Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6: Terjebak di Perpustakaan Terkutuk
Jantung Risa berdentum kencang di dadanya, berpacu lebih cepat dari suara *braaakk!* yang baru saja memecah keheningan perpustakaan. Bukan hanya karena kaget, tapi juga karena rasa takut yang tiba-tiba melumpuhkan. Kevin mencengkeram erat pergelangan tangannya, matanya memancarkan peringatan. Tidak ada waktu untuk berpikir, hanya ada waktu untuk bertindak. Naluri survival mereka berteriak-teriak.
“Dari belakang!” Kevin berbisik, suaranya tercekat. Ia menunjuk ke arah pintu kecil yang tersembunyi di balik rak buku usang, pintu yang menuju koridor belakang perpustakaan. Pintu darurat yang jarang dipakai. Risa mengangguk, napasnya tersengal. Mereka harus keluar dari sini, apa pun yang terjadi. Mereka tidak tahu siapa di bawah, atau apa yang mereka inginkan, tapi firasat buruk Risa menjerit, memperingatkan bahaya yang mengancam jiwa.
Kevin bergerak lebih dulu, menarik Risa. Langkah-langkah mereka harus sehati-hati mungkin, seringan mungkin, agar tidak menimbulkan suara sekecil apa pun yang bisa menarik perhatian orang di bawah. Setiap kerikil kecil di lantai kayu tua itu terasa seperti bom waktu yang siap meledak. Kevin bahkan menahan napasnya, mencoba meredam detak jantungnya sendiri yang bergemuruh. Risa mengikutinya, matanya memicing, berusaha menembus kegelapan lorong yang minim cahaya. Cahaya remang dari jendela yang tertutup tirai tebal hanya menambah kesan suram dan mencekam.
Saat mereka mendekati pintu darurat, terdengar suara langkah kaki yang semakin jelas dari lantai bawah. *Tap… tap… tap…* Suara itu bukan lagi samar, melainkan nyata dan semakin mendekat. Tidak hanya satu langkah kaki, melainkan dua atau bahkan tiga. Orang-orang itu tidak hanya sekadar masuk; mereka sedang mencari sesuatu, atau… seseorang. Bulu kuduk Risa meremang. Bisikan ibunya terngiang lagi, *“Pergi… atau kau akan jadi yang berikutnya…”* Apakah ini yang dimaksud?
Kevin mendorong pintu itu perlahan. Engselnya berdecit pelan, memekakkan telinga dalam kesunyian yang menakutkan. Risa menelan ludah. Suara itu terasa seperti guntur di tengah badai. Ia memejamkan mata sesaat, berdoa agar suara itu tidak menarik perhatian. Syukurlah, suara langkah kaki di bawah terus bergerak, seolah-olah mereka tidak mendengar apa pun. Kevin menyelinap keluar, menarik Risa di belakangnya.
Koridor belakang itu sempit dan gelap, pengap dengan bau debu dan lumut. Tidak ada cahaya sama sekali, kecuali sedikit celah dari pintu perpustakaan yang baru saja mereka tutup. Kevin mengeluarkan ponselnya, menyalakan senter. Cahaya putih tipis itu menyapu dinding-dinding yang kotor, menyorot ke arah pintu keluar di ujung koridor. Harapan muncul, setitik cahaya di tengah kegelapan yang pekat.
Tiba-tiba, suara langkah kaki di dalam perpustakaan berhenti. Hening. Keheningan itu jauh lebih menakutkan daripada suara apa pun. Seolah-olah mereka sadar. Seolah-olah mereka tahu. Risa merasakan tengkuknya merinding. Ia yakin, mereka sedang mendengarkan. Kevin membeku, senternya sedikit berguncang di tangannya. Ia mematikan senter ponselnya. Lebih baik tidak menarik perhatian.
“Kita harus lari, Ris,” Kevin berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menarik tangan Risa, dan mereka mulai berlari pelan, berjingkat di koridor gelap itu. Setiap langkah terasa begitu berat, begitu lambat. Rasa panik mulai melanda. Jarak ke pintu keluar terasa semakin jauh, tak terjangkau.
Baru beberapa meter, sebuah suara berat menggelegar dari dalam perpustakaan, di lantai atas, persis di tempat mereka tadi berada. “Sial! Mereka sudah pergi!”
Jantung Risa mencelos. Mereka tahu! Mereka tahu Risa dan Kevin ada di sana. Mereka tahu Risa dan Kevin menemukan sesuatu. Keringat dingin membasahi punggung Risa. Kevin mempercepat langkahnya, menarik Risa agar ikut berlari.
“Cepat, Ris! Lari!” Kevin mendesak, suaranya sarat akan kekhawatiran.
Mereka akhirnya mencapai pintu keluar koridor belakang. Sebuah pintu kayu tua yang tampak ringkih, namun terasa seperti gerbang menuju kebebasan. Kevin mendorongnya. Pintu itu terbuka, menampakkan gang sempit yang gelap, diapit tembok tinggi. Gang ini seharusnya aman, tidak terjangkau dari pandangan jalan utama.
Saat mereka melangkah keluar, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari dalam perpustakaan, menuruni tangga. Orang-orang itu mengejar. Mereka tidak boleh tertangkap. Kevin menoleh ke belakang, raut wajahnya tegang. “Sial! Mereka cepat sekali!”
Gang sempit itu gelap gulita, hanya ada satu-dua lampu jalan yang berjarak jauh. Risa tersandung sesuatu, hampir jatuh. Kevin dengan sigap menahan tubuhnya. “Hati-hati, Ris!”
Mereka terus berlari, napas terengah-engah. Dada Risa terasa sesak, paru-parunya seperti terbakar. Kevin juga tampak kelelahan, tapi ia terus menggenggam tangan Risa erat-erat, seolah tak ingin melepaskannya. Kotak kayu berisi surat dan foto ibunya masih aman terselip di balik jaketnya. Bukti itu, meskipun kecil, terasa sangat berat, sangat berharga.
“Kev… siapa mereka?” Risa bertanya di sela-sela napasnya yang putus-putus.
Kevin tidak menjawab. Ia hanya terus menarik Risa, pandangannya lurus ke depan, ke arah ujung gang yang mulai terlihat cahaya lampu jalan. Mereka harus sampai sana. Mereka harus sampai ke tempat yang ramai. Mereka harus selamat.
Tiba-tiba, sebuah bayangan hitam melesat dari balik tumpukan sampah di pinggir gang, langsung menghadang jalan mereka. Jantung Risa berdetak keras, seperti akan meledak. Ia mengerem mendadak, membuat Kevin juga berhenti. Sesosok pria bertubuh besar, mengenakan jaket kulit hitam dan topi yang menutupi wajahnya, berdiri di hadapan mereka. Di tangannya, sebuah tongkat kayu yang cukup tebes, tampak sangat mengerikan. Ia bukan petugas perpustakaan. Ia… seorang preman.
“Mau ke mana, anak muda?” Suara pria itu serak, berat, dan dipenuhi ancaman. Ia menyeringai, menunjukkan gigi kuningnya.
Di belakang mereka, dari arah perpustakaan, terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Terjebak. Mereka terjebak di antara dua sisi. Kevin menggeram marah. Ia menarik Risa ke belakang punggungnya, melindunginya. “Minggir!” bentaknya pada pria di depan.
Pria itu tertawa mengejek. “Oh, jagoan rupanya. Serahkan apa yang kalian ambil.” Matanya tertuju pada jaket Kevin, tepat di bagian kotak kayu itu tersembunyi. Mereka tahu. Mereka benar-benar tahu apa yang mereka cari.
Rasa takut Risa berubah menjadi kemarahan. Kemarahan pada Bibi Lastri, pada orang-orang ini, pada takdir yang begitu kejam pada ibunya, dan kini, pada dirinya. Ia tidak akan membiarkan mereka mengambil bukti itu. Tidak akan!
Kevin maju selangkah, tapi pria itu dengan cepat mengangkat tongkatnya, mengayunkannya ke arah kepala Kevin. Gerakan refleks Kevin menyelamatkan dirinya. Ia membungkuk, menghindari pukulan mematikan itu. Tongkat itu menghantam tembok di belakangnya dengan suara *braaakk!* keras, meninggalkan retakan samar.
“Kevin!” Risa menjerit, ketakutan melihat temannya dalam bahaya.
Kevin tidak punya waktu untuk membalas. Dari belakang, dua pria lain muncul dari koridor perpustakaan. Mereka juga bertubuh besar, berwajah dingin, dan tampak tidak main-main. Satu dari mereka melangkah maju, tangannya terulur, mencoba meraih Kevin.
Situasi semakin genting. Tiga lawan satu, dan Risa ada di sana, menjadi beban sekaligus target. Kevin harus melindungi Risa.
“Lari, Ris! Ke sana!” Kevin berteriak, mendorong Risa ke arah lorong sempit di samping mereka, di antara dua bangunan yang rapat. Lorong itu gelap, penuh sampah, dan kemungkinan jalan buntu. Tapi itu adalah satu-satunya pilihan.
Risa ragu. Ia tidak bisa meninggalkan Kevin. Tapi Kevin terus mendesaknya. “Pergi! Aku akan menyusul!”
Sebuah pukulan mendarat di bahu Kevin. Ia meringis, tapi tidak melepaskan diri. Ia berbalik, menendang perut salah satu pria yang mendekat. Pria itu terhuyung mundur. Kevin memanfaatkan celah itu untuk mendorong Risa sekali lagi. “LARI, RISA!”
Risa tidak punya pilihan. Dengan air mata menggenang di matanya, ia berbalik dan berlari sekuat tenaga ke dalam lorong sempit itu. Kakinya terasa pegal, napasnya tersengal, tapi ia terus memacu dirinya. Suara perkelahian Kevin di belakangnya terdengar samar, bercampur dengan suara geraman dan umpatan. Ia tidak boleh berhenti. Ia harus percaya pada Kevin.
Lorong itu memang sempit dan panjang, berbau busuk. Ia terus berlari, berharap ada jalan keluar di ujung sana. Namun, saat ia sampai di ujung, ia menyadari horor sebenarnya. Jalan buntu. Sebuah tembok tinggi menjulang di hadapannya, tak mungkin dipanjat. Ia terjebak.
Panik melanda Risa. Air mata akhirnya menetes, membasahi pipinya. Ia menoleh ke belakang. Di ujung lorong, bayangan tiga pria itu mulai terlihat, semakin mendekat. Mereka telah mengalahkan Kevin. Atau lebih buruk lagi… Kevin telah ditangkap.
Sebuah bisikan menusuk telinganya, kali ini bukan dari ibunya, melainkan dari salah satu pria itu, suaranya dipenuhi seringai jahat. “Mau ke mana, manis? Tidak ada jalan keluar.”
Risa mundur perlahan, hingga punggungnya menyentuh tembok yang dingin dan berlumut. Ia tidak punya tempat untuk lari. Mereka mengelilinginya, senyum kemenangan terpancar dari wajah mereka yang mengerikan.
“Serahkan kotak itu,” ujar pria yang paling besar, melangkah maju. Matanya tajam, menatap ke arah tangan Risa yang kosong. “Atau kami akan mengambilnya sendiri.”
Risa tidak punya kotak itu. Kotak itu bersama Kevin. Kevin… Apa yang terjadi pada Kevin?
“Aku tidak punya apa-apa!” Risa berteriak, suaranya bergetar.
Pria itu tertawa. “Jangan bohong, Nona. Kami tahu kau yang mengambilnya. Dan kami tahu apa isinya.” Ia mengangkat tangannya, seolah hendak meraih Risa.
Risa memejamkan mata, menunggu sentuhan kasar itu. Ia merasa dunianya runtuh. Terjebak, sendirian, dan Kevin entah bagaimana nasibnya. Harapan seolah sirna. Akankah ia menjadi korban berikutnya, sama seperti ibunya?
Tiba-tiba, sebuah suara berat menggelegar di atas kepala mereka. *“HEI! APA YANG KAU LAKUKAN DI SANA?!”*
Keempat pria itu terkesiap, lalu menoleh ke atas. Risa juga mendongak. Di atas tembok tinggi itu, berdiri seorang penjaga keamanan dengan senter yang menyilaukan mata, menyorot ke arah mereka. Rupanya, lorong itu berbatasan dengan area parkir toko swalayan yang buka 24 jam.
Para preman itu tampak panik. Mereka tidak menyangka akan ada saksi. “Sial! Penjaga!”
Mereka saling pandang, lalu dengan cepat berbalik dan menghilang ke dalam kegelapan lorong, meninggalkan Risa sendirian, terengah-engah, dengan jantung masih berdebar kencang.
Risa terduduk lemas di tanah, napasnya masih tersengal. Kakinya gemetar hebat, ia nyaris tak bisa berdiri. Ia melihat ke arah ujung lorong, ke arah tempat para pria itu menghilang. Rasa lega yang luar biasa membanjiri dirinya, bercampur dengan kekhawatiran yang mendalam. Kevin. Bagaimana dengan Kevin?
Ia harus mencari Kevin. Ia harus memastikan Kevin baik-baik saja. Dengan sisa tenaga yang ada, Risa berusaha bangkit. Tubuhnya terasa lemas, tapi tekadnya membara. Ia harus menemukan Kevin, apa pun yang terjadi. Bukti itu, surat dan foto ibunya, ada di tangan Kevin. Itu adalah satu-satunya harapan untuk mengungkap kebenaran. Dan ia tidak akan menyerah begitu saja.