Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Garis Tipis antara Patuh dan Nurani
Tembakan pertama memecah kabut.
Raska menjatuhkan tubuh, berguling ke balik batu.
“Kontak! Delta dua, tekan kanan! Delta satu, kunci kiri, jangan tembak ke arah desa!”
Peluru menghantam tanah. Batu pecah. Serpihan melayang.
Musuh bergerak cepat, mencoba menyebar. Terlatih.
“Granat ke arah kita!” teriak seseorang.
“ASAP!” bentak Raska.
Asap meledak, putih pekat. Kabut dan asap bercampur, mengacaukan orientasi.
Raska bergerak lebih dulu. Bukan paling keras. Tapi paling tepat.
Satu musuh muncul terlalu dekat.
DOR!
Satu tembakan. Jatuh.
Yang kedua mencoba kabur ke balik rumah, namun Delta dua sudah menutup sudutnya.
Kontak selesai dalam hitungan detik Sunyi kembali turun. Kali ini lebih berat.
“Delta tiga, laporan,” ujar Raska.
“Warga sipil aman,” jawab suara di radio. “Tidak ada perlawanan. Bangunan kosong… tapi—”
“Tapi?” Rahang Raska mengeras.
“Ada gudang senjata tersembunyi di bawah rumah ketiga. Aktif setelah warga pergi.”
Raska menghembuskan napas panjang. Bukan lega. Lebih ke konfirmasi pahit.
“Pusat,” katanya ke radio. “Target valid. Warga sudah dievakuasi. Minta izin lanjutkan.”
Sunyi. Menekan dada.
Akhirnya suara itu muncul. Dingin. Terkontrol.
“…Lanjutkan.”
Operasi diselesaikan dengan cepat. Gudang dilumpuhkan. Senjata diamankan.
Tanpa korban sipil. Tanpa satu pun prajurit gugur.
Di antara kabut yang mulai terangkat, Raska berdiri menatap desa yang kini kosong.
Ia tahu, laporannya nanti akan diperdebatkan. Keputusannya akan dipersoalkan. Namun untuk malam itu, satu hal pasti:
Ia tidak perlu mengingat wajah anak kecil yang mati karena keputusan yang terlalu cepat.
Dan bagi Raska… itu sudah cukup untuk menanggung apa pun yang datang nanti.
***
Markas Komando. Malam
Lampu ruang briefing belum sepenuhnya dimatikan. Peta digital masih menyala, menampilkan garis merah dan titik-titik biru, jejak misi yang baru saja selesai.
Raska berdiri tegap di depan meja. Seragamnya rapi, tapi ada bekas lumpur kering di ujung sepatu, tanda ia langsung dipanggil tanpa sempat istirahat.
Komandan berdiri di depan meja. Tangannya terkepal di balik punggung.
Raska memberi hormat. “Lapor. Target netral. Sandera selamat. Tidak ada korban dari pihak kita.”
Suara komandan terdengar datar. “Kau menyelamatkan operasi,” katanya. “Dan hampir menghancurkan kariermu sendiri.”
“Siap,” jawab Raska.
Namun ruangan itu sunyi terlalu lama.
Seorang Brigadir Jenderal menyilangkan tangan. Rahangnya mengeras.
“Kau tidak patuh,” kata Brigadir Jenderal itu.
“Siap.”
“Kau mengabaikan rantai komando.”
“Siap.”
Ia mendekat satu langkah. Suaranya turun.
“Tapi kau benar.”
Kalimat itu tidak terdengar seperti pujian. Lebih seperti peringatan.
“Sekali lagi,” katanya pelan, “kau melanggar window of execution.”
“Siap.”
“Kau punya tiga puluh detik,” katanya. “Intel bersih. Target terkunci.”
Ia berhenti. “Tapi kau memilih menunggu.”
Raska menatap lurus ke depan.
“Siap. Karena sandera masih bernapas.”
Plak.
Salah satu kolonel membanting map ke meja.
“Dengan keputusan itu, kau mempertaruhkan nyawa satu regu penuh.”
Raska tidak membantah.
“Siap. Saya tahu.”
“Lalu kenapa?” suara kolonel itu naik setingkat.
Raska menarik napas. Tidak panjang. Tidak dramatis.
“Kalau saya menembak saat itu,” katanya, “anak itu mati.”
Ia tidak perlu menyebut nama. “Usianya kira-kira delapan tahun.”
Sunyi. Tak ada yang bicara.
Brigadir Jenderal akhirnya mendekat. Berdiri tepat di depan Raska.
“Kau sadar apa artinya ini, Kapten?”
“Siap.”
“Kau terlalu berani membelokkan rencana.”
Nada suaranya rendah. Berbahaya.
“Dan terlalu sering berhasil.”
Raska menatap lurus. “Siap. Tapi bukan berarti selalu benar.”
Justru itu yang membuat udara menegang.
“Itulah yang membuatmu berbahaya, Kapten,” katanya rendah.
“Kau masih memilih.”
Raska mengangkat pandangannya. “Siap. Saya prajurit, Komandan,” katanya tenang. “Bukan mesin.”
Sunyi kembali turun.
Komandan menghela napas kasar. “Itulah masalahnya.”
Ia berbalik, mengambil satu map hitam dari laci. “Kau sudah satu kali menolak rekomendasi unit khusus,” katanya.
“Kau tahu tidak berapa banyak perwira yang rela menjual idealisme demi map ini?”
Map itu diletakkan di meja. Perlahan. Seolah benda berbahaya.
“Ini tawaran kedua.”
Raska menatap map itu. Sekilas saja. “Siap. Unit yang sama?” tanyanya.
“Lebih tinggi.”
Jenderal menatapnya tajam. “Lebih gelap. Lebih sunyi. Dan tidak semua orang pulang dengan jiwa utuh.”
Beberapa perwira saling pandang. Mereka tahu reputasi unit itu.
Raska diam terlalu lama.
Lalu—
“Siap. Saya menolak.”
Satu kata itu membuat ruangan terasa sempit.
Kolonel yang tadi marah mengumpat pelan. “Kau gila.”
Raska mengangkat kepala. “Siap. Mungkin.”
Brigadir Jenderal menyipitkan mata. “Alasanmu?”
Raska menjawab jujur. Tanpa heroisme. “Siap. Kalau saya masuk ke sana,” katanya pelan, “saya akan berhenti pulang sebagai manusia.”
Ia mengangkat pandangan. “Dan ada seseorang… yang masih membutuhkan saya sebagai manusia.”
Tak ada yang langsung menanggapi.
Akhirnya Jenderal itu menghela napas berat. “Kau ini masalah, Kapten Raska.”
“Siap.”
“Terlalu efektif untuk dipinggirkan," ujar Kolonel.
“Dan terlalu berbahaya untuk dikekang," tambah Jenderal.
Ia menutup map hitam itu kembali.
“Pergi.”
"Siap." Raska memberi hormat. Berbalik.
Saat pintu hampir tertutup—
“Kapten.”
Raska berhenti.
Suara Jenderal itu kali ini lebih pelan. “Kalau suatu hari kau berubah pikiran…”
Raska menjawab tanpa menoleh, “Siap. Tapi bukan hari ini.”
Pintu tertutup.
Di dalam ruangan, seorang perwira bergumam lirih, “Dia menolak kekuasaan… dua kali.”
Brigadir Jenderal menatap pintu itu lama. “Itulah sebabnya,” katanya pelan, “kalau perang sungguhan pecah… dia yang akan kita cari.”
Malam itu, nama Raska kembali dibicarakan.
Bukan sebagai pahlawan. Bukan pula pembangkang. Melainkan sesuatu yang lebih sulit ditangani:
Perwira yang selalu menang , tapi tidak pernah bisa diprediksi.
Dan jauh di tempat lain, seorang perempuan menatap anaknya tidur... Tanpa tahu, setiap keputusan “manusiawi” yang diambil seorang pria di medan perang,
adalah alasan kenapa ia terus menolak menjadi senjata.
***
Di sebuah kamar berdinding putih, lampu tidur menyala temaram.
Elvara merapikan selimut kecil yang menutupi tubuh Rava. Bocah itu sudah setengah mengantuk, rambutnya masih sedikit lembap sehabis mandi.
“Doa sebelum tidur, ya,” ucap Elvara lembut.
Rava menurut. Tangannya yang kecil terlipat rapi di dada. Setelah doa selesai, Elvara mencondongkan tubuh, mengecup kening anak itu dengan penuh kasih.
“Good night, Baby.”
Ia baru melangkah satu langkah ketika suara kecil itu memanggil lagi.
“Mommy…”
Elvara menoleh. “Yes?”
Rava menggeliat sedikit, matanya terbuka setengah. “Mommy doctor… you can draw, right?”
Elvara tersenyum kecil. “Yes, Baby.”
Ada jeda singkat. Rava terlihat ragu, lalu bertanya dengan suara yang terlalu jujur untuk usia sekecil itu.
“Mommy bilang kita nggak punya foto Papa… karena ponsel Mommy hilang.”
Elvara terdiam.
Rava menatap langit-langit, lalu berbisik, “Can you draw… Papa’s face? Rava ingin tahu wajah Papa.”
...🔸🔸🔸...
..."Setiap keputusan manusiawi di medan perang, adalah alasan kenapa seseorang masih berani menyebut dirinya suami."...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏
Kak, up lagi donk 🤭
membuatku srlalu memejamkan Mata sejenak untuk meresapi maknanya
lanjutkan ka...
Tapi... Yang nggk di sadari Orang tua yang bilang begitu, anak laki-laki kan juga manusia biasa. Bukan Robot, yang nggk bisa menangis dan terpuruk. Laki-laki juga pernah menangis juga dan terpuruk, sama Seperti Wanita. Jadi Salah, kalau ada yang bilang laki-laki itu, nggk boleh nangis dan Rapuh Seperti Perempuan. Laki-laki juga manusia biasa 😁😁😁🙏
Nangis Saja Rava, kalau kamu mau nangis, nggk papa kok 😁😁😁🙏