Virus itu menyebar seperti isu murahan: cepat, tak jelas sumbernya, dan mendadak membuat semua orang kehilangan arah.
Hanya saja, kali ini, yang tersebar bukan skandal... melainkan kematian.
Zean, 18 tahun, tidak pernah ingin jadi pahlawan. Ia lebih ahli menghindari tanggung jawab daripada menghadapi bahaya. Tapi saat virus menyebar tanpa asal usul yang jelas mengubah manusia menjadi zombie dan mengunci seluruh kota,Zean tak punya pilihan. Ia harus bertahan. Bukan demi dunia. Hanya demi adiknya,Dan ia bersumpah, meski dunia runtuh, adiknya tidak akan jadi angka statistik di presentasi BNPB.
ini bukanlah hal dapat di selesaikan hanya dengan video cara bertahan hidup estetik,vaksin atau status WA.
___
Like or die adalah kisah bertahan hidup penuh ironi, horor, dan humor kelam, tentang dunia yang tenggelam dalam kegilaan.
(update max 2 kali sehari,jika baru 1 kali berarti lagi scroll fesnuk cari inspirasi, beneran,jika pengen lebih beliin dulu kopi 😌)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zeeda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kegelisahan yang tidak ingin di ungkapkan
( Ayu )
...
Ayu duduk di sudut ruangan, memeluk lututnya, boneka kelinci kecil itu masih di pangkuannya. Tak banyak yang tahu, boneka itu bukan sekadar sisa masa kecil,tapi satu-satunya yang tersisa dari saat-saat di mana dunia belum gila.
Ia menatap jendela. Cahaya pagi mulai memudar, tertutup awan berat. Dunia terlihat seperti foto lama yang dicetak di atas debu. Semua buram, kecuali rasa bersalah.
“Mama...” gumamnya pelan. Suara itu tidak untuk didengar siapa-siapa.
Sejak malam sebelumnya, rasa bersalah menempel di tubuhnya seperti kulit kedua. Ibunya bukan zombie. Belum sepenuhnya. Tapi Ayu memilih pergi. Memilih bertahan. Dan sekarang ia duduk di rumah orang lain, dengan orang-orang yang belum tentu selamat, membawa secercah harapan yang terasa curang.
Ia menggenggam boneka itu lebih erat. Di dalam hatinya, ada perdebatan yang tidak pernah selesai: Apakah ia berkhianat? Atau... apakah ia akhirnya bertindak sebagai anak yang peduli? Mana yang lebih manusiawi, tinggal bersama kematian, atau mencari hidup yang belum tentu ada?.
Ayu tidak tahu. Tapi matanya kering. Air matanya habis semalam.
Lalu suara Zean terdengar samar di kejauhan. Menjelaskan rencana, membagi tugas. Lira menyebut nama Ayu, bertanya apakah ia siap.
Ayu bangkit. Pelan. Berat. Tapi ia bangkit.
Dia tak tahu apakah yang dilakukannya benar. Tapi dia tahu satu hal, ia masih bisa berjalan. Dan selama bisa berjalan, mungkin ia bisa menebus sesuatu. Kalau bukan untuk mamanya... maka untuk seseorang yang masih punya harapan.
( Lira )
...
Lira berdiri di depan wastafel yang retak, membasuh wajah dengan air sisa dari ember kecil. Dinginnya menusuk, tapi itu yang ia butuhkan. Bukan untuk menyegarkan diri, tapi untuk merasa. Kadang, rasa dingin adalah satu-satunya bukti bahwa dia masih hidup.
Cermin di depannya buram, tapi cukup untuk menangkap pantulan wajahnya, mata yang sedikit bengkak, pipi yang tak lagi semulus dulu, dan rambut yang berantakan. Tapi itu bukan masalah. Yang mengganggunya adalah bayangan yang muncul di dalam kepalanya,wajah ibu, yang entah sekarang ada di mana.
Ia belum pernah menangis soal itu. Bahkan ketika Zean bertanya malam-malam, ia hanya mendesis, “Kita semua kehilangan sesuatu.” Seolah kehilangan itu bisa disejajarkan dan diukur.
Tapi pagi ini, Lira merasa kehilangan itu bukan sesuatu yang bisa dibagi rata. Ada luka yang tidak terucapkan karena ia terlalu takut terlihat lemah. Ia adik. Ia beban. Tapi ia tidak mau jadi beban. Jadi ia jadi marah. Sinis. Cuek. Semuanya hanya bentuk perlindungan yang lama-lama terasa seperti topeng yang tumbuh akar.
Suara langkah mendekat. Ayu. Diam-diam, Lira mengamati gadis itu. Ada kelembutan rapuh di tubuh Ayu, sesuatu yang mengingatkannya pada dirinya sendiri,kalau saja dia tak membentengi diri dengan kemarahan.
Lira menarik napas. Waktunya bicara soal rencana, soal misi, soal dunia yang terbakar di luar sana. Tapi sebelum keluar, ia menatap bayangannya sekali lagi.
"Lo harus kuat, Ra," bisiknya. “Kalau nggak buat diri lo, ya buat yang masih lo punya.”
Dan dengan itu, Lira kembali ke ruang tengah, ke tempat di mana rasa takut, rasa sayang, dan rasa kehilangan bertabrakan tanpa aturan.
( Johan )
...
Johan duduk sendiri di ruang tamu, punggungnya bersandar ke dinding, kaki terlipat, tangan memutar-mutar obeng kecil yang ia temukan kemarin. Benda tak penting, tapi ia tak bisa membiarkannya pergi. Mungkin karena ia butuh sesuatu untuk dipegang. Untuk dikendalikan.
Dulu, sebelum semuanya kacau, Johan adalah orang yang paling tidak menyukai konflik. Ia biasa jadi penengah, si tukang bercanda, si “nggak usah dibikin ribet.” Tapi dunia sekarang tidak memberi ruang untuk itu. Sekarang, ia harus memilih, diam dan hidup, atau bicara dan mungkin kehilangan seseorang.
Ia memandangi Ayu, yang duduk diam sambil memeluk lututnya. Lira berdiri di dekat jendela. Zean entah ke mana. Dan dirinya... hanya duduk. Lagi.
“Apa gunanya gue di sini?” pikirnya. “Gue bukan yang paling kuat. Bukan yang paling berani. Gue bahkan bukan yang paling pintar.”
Tapi di sela keraguan, ia ingat satu hal, suara Dini yang tertawa waktu mereka saling ejek di kelas, senyum Lira yang pernah muncul setengah detik saat ia berhasil membuat lelucon buruk, dan suara Zean yang, entah kenapa, selalu memberinya tanggung jawab kecil: jagain pintu, periksa rak, tahan benteng.
Bukan perintah besar. Tapi itu berarti.
Mungkin... itu sebabnya ia masih bertahan.
Mungkin gunanya bukan jadi pahlawan. Tapi jadi orang yang cukup bisa dipercaya untuk bertahan bersama.
Ia mengepalkan tangan di atas obeng kecil itu, lalu berdiri. Punggungnya pegal, tapi langkahnya pasti.
“Ayo, kita siapin barang,” katanya ke udara, seolah siapa pun bisa menjawab.
Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, Johan merasa... meski dunianya runtuh, ia masih punya tempat di puing-puingnya.
( Dini )
...
Dini terbiasa bangun dalam gelap. Bukan karena trauma, tapi karena sejak kecil, ia tak pernah percaya dunia jadi lebih baik saat terang datang.
Kini, rumahnya sunyi, lebih sunyi dari biasanya. Ayah di kamar. Yang lain tidur di ruang tamu. Tapi Dini tak benar-benar merasa bersama mereka. Ia dekat, tapi juga terpisah. Sejak dulu.
Di hadapannya, peta yang ia gambar sendiri. Penuh garis kasar dan catatan kecil. Gudang logistik. Villa paman. Sekolah. Tapi tak ada peta yang bisa menuntunnya kembali ke hari di mana ibunya masih hidup dan ayah masih tersenyum.
Ayah dulu seorang idealis. Polisi yang percaya pada hukum, bahkan saat hukum mulai runtuh. Tapi idealisme yang terlalu keras berubah jadi beban. Kini, ia hanya duduk di kursi roda, menjaga rumah seakan itu satu-satunya benteng tersisa dari kewarasan. Mereka jarang bicara. Dini tak tahu lagi apakah diam mereka adalah bentuk cinta, atau sekadar kelelahan.
Ia melihat ke cermin kecil yang digantung miring. Wajahnya sudah berubah. Lebih kaku, lebih dewasa, tapi bukan karena usia. Dunia memaksanya bertumbuh sebelum waktunya.
Dini tahu dirinya bukan pemimpin. Tapi dia juga bukan pengikut. Ia seperti penyeimbang,yang mencoba menjaga logika di antara amarah Zean, kepanikan Lira, dan luka Ayu. Tapi siapa yang menjaga dirinya?
Ia pernah ingin jadi arsitek. Membangun sesuatu yang kuat, indah, dan bisa melindungi orang. Ironis. Kini ia hanya bisa membantu menjaga atap rumah tua dari runtuh.
Pagi itu, ia berdiri lama di depan kamar ayah. Ingin bicara. Mungkin minta doa. Atau sekadar bertanya apakah ia masih bangga padanya. Tapi suaranya tak keluar.
Ia membalik badan, mengenakan jaket, dan mengambil senter.
Hari ini mereka akan pergi. Lagi. Menuju ketidakpastian. Tapi Dini tahu, kalau dia tidak ikut, tak ada yang akan mengingat jalan pulang.
( Zean )
...
Zean duduk sendirian di loteng. Bukan tempat favoritnya, tapi satu-satunya tempat di rumah itu yang cukup tinggi untuk melihat langit,atau sisa-sisa dari apa yang dulu disebut langit.
Kadang Zean bertanya dalam hati: apakah yang membuat seseorang tetap waras di dunia seperti ini? Apakah karena punya tujuan? Atau karena terlalu takut untuk runtuh?
Ia tak pernah merasa cukup kuat. Sejak awal. Sebelum dunia ini runtuh. Hanya seseorang yang malas pada dunia, Ia hanya pura-pura tenang, demi Lira. Demi dirinya sendiri. Karena kalau ia jatuh, siapa lagi yang akan menggenggam tangan adiknya?.
Bahkan sekarang,ia tak pernah minta jadi pemimpin. Ia hanya ingin melindungi Lira. Tapi perlahan, orang-orang mulai menoleh padanya. Menunggu keputusan. Mengikuti langkahnya. Meskipun ketika langkah itu goyah.
Zean bukan pemberani. Ia hanya orang yang terlalu keras kepala untuk berhenti. Bahkan ketika semua tertidur dan hanya suara angin yang menggores jendela... pikirannya kembali ke satu titik yang tak pernah ia selesaikan,ibunya.
Ia membaca surat itu. Sudah entah berapa kali. Hafal setiap patah katanya. “Maaf karena harus pergi lebih dulu...” Apakah itu berarti ibunya menyerah? Atau sedang melindungi mereka dengan caranya sendiri? Tidak ada bukti. Tidak ada tubuh. Hanya asumsi dan ketakutan.
Zean tak tahu harus berharap apa. Jika ibunya berubah... apakah ia masih mau ditemukan? Jika ibunya selamat... kemana dia pergi.
“Apa Ibu berpikir aku cukup kuat untuk ini?” pikirnya.
Zean terlalu takut untuk mencari jawaban. Tapi juga terlalu takut untuk berhenti bertanya.
Dan Ayu… Tuhan. Melihat Ayu hancur tapi masih bertahan, membuat Zean merasa lebih rapuh dari sebelumnya. Ia ingin jadi pelindung, tapi bahkan dirinya sendiri terasa seperti pecahan kaca,tajam, tapi mudah retak.
Di sakunya, ia simpan pisau kecil. Bukan senjata utama, tapi satu-satunya benda yang ia ambil dari rumahnya sebelum pergi. Pisau ayahnya. Simbol warisan yang ia benci, tapi tak bisa lepaskan.
Zean menarik napas dalam. Pandangannya menelusuri atap-atap yang kosong. Kota ini mati, tapi mereka belum. Itu saja yang ia pegang hari ini.
Di bawah, ia tahu yang lain sedang bersiap. Akan ada misi, lagi. Akan ada pertaruhan. Tapi untuk sesaat, Zean membiarkan dirinya diam. Mengakui rasa takut. Rasa bersalah. Rasa ingin menyerah.
Dan itu menyiksanya lebih dari luka apa pun.
(Ayah Dini : Pak Rudi )
...
Malam telah lama turun, dan rumah ini kembali hening. Sunyi yang dulu berarti damai, kini terdengar seperti napas terakhir dunia.
Dini tertidur di pojok ruangan, meringkuk seperti waktu kecil, ketika ia bangun dari mimpi buruk dan datang memelukku tanpa suara. Tapi sekarang... mimpi buruk itu bukan lagi mimpi. Dan aku tak lagi cukup kuat untuk menggendongnya ke tempat aman.
Tanganku gemetar saat mencoba memutar roda kursi, walau tak perlu ke mana-mana malam ini. Aku hanya ingin merasa masih bisa bergerak. Masih bisa... berguna.
Dulu aku guru. Ayah. Suami. Sekarang? Seorang pria setengah lumpuh yang cuma bisa mengandalkan kamera pengawas dan tumpukan kaleng makanan. Kadang rasanya seperti aku juga sudah mati,cuma belum terbaring saja.
Mereka anak-anak. Semua anak-anak. Dan aku? Aku membiarkan mereka menanggung beban yang seharusnya jadi tugasku.
Tapi bagaimana caranya menjadi pelindung kalau dunia ini tak lagi punya aturan?
Aku tahu mereka memandangku dengan hormat. Atau kasihan. Kadang aku tidak tahu mana yang lebih berat. Tapi aku lihat cara Zean bicara. Cara Dini diam. Cara Lira menatap senyap. Mereka sedang tumbuh menjadi sesuatu yang belum seharusnya. Dewasa sebelum waktunya. Keras sebelum luka-lukanya sembuh.
Dan aku hanya bisa duduk di sini, mendengar langkah tikus di loteng, berharap itu bukan sesuatu yang lain.
Tuhan, jika Engkau masih di luar sana... beri aku satu hari lagi untuk jadi seseorang yang pantas disebut ayah.
Satu hari lagi untuk membuat Dini percaya bahwa aku belum MENYERAH.