Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.
Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.
Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.
Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.
Genre : Romansa Gelap
Written by : Dana Brekker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 7
“Sayang,” Nadea lantas turut berdiri, menahan pergelangan tangan suaminya. “Jangan, ini pesta Calista. Malu banyak orang lihat.”
Namun Saviero enggan menurunkan tensi. “Anak ini gak pernah tahu sopan santun. Kamu pikir cuma karena pernah jadi anak emas di waktu kecil, kamu bisa seenaknya ngata-ngatain ayah?”
Darren hanya tersenyum tipis. Senyum yang, entah kenapa, malah membuat Saviero makin ingin meninjunya.
Bahkan di sisi lain ruangan, tak ada satu pun petugas keamanan yang bergerak. Mereka lebih suka pura-pura sibuk, atau memasang wajah cemas tanpa aksi.
Senyum Darren melebar sedikit kala itu. “Sepertinya mereka akan membiarkanmu menghajarku?”
“Jelas! Itu karena kamu memang aib dikeluarga ini!”
“Alright.” Darren menatap lurus, menanggapi geraman kakaknya. “Mungkin memang aib. Lagipula aku gak butuh dihormati. Aku juga gak butuh jadi bagian dari keluarga ini lagi. Aku ingin hidup dengan caraku sendiri, tanpa harus tunduk pada aturan siapa pun. Aku datang ke sini bukan buat cari restu, tapi untuk memastikan kalau Calista masih punya alasan buat hidup normal.”
Saviero mendengus sinis. “Kamu pikir dunia luar bakal menerima kamu gitu aja, hah? Tanpa nama Aksantara, kamu cuma sampah.”
“Justru itu,” balas Darren dengan datar. “Supaya gak ada yang perlu tahu aku siapa. Supaya gak ada lagi orang yang menilai dari marga, dari warisan, dari harta yang bahkan bukan aku yang kumpulkan. Aku cuma mau jadi diriku sendiri. Tanpa beban nama keluarga ini.”
Ucapan itu membuat seisi ruangan makin beku. Begitu heningnya sampai hanya terdengar denting sendok jatuh dari tangan salah satu pelayan di ujung ruangan. Nyaring bunyinya, baradu dengan detak jantung Viena yang khawatir jika sesuatu hal yang lebih buruk terjadi. Apa dirinya harus lari? Atau tetap tinggal, melindungi Darren? Masalahnya hal semacam itu tidak ada dalam perjanjian awal mereka.
Nadea menatap Darren dengan penuh keheranan. “Darren, kamu tuh bener-bener udah kelewatan. Tapi apa alasanmu begitu… pasti karena gadis itu, ya?” Ia melirik sekilas ke arah Viena, yang sedari tadi hanya menunduk diam.
Sementara Darren melirik Viena sebentar tepat sebelum memberi jawaban, “Aku membawa dia ke sini bukan untuk cari perhatian. Aku cuma mau nunjukin sesuatu.”
“Nunjukin apa?” tanya Nadea.
“Kalau seseorang di luar keluarga ini pun bisa lebih tulus daripada semua basa-basi yang kalian buat setiap waktu,” beber pemuda itu, menatap langsung kakaknya. “Setelah ibu meninggal, rumah ini memang bukan rumahku lagi.”
Situasi di antara mereka udah kelewat tegang. Lalu di saat itulah, tanpa ia sadari jari Viena menggenggam tangannya . Darren mencari-cari jemari Viena untuk membalas, menggenggamnya erat.
Hangat. Ragu. Bahkan canggung. Namun cukup untuk menghentikan Darren dari berkata lebih jauh lagi, dan Darren menyadari hal itu.
Dia menarik napas dalam-dalam, meminum air dari gelas itu lagi, mencoba meredam ego yang mulai mendesak keluar. “Tenang aja, Kak. Aku gak akan ganggu reputasi keluarga ini. Aku cuma datang buat Calista. Setelah itu, aku pulang ke rumahku sendiri.”
“Pulanglah! Tapi apa yang kau tahu tentang ibu, hah? Menuduh ayah sebagai pembunuh?” Saviero sendiri melangkah menuju ke arah Darren, beruntung tatkala itu pintu ruang makan dibuka dari luar.
“Kak Darren?”
Semua kepala menoleh.
Calista berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun hijau mint yang soft. Wajahnya berseri, rambut cokelatnya digelung rapi, dan senyumnya menghangatkan ruangan yang telah lama membeku.
Begitu matanya menangkap Darren, senyum lebar lantas berubah sebaliknya. “Kakak beneran datang…” rengek Calista diikuti tangis haru.
“Happy Birthday My Calista.” Darren berdiri perlahan, sebelum memeluk adiknya. “Aku udah janji, kan? Tapi Kakak beneran telat nih.”
Di sisi lain, Saviero mundur satu langkah, menelan sisa amarahnya. Tentu dirinya tidak ingin merusak momen di depan Calista. Nadea juga tau akan hal itu. Ia menyentuh lengan suaminya, memberi isyarat untuk keluar.
Calista melepas pelukan Darren dengan mata masih basah. Ketika ia hendak menyeka pipinya, pandangannya berhenti pada gadis yang berdiri sedikit di belakang Darren.
Lantas Viena menundukkan kepala sedikit, mencoba untuk terlihat sopan. “Halo, aku Viena.”
Untuk beberapa detik, Calista hanya memandangi Viena dari atas sampai bawah, seperti anak kecil.
“YA AMPUN CANTIK BANGET!”
“Eh, apa? Aku?” Viena tersenyum canggung, pipinya memerah.
“Iya! Cantiknya tuh… cantik yang elegan gitu loh!” Calista mendekat, memegang kedua tangan Viena. “Kak Darren akhirnya punya pacar… akhirnyaaa!”
Darren berdiri juga, dua tangannya masuk saku kala
senyum tipis tidak dapat dia sembunyikan. Dia tahu Calista pasti akan cocok dengan Viena.
“Kenalin! Aku Calista. Kak Viena pacarnya Kak Darren?” sambil menatap Viena dengan mata berbinar-binar.
Viena ingin pingsan. Tapi terpaksa mengangguk sambil meringis.
“OH MY GOD AKHIRNYA! Kalian cocok banget sumpah.”
“Ya udah, kalian harus makan! Aku bikin Red Velvet, tapi aku juga bikin Matcha Cake karena aku tau Kak Darren suka yang agak pahit!” lanjut Calista seraya menarik tangan Viena dan Darren masuk ke sisi lain ruang makan. “Oh iya, harusnya Kak Darren ajak Kak Viena makan besar dulu. Ada sate kambing . Itu enak banget sumpah! Sama rawon juga! Terus steaknya juga lumayan loh! Aku juga mau makan lagi.”
Darren mengacak-acak puncak kepala adiknya dari belakang. “Pelan-pelan, emang kamu babi?”
“KAK DARENNNN!!”