Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Lampu-lampu taman hotel berkelap-kelip, menciptakan suasana romantis dan in-tim di resepsi pernikahan Devan dan Nara. Musik mengalun lembut, menciptakan nuansa syahdu.
Devan, bergandengan tangan dengan Nara, tersenyum lebar saat menyapa beberapa tamu undangan. “Selamat datang, Pak Budi! Terima kasih sudah hadir,” sapa Devan, suaranya hangat dan ramah.
Tampaknya, Devan sudah berhasil mendapatkan kembali energinya setelah beberapa saat tidur dalam pelukan Nara. Wajahnya jauh terlihat lebih bugar dan cerah. Mungkin, efek dari ciuman dan pelukan hangat yang diberikan Nara di kamar tadi.
Nara tersenyum manis, menambahkan, “Terima kasih sudah berbagi kebahagiaan bersama kami.”
Mereka melanjutkan perjalanan menyapa tamu lainnya. Suasana ceria dan hangat menyelimuti mereka.
Namun, saat mata Devan menangkap sosok ayah Endra yang sedang berbincang dengan beberapa orang di dekat bar minuman, senyumnya memudar. Ia mengerutkan dahi, napasnya memburu.
“Dev … kamu kenapa?” bisik Nara, merasakan perubahan sikap Devan. Ia memperhatikan bagaimana senyum Devan memudar, diganti oleh ekspresi tegang.
Devan berusaha untuk tetap tenang. “Nggak apa-apa, Nara,” jawabnya, suaranya sedikit lebih kaku dari biasanya.
Pengantin pria itu berusaha untuk tetap ramah saat menyapa tamu undangan lainnya, tetapi nada bicaranya terdengar lebih formal dan dingin.
Mereka melewati Ayah Endra. Ayah Endra melirik Devan sekilas, lalu tersenyum sinis, mengucapkan sesuatu yang tak terdengar oleh Nara.
Devan merasakan tubuhnya menegang. Tangannya yang menggenggam tangan Nara semakin kuat.
“Dev…,” Nara kembali mencoba berbicara.
Namun, Devan langsung memotongnya. “Aku baik-baik saja,” ujarnya, suaranya sedikit lebih berat dari biasanya.
Ada getaran yang terasa aneh dalam suara Devan. Ia menjawab sapaan seorang tamu undangan, tetapi suaranya terdengar lebih rendah dan berat daripada biasanya. Kata-katanya terdengar lebih formal dan terkesan dingin.
“Selamat malam, Bu … terima kasih sudah hadir,” ucap Devan, suaranya terdengar datar dan tanpa ekspresi.
Nara merasakan getaran amarah yang terpancar dari tubuh Devan. Ia semakin khawatir.
Devan masih mampu melanjutkan acara, berbicara dengan tamu undangan lainnya, tetapi kehangatan dan keramahannya telah sirna. Ia seperti sedang mengenakan topeng, menutupi amarah yang mulai menguasainya.
Acara resepsi pernikahan Devan dan Nara hampir selesai. Hanya beberapa rekan bisnis dan keluarga dekat yang diundang, sehingga suasana terasa lebih in-tim tetapi juga sedikit tegang. Tidak sampai larut malam, para tamu mulai berpamitan satu per satu.
Nara dan Devan bergabung dengan keluarga Devan. Mama dan Oma tampak tegang dan waswas, sesekali melirik Devan yang sejak tadi hanya diam, seolah sedang menahan sesuatu. Papa Devan berusaha untuk tenang, mencoba mencairkan suasana dengan menggelengkan kepala mengikuti alunan musik.
“Ada apa, Ma?” tanya Nara, merasakan ketegangan yang meliputi keluarga Devan. Ia menatap Mama Devan dengan khawatir. “Apa yang terjadi?”
Mama Devan hanya mengusap rambut Nara dengan lembut. “Tidak apa-apa, Sayang. Semuanya baik-baik saja,” jawabnya, tetapi suaranya terdengar sedikit gemetar.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Nara,” kata Papa Devan, suaranya terdengar lebih tegas. “Keluarga kita jauh lebih kuat dari mereka.”
Namun, kata-kata Papa Devan justru menambah kebingungan Nara. Ia tidak mengerti apa yang dimaksud dengan "mereka". Bukan hanya Devan yang tampak aneh, tetapi juga keluarganya.
Akhirnya, pesta selesai, tersisa orang tua Devan dan Nara, Endra dan istrinya, serta orang tua Endra.
Ayah Endra, dengan senyum yang sulit diartikan, menyapa Papa Devan. “Apa kabar, adikku? Lama tidak bertemu!”
Atmosfer di pesta itu berubah mencekam. Nara merasakan tangan Devan semakin dingin dan menggenggam tangannya dengan kuat.
Papa Devan berusaha ramah. “Baik. Tidak kusangka kita bertemu lagi,” jawabnya, suaranya terdengar sedikit tegang.
Semua orang saling berpandangan, merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Bahkan Nara dan Renata juga orang tua mereka, sama-sama tidak mengerti apa yang terjadi. Keheningan yang mencekam menggantung di udara.
Kemudian, ayah Endra, dengan nada sinis dan penuh ejekan, bersuara. “Ternyata, kalian memang tidak pandai memperbaiki kualitas keluarga kalian. Buktinya, kalian mengambil Nara sebagai menantu. Apa kalian sengaja ingin menjalin hubungan dengan kami?”
Kata-kata Ayah Endra menusuk seperti duri, menimbulkan ketegangan yang tak tertahankan. Nara merasakan Devan menegang di sampingnya, tangannya semakin dingin dan erat menggenggam tangannya. Ia tahu, sesuatu yang buruk akan terjadi.
“Sebelum menilai keluarga lain, baiknya menilai keluargamu dulu,” kata Papa Devan, suaranya tegas, menantang tatapan tajam Ayah Endra. “Coba lihat putramu itu! Bukankah dia bertunangan dengan Nara, tapi kenapa yang dinikahi malah adiknya?”
Kata-kata itu membuat Ayah Endra benar-benar kesal. Wajahnya memerah menahan amarah. Ia menatap Devan yang sejak tadi diam, menatapnya dengan tatapan dingin dan penuh kebencian.
“Oh, jadi maksudmu cucunya wanita penggoda ini lebih baik dari putraku?” balas Ayah Endra, suaranya bergetar menahan amarah, diselingi tawa sinis yang terdengar mencekam.
Kata-kata Ayah Endra mengenai "wanita penggoda" dan perbandingan antara Devan dan Endra menjadi titik puncak. Amarah dan kebencian yang selama ini terpendam dalam diri Devan meledak. Perubahannya terjadi secara dramatis dan terlihat jelas.
Bukan hanya perubahan suara dan raut wajah, tetapi seluruh postur tubuh Devan berubah. Bahunya melebar, tubuhnya menegang, dan aura dingin dan mengancam terpancar darinya.
Tangan yang semula menggenggam tangan Nara dengan erat, kini terlepas. Ia berdiri tegak, menatap Ayah Endra dengan tatapan tajam dan penuh kebencian. Sebuah kekuatan yang asing, kuat, dan menakutkan menguasai dirinya.
Suara yang keluar dari mulutnya bukan lagi suara Devan yang lembut dan ramah. Suara itu lebih berat, lebih kasar, lebih dalam, dan dipenuhi amarah yang meluap-luap.
“Kau berani menyebut Oma seperti itu?!” suara itu menggema, menciptakan keheningan yang menegangkan. Nada suaranya bergetar karena amarah yang tak terkendali. Ia melangkah maju, mendekati Ayah Endra dengan langkah pasti dan penuh ancaman.
Dengan kecepatan kilat, Devan melayangkan pukulan yang mengenai rahang Ayah Endra. Suara pukulan itu menggema di tengah keheningan yang mencekam.
Ayah Endra terhuyung ke belakang, tangannya memegangi rahang yang terasa nyeri. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya.
“Si-alan! Beraninya …”
Belum sempat pria tua itu melanjutkan, Devan sudah kembali melayangkan pukulannya. Kali ini lebih kuat dari sebelumnya.
“Devan hentikan!” Papa Devan berhasil sepenuhnya menahan Devan.
Namun, kerusakan sudah terjadi. Ayah Endra terkapar di lantai, wajahnya pucat pasi karena terkejut dan sakit.
Renata berteriak histeris, menangis dan berlari menghampiri suaminya. Sementara itu, Nara terpaku ketakutan melihat perubahan Devan yang mengerikan.
Kemarahan yang menguasai Devan begitu nyata dan mengerikan. Bukan hanya perubahan suara dan raut wajah, tetapi seluruh tubuhnya memancarkan aura bahaya. Mata Devan yang biasanya lembut, kini menyala dengan api amarah yang membara. Tangannya yang kuat masih mengepal, menunjukkan betapa besarnya kekuatan yang menguasainya. Ia meronta-ronta dalam pelukan papanya, berusaha melepaskan diri untuk kembali menyerang Ayah Endra.
Mama Devan dan Nara mencoba menenangkan Devan, tetapi usaha mereka sia-sia. Devan, atau lebih tepatnya sosok yang menguasai tubuh Devan, tampaknya tidak mengenal mereka, atau mungkin mengabaikannya. Ia hanya fokus pada amarahnya, pada rasa dendam yang membara di dalam dirinya.
Endra, yang awalnya mencoba melerai, kini hanya bisa terpaku melihat kejadian di depannya. Ia tidak menyangka kemarahan Devan akan meletus seganas ini.
Ketegangan di ruangan itu mencapai puncaknya. Semua orang terdiam, hanya suara isak tangis Renata dan raungan Devan yang memecah kesunyian.
Acara yang seharusnya menjadi perayaan cinta, berakhir dengan kekacauan dan ketegangan yang luar biasa. Konflik keluarga yang selama ini terpendam, akhirnya meledak tanpa ampun.
Malam itu, tidak ada yang tahu bagaimana akhir dari semua ini. Malam itu, menandai awal dari sebuah pertempuran yang panjang dan penuh dengan ketidakpastian.
Lebih dari itu, malam itu menandai sebuah misteri yang akan segera terungkap: siapakah sebenarnya sosok yang menguasai tubuh Devan, dan apa yang menyebabkan perubahan drastis kepribadiannya?
***
Ada yang udah bisa nebak, Devan kenapa? Yang jelas bukan kesurupan ya 😂😂
kak semangat up nya,,klo bisa yg banyak up nya😁
udah dilarang bejerja di oerusahaan suami tapi tetap dilanggar