NovelToon NovelToon
Yogyakarta Di Tahun Yang Menyenangkan

Yogyakarta Di Tahun Yang Menyenangkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:908
Nilai: 5
Nama Author: Santika Rahayu

Ketika cinta datang dari arah yang salah, tiga hati harus memilih siapa yang harus bahagia dan siapa yang harus terluka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santika Rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 10

Awan tebal yang sepanjang hari menutupi langit akhirnya hilang ditelan bumi, matahari akhirnya menampakkan senyum. Namun hanya sebentar, sebelum gelap malam merebut cahayanya kembali dan digantikan oleh sang rembulan.

Alleta nampak lebih bugar, gadis itu kembali ke mode awalnya. Setelah mandi, Alleta melangkah ke luar kamar, langkahnya yang bersemangat terdengar menuruni tangga.

Ketika sampai di lantai dasar, gadis bermata cokelat itu langsung melangkah ke arah dapur. Disana dia melihat ibunya yang tengah bergelut dengan alat dapur, aroma rempah rempah tercium halus di hidung Alleta.

“Mama...” sapa gadis itu manja, Alleta memeluk tubuh ibunya dari belakang.

“Ehh, anak Mama.., udah sehat?” Sekar membalas dengan kecupan lembut di kening putrinya.

“Udah Ma.” jawab Alleta, dagunya kini bertumpu pada bahu sang ibu. “Papa dimana?”

“Di ruang kerjanya,” Sekar menjawab sembari tangannya tetap sibuk membuat sup ayam, dia sama sekali tidak terganggu dengan Alleta yang selalu menempel padanya.

Tak lama kemudian, suara langkah pelan terdengar dari belakang, “Ehh non Leta udah sehat?” ujar bi Maya yang baru saja selesai megangkat jemuran.

“Udah bi.” balas Alleta sembari mengangkat pandangannya.

“Bu, ada yang bisa bibi bantu?.” bi Maya bertanya dengan sopan.

“Bantu hidangkan ya bi, saya mau panggil bapak.” Sekar melepas pelukan Alleta pelan, “Kamu duduk aja dulu, mama panggil papa sebentar .” Wanita itu kemudian melepaskan apron yang dipakainya lalu melangkah keluar dapur.

Bi Maya langsung bergerak cekatan. Ia mengambil mangkuk mangkuk besar dari rak, langkahnya ringan namun gesit, seolah sudah hafal dengan isi dapur itu sejak lama.

Alleta duduk di kursi meja makan, dia mengambil kotak roti bakar yang dibawakan Tristan tadi–masih ada dua potong. Alleta mengambil roti bakar itu kemudian memakannya.

Langkah pelan kembali terdengar, bukan dari ruang kerja, bukan pula dari belakang. Tapi dari pintu utama, pak Edo masuk sembari menenteng tas plastik kecil, “Non, ini ada titipan.” katanya sembari menyodorkan tas plastik berisi sekotak salad itu pada Alleta.

“Dari siapa.?” alis sebelah Alleta sedikit terangkat, namun dia tetap menanggapi salad itu.

“Gak tau, barusan ada anak cowok yang anterin, katanya buru-buru, langsung pergi.” tutur pak Edo.

“Ohh, makasih ya pak.”

Pak Edo mengangguk kecil lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang belakang, meninggalkan Alleta yang kini menatap plastik bening itu dengan bingung. Kotak salad di dalamnya tampak masih dingin, seolah baru saja keluar dari kulkas.

“Non dapet kiriman?” tanya Bi Maya sambil menata mangkuk sup di tengah meja.

“Iya…” Alleta mengangkat plastik itu sedikit. “Tapi… katanya dari anak cowok, gak bilang namanya.”

Bi Maya mencondongkan tubuh sedikit, kepo alami seorang yang sudah menganggap Alleta seperti anak sendiri.“Temen sekolah Non, kali?”

Alleta mengangkat kotak salad itu, membaca catatan kecil yang ditempel rapi di tutupnya—kertas kecil dengan tulisan tangan yang rapi sekali:

Alleta terdiam sejenak setelah membaca selembar sticky note itu, Sagara?. Dia kemudian membuka tutup kotak itu. Benar saja, tidak ada tomat di dalamnya.

Perlahan senyum kecil mengembang di wajahnya–salting.

“Ciee dari pacarnya ya.?” komentar bi Maya ketika melihat gadis itu tersipu dengan pipinya yang sedikit memerah.

“Enggak.., dari temen.” bantah Alleta cepat.

“Ohh..” balas bi Maya, namun senyum jahil masih terpatri di wajah wanita paruh baya itu.

Alleta kemudian mengambil garpu, dan mulai melahap salad sayur itu, rasanya segar, seolah baru saja dikeluarkan dari kulkas.

Beberapa saat berlalu, Sekar kembali muncul dari ruang kerja, diikuti oleh Bagas di belakangnya. “Anak papa udah baikan?” Sapa Bagas, mengusap pucuk kepala putrinya lembut.

“Hehe udah pa..” jawab Alleta sembari tetap melahap saladnya.

“Loh ada salad?” tanya Sekar sembari menarik kursi di sebrang Alleta.

Alleta berhenti mengunyah, sesaat. “Iya, ada yang nganter barusan.”

“Siapa?” Sekar bertanya lagi.

“Katanya tadi anak cowok tapi gak tau namanya siapa.” Ujar bi Maya, tangannya dengan cekatan menata piring di meja makan.

Bagas menatap lebih teliti ke arah kotak salad itu, lalu ke wajah putrinya yang pipinya mendadak memerah. Ayah mode detektif aktif. “Anak cowok mana? Temen kelas?”

“Iyaa…” jawab Alleta sambil menatap mangkuk sup, menghindari tatapan mereka berdua. “Cuma temen.”

Bi Maya yang sedang menata gelas tiba-tiba nyeletuk—dengan timing yang terlalu sempurna.

“Temen tapi bikin Non Leta malu-malu gitu, Pak.”

Alleta langsung memelototinya, “Biii…”

Bagas tertawa kecil, suaranya berat namun hangat. “Yaudah, Papa percaya. Temen.”

Ia menepuk bahu Alleta lembut. “Yang penting kamu udah sehat. Biar makanannya dari siapapun, Papa seneng kamu dimanja banyak orang.”

Sekar menambahkan, nada suaranya lembut namun penuh makna. “Dan kalo ada yang perhatian sama kamu… Mama juga mau tau cerita lengkapnya nanti.”

“Ma…” Alleta mengeluh kecil, menutup wajah pakai tangan. Pipinya makin merah.

Bagas dan Sekar saling pandang lalu tertawa pelan melihat reaksi putri satu-satunya itu.

“Udah, udah… makan dulu,” ucap Sekar sambil menuangkan sup ayam hangat ke mangkuk Alleta. “Supnya masih panas, cocok buat yang baru sembuh.”

Bi Maya ikut tertawa, setelah selesai menata alat makan, dia pun kembali ke dapur untuk merapikan alat-alat dan sisa masakan tadi.

Kegiatan makan malam pun dimulai, Bagas mengambil sendok kemudian mencicipi sup ayam buatan istrinya. “Mm, enak banget ma..” pujinya membuat Sekar tersanjung.

“Kapan coba mama masak gak enak?” balas Sekar tengil, wanita itu mengibaskan rambutnya ke belakang.

“Iyaa.., masakan mama emang yang paling enak, koki bintang lima pun kalah sama mama..” ujar Bagas lagi, melebih-lebihkan pujiannya.

Mereka pun tertawa ringan, meja makan itu dipenuhi kehangatan. Alleta hanya bisa senyum-senyum melihat keharmonisan keluarganya, dalam keadaan seperti ini sulit sekali mengingat bahwa kedua orang tuanya sangat jarang berada di rumah.

Alleta meletakkan alat makannya, kemudian meneguk air dari gelasnya setelah dia menelan suapan terakhir dari piringnya. Sekar dan Bagas juga terlihat sudah menyelesaikan makan mereka.

“Oh ya, Alleta, papa mau bilang sesuatu sama kamu.” Bagas berbicara, kali ini wajahnya terlihat lebih serius.

“Bilang apa pa?” tanya Alleta, wajahnya juga mulai berubah, jujur saja Alleta merasa was-was jika ayahnya mulai bicara serius seperti ini.

“Kamu tau kan, vaksin Denluma yang lagi papa dan mama teliti di laboratorium?” tanya Bagas, suaranya pelan namun mengandung berat yang sulit dijelaskan.

“Tau…” Alleta menegakkan tubuhnya, kedua tangannya saling menggenggam di pangkuan. Ada hal-hal tertentu yang jarang dibicarakan di meja makan dan kalimat pembuka ayahnya tadi adalah salah satunya.

Bagas bertukar pandang dengan Sekar, seolah meminta restu untuk melanjutkan. Sekar mengangguk tipis, wajahnya tetap lembut seperti biasa, namun sedikit raut ragu tampak terselip di sana.

“Sekarang demam berdarah lagi marak,” lanjut Bagas, nadanya tenang. “Pemerintah Singapura meminta kerja sama langsung dengan tim papa dan mama untuk mempercepat uji klinis Denluma.”

Alleta mengerutkan kening. “Uji klinis… di Singapura?”

Sekar tersenyum lembut, meski sendu nampak jelas di wajahnya.“Iya, Sayang. Ini kesempatan besar. Kalau riset ini berhasil, Denluma bisa jadi vaksin yang menyelamatkan banyak orang. Banyak banget.”

Alleta menelan saliva, jantungnya berdetak tak nyaman.“Terus… papa sama mama harus… pergi?”

Bagas menarik napas. “Iya. Tiga Minggu. Mungkin bisa lebih kalau proses uji lanjutannya berjalan lancar.”

Keheningan turun perlahan.

Tiga minggu.

Untuk sebagian orang, mungkin terdengar biasa. Tapi bagi Alleta, yang terbiasa bangun dengan rumah yang sepi, malam makan dengan dua kursi kosong, dan sendirian meski punya orang tua yang sangat mencintainya… tiga minggu adalah waktu yang panjang.

“Papa tau kamu mungkin gak suka dengernya.” Bagas meraih tangan Alleta yang lain, menggenggam keduanya di antara telapak tangan besarnya. “Tapi ini untuk banyak orang.”

Sekar tersenyum lembut. “Mama juga. Kamu mau mama kirimin foto-foto lab, atau mau mama beliin sesuatu dari sana, tinggal bilang.”

Alleta memaksa tersenyum, meski matanya berkedip sedikit lebih cepat dari biasanya.

“Hehe… iya, aku ngerti kok. Ini kan kerjaan papa mama.”

Justru karena mengerti… rasanya makin nyesek.

Bagas mencondongkan badan, suaranya rendah dan penuh kasih.“Sayang, kamu kuat. Papa sama mama gak akan pergi kalau ini gak penting. Dan kamu gak sendirian di rumah. Ada bi Maya, ada Pak Edo… dan–”

“…ada Tristan ya, Pa?” potong Alleta, mencoba mencairkan suasana.

Bagas tertawa kecil. “Iya, itu juga. Anak itu gak bakal biarin kamu kesepian.”

Sekar menambahkan sambil mencolek lengan putrinya, “Dan kalo yang tadi ngirimin salad itu muncul lagi, mama juga mau tau ceritanya nanti.”

“Mah…” Alleta menutup wajah dengan kedua tangan, setengah malu, setengah lega karena suasana tak lagi tegang.

Sekar bangkit lalu memeluk putrinya dari samping, sementara Bagas mengusap kepala Alleta lembut.

“Kita pergi lusa sore,” ucap Sekar, masih memeluknya.“Kamu boleh ngambek,” tambahnya manis, “tapi jangan sedih sendirian.”

Alleta mengangguk pelan di dalam pelukan itu.

“Aku cuma… bakal kangen.”

“Kita juga.”Jawaban itu datang dari Sekar dan Bagas bersamaan.

Suasana meja makan yang tadinya hangat dan dipenuhi tawa, kini berubah lebih tenang–lebih dalam, dipenuhi rasa tidak rela dan saling mengerti, meski tidak semua bisa diucapkan.

...****************...

“Hah...., Singapura??, Tiga minggu??” Aru menganga mendengar penuturan Alleta.

Alleta menghela nafas lesu, “Iya, mereka berangkatnya besok..” katanya.

“Besok??, mendadak banget..” Aru menanggapi, bukan Arutala Himawari namanya jika tidak heboh.

“Gak usah sampe segitunya dong..” Alleta terkekeh, tangannya mentoel pipi Aru yang terlalu dekat dengannya.

“Sumpah All, kok lo kuat banget sih..?” Aru menggenggam kedua tangan Alleta, wajahnya juga sendu–penuh prihatin.

Alleta mengedikan bahu, “Ya mau gimana lagi.., kerjaan mereka.” balasnya pasrah.

“Lagian ortu Lo punya berasa perusahaan sii??, banyak banget kerjaannya.” Aru mendengus, seolah menyampaikan kemarahan pada kedua orang tua Alleta karena membiarkan sahabatnya kesepian.

“Cuma dua kok, tapi cabangnya emang dimana-mana, ” Alleta membalas santai. “Lagian kok Lo yang marah sii.., kan gue yang ditinggal..” lanjutannya lagi sembari memeluk sahabatnya itu dengan manja.

“Ortu Lo tuhh.., hobi banget bikin sahabat gue kesepian..” Aru melipat kedua tangannya di depan dada, nadanya terdengar seperti kesal yang dibuat-buat.

“Gakpapa Aruu..., ortu gue kan kerja..” Alleta semakin mengeratkan pelukannya.

“Oh ya.., gue juga ada yang mau dikasih tau sama Lo...” celetuk Aru tiba-tiba.

Alleta kemudian melepaskan pelukannya, “Apa?”

“Besok kan malam minggu?” Alleta mengangguk, “Pacar virtual gue ngajak jalan....”

Alleta sontak melepaskan pelukannya, matanya membulat sempurna, “Hah..??, pacar virtual, yang dari Magelang itu?”

Aru mengangguk cepat, matanya berbinar berlebihan. “Iya! Akhirnya setelah LDR enam bulan, gue bakal… first date!”

Alleta menatap sahabatnya itu lama—sangat lama. Wajahnya tanpa ekspresi. Terlalu datar sampai Aru gelisah sendiri.

“…Lo gak percaya ya?” Aru memelototi Alleta.

Alleta mengangkat kedua tangan. “Bukannya gak percaya. Gue cuma masih mencoba memproses kata pacar dan virtual dalam satu kalimat.”

Aru mendengus dramatis. “Lo tuh… kalau gak bisa support sahabat lo, minimal jangan nge-roasting.”

“Aku bukan nge-roasting,” Alleta menyandarkan punggungnya ke tembok. “Gue cuma… mau memastikan lo gak diculik.”

“Nahh itu makanya..” Aru menjentikkan jarinya. “Lo temenin gue ya..” Aru manatap Alleta sembari mengedipkan matanya, berusaha terlihat menggemaskan.

“Engga..” jawaban itu meluncur terlalu cepat.

Ekspresi Aru yang tadinya begitu memohon seketika berubah cemberut, “Kenapa engga??”

Alleta menghela nafas panjang, “Arutala Himawari..., tuh cowok cuma Lo kenal lewat hp, masa mau ketemu gitu aja, ntar kalo ternyata dia penipu gimana??”

“Engga akan, lagian gue udah vc berkali-kali, gak mungkin penipu lah..” sarkas Aru kekeuh.

Alleta terdiam, dia seolah menimbang sesuatu, “Yaudah, tapi masa gue jadi obat nyamuk...” cetusnya lagi.

“Engga akan, nanti dia bawa temen kok, katanya dia punya temen yang tinggalnya di daerah sini juga, gak bakal jadi obat nyamuk Lo..” Aru membujuk lagi.

Alleta kembali terdiam, dia berpikir, daripada sendiri di rumah meratapi nasibnya yang ditinggal ke Singapur oleh kedua orang tuanya, lebih baik jalan-jalan. “Oke.., gue temenin..” kata Alleta akhirnya.

Bersambung...

-Aku mungkin hanya berdiri di pinggir ceritanya, tapi aku selalu berharap langkahnya mengarah pada kebahagiaan..-

~Arutala Himawari~

1
Fathur Rosi
asik akhirnya up lagi
butterfly
lanjuttttt💪💪💪💪
Fathur Rosi
up Thor......... gasssss
Fathur Rosi
up Thor......... gasssss
Fathur Rosi
mantap
Lilis N Andini
lanjut /Rose//Rose//Rose//Rose//Rose/
Sant.ikaa
Kalian tim Tristan Alleta OR Sagara Alleta
Sant.ikaa
Yang mau lanjut absen dongg
butterfly
lanjut thor 💪💪
Sant.ikaa: sudah nihh
total 1 replies
Fathur Rosi
asik ceritanya...... gassssss
Siti Nina
Oke ceritanya Thor 👍👍👍
Lilis N Andini
ceritanya bagus,dengan latar sekolah yang menggemaskan seakan bernostalgia ketika masa putih abu
Sant.ikaa: terimakasih dukungannya😊
total 1 replies
Lilis N Andini
ditunggu upnya kak/Heart/🙏
Lilis N Andini
Aku mampir kak....semangat/Rose//Rose/
kalea rizuky
lanjut banyak thor nanti q ksih hadiah
kalea rizuky
aduh km knp Tristan
kalea rizuky
yaaa sad boy donk tristan
kalea rizuky
kasian Tristan jd Ubi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!