lalu justru menghancurkan segalanya?
Benih Sang Cassanova
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu.peri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MINTA BANTUAN
Setelah makan malam, entah kenapa malam ini Theo merasa dadanya sesak. Ada dorongan aneh yang membuatnya menyalakan mobil sport hitamnya dan melaju tanpa arah pasti. Sampai akhirnya, ia tiba di sebuah tempat yang sudah lama tak ia kunjungi — markas Draken. Tempat penuh kenangan, pertengkaran, dan persahabatan yang telah lama tak ia jamah.
Ia turun dari mobil, mengenakan jaket kulit hitam yang sudah menjadi ciri khasnya sejak dulu. Wajahnya terlihat datar, namun sorot matanya menyimpan kegelisahan.
Begitu membuka pintu markas dan melangkah masuk, aroma asap rokok dan parfum pria langsung menyergap. Ia baru melangkah dua langkah ketika suara yang cukup familiar menyambutnya.
“Wow… lihat, siapa yang datang?” seru Joe, salah satu anak buah direken yang paling muda, sekaligus sahabat Theo. Dari kejauhan, nadanya setengah tak percaya. Ia tengah duduk santai di sofa panjang bersama anggota lainnya.
Mata semua orang di ruangan itu langsung menoleh — Juna, Damian dan Gerry. Mereka menatap Theo nyaris bersamaan, ekspresi mereka bervariasi, tapi semuanya menyiratkan keterkejutan yang sama.
Juna melipat tangan di dada sambil bersandar santai. “Joe, coba kau lihat ke luar sebentar. Siapa tahu sedang hujan badai. Atau bulan terbelah menjadi dua? Theo yang biasanya sibuk bekerja dan menghilang dari peredaran, tiba-tiba datang ke markas.”
Joe tertawa kecil lalu berdiri, menghampiri Theo yang kini sudah duduk di hadapan mereka. “Ada angin apa? Jangan bilang kau lagi ada masalah, dude? Cerita saja. Siapa tahu kita bisa bantu.”
Namun bukannya mendapat jawaban, kepala Joe justru kena tamparan ringan dari Juna.
Plak.
“Dasar bocah sok tahu. Baru kemarin kau nangis-nangis karena istrimu menolak tidur sekamar, sekarang sok jadi konsultan,” sindir Juna sambil menyeringai.
Joe langsung garuk-garuk kepala dengan senyum canggung. “Hehe… itu kan beda kasus, bos. Jenni cuma lagi sensi gara-gara mau aku minta dia anak perempuan, biar jadi sepasang”
Yang lain tertawa kecil, tapi Theo tetap diam. Tatapannya lurus ke satu arah — Damian. Ketua mafia Draken, sekaligus teman Theo dari kecil. Mereka tumbuh bersama, jadi diantara mereka tahu sifat masing-masing.
“Damian,” katanya akhirnya. Suaranya tenang, tapi tegas. “Aku ingin meminjam tim khususmu. Aku butuh mereka untuk mencari seseorang.”
Damian mengerutkan kening, tetapi tak langsung menjawab. Tatapannya berpindah ke arah Gerry yang duduk sambil memainkan lolipop di mulut.
Gerry yang merasa disorot, mengangkat bahu sebelum bicara, “Kita sudah mencoba. Tapi jejaknya tidak bisa dilacak. Bahkan dengan sistem pelacakan paling canggih sekalipun. Aku rasa, orang yang membantunya bukan orang sembarangan. Jejak digitalnya bersih, seolah-olah dia tidak pernah ada.”
Theo menggertakkan rahang. Tangan kirinya mengepal di atas lutut, namun ia tetap menatap Damian. Harapan terakhirnya ada di sahabat yang dikenal sebagai dewa teknologi itu.
Namun bahkan sebelum Theo sempat memohon lebih jauh, Damian langsung menjawab singkat. “Aku tidak bisa membantumu.”
Nada suaranya dingin dan datar, seperti menutup semua pintu yang sempat terbuka.
Theo menunduk sebentar, menarik napas panjang, lalu berdiri perlahan. “Baiklah,” ucapnya pelan. Ia berbalik dan melangkah pergi dengan langkah berat. Kekecewaan tergambar jelas di wajahnya. Theo tahu jika Damian bilang tidak bisa, meski Theo memohon pun. Hasilnya tetap sama.
Juna memandangi punggung Theo yang semakin menjauh, lalu menoleh tajam ke arah Damian.
“Kau bohong. Kau pasti tahu di mana wanita itu berada,” tuduhnya langsung.
Damian, yang masih berdiri di tempat, menoleh dan menatap Juna dengan sorot mata yang sulit diartikan. Tak ada emosi, hanya ketegasan.
“Ya… dan aku tidak bisa memberitahunya,” jawabnya, sebelum ikut melangkah keluar ruangan, meninggalkan semuanya dalam kebingungan.
Juna terdiam. Matanya menyipit, berusaha mencerna maksud kata-kata Damian. “Jadi… dia tahu. Damian benar-benar tahu siapa wanita itu dan siapa yang membantunya,” gumamnya sambil menghela napas berat.
Gerry yang masih duduk, hanya angkat bahu cuek. “Aku tidak ikut campur,” katanya, lalu bangkit dan berjalan menuju ruangan IT.
Ruangan itu kembali hening. Yang tersisa hanyalah tatapan kosong dan segudang pertanyaan.
**
Theo menginjak pedal gas dalam-dalam, suara raungan mesin mobil sport hitamnya menggelegar membelah malam. Lampu-lampu jalan berkelebat di sisi kiri-kanannya, namun pikirannya tak fokus pada jalan. Hanya satu yang menguasai benaknya: Alisha.
Ia harus menemukannya. Bukan hanya karena rasa penasaran yang membakar dadanya, tapi juga karena ada sesuatu yang mengganggu logikanya — sebuah kemungkinan yang menyesakkan. Apakah wanita itu… sedang mengandung anaknya?
Tapi lebih dari itu, ada satu masalah yang membuat hidupnya bagai neraka belakangan ini. Theo mengepal kemudi dengan erat, rahangnya mengeras.
Semenjak kepergian wanita itu, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.
Sesuatunya yang seharusnya menjadi lambang kejantanannya… kini tak lagi berfungsi seperti dulu. Sudah beberapa kali ia mencoba memesan wanita, sekadar untuk memastikan bahwa dirinya masih normal. Namun hasilnya selalu sama — nihil. Mati rasa. Mati arah. Mati rasa percaya diri.
"Arghh… sial!" makinya sambil mengusap wajah dengan kasar. Emosi dan frustrasi menumpuk dalam dada, membuat napasnya terasa berat.
Ia membanting setir ke kanan, dan menghentikan mobil di depan sebuah klub malam terkenal di kota. Lampu neon berkedip-kedip, dentuman musik menghantam dari dalam bangunan, dan antrean orang mulai mengular di pintu masuk. Namun Theo tak bergerak dari kursinya.
Tangannya tetap menggenggam kemudi, tatapannya tajam menembus keramaian, seolah berharap sosok itu akan muncul begitu saja dari antara kerumunan.
Ia memiringkan kepalanya, menatap lurus ke luar kaca jendela, namun pikirannya tenggelam entah ke mana. Penuh bayangan masa lalu dan teka-teki yang belum terjawab.
“Saat aku menemukanmu…” gumamnya dengan nada tajam, pelan, nyaris seperti ancaman pribadi, “...bersiaplah. Aku akan membuatmu menyesal karena telah pergi dariku.”
Tatapannya turun ke arah pangkal tubuhnya, seolah menyalahkan bagian itu atas semua penderitaan yang ia rasakan. Wajahnya mengeras.
“Kita akan lihat… apakah semua ini karena dirimu….”