Like Or Die

Like Or Die

burung

Pagi itu tak ada yang istimewa. Udara masih bau knalpot. Berita masih dipenuhi janji-janji pemerintah yang terdengar lebih seperti kaset kusut daripada harapan. Dan Zean… masih malas bangun.

Ia terlentang di ranjang, satu kaki menggantung keluar kasur, satu tangan menutupi wajah dari cahaya pagi yang menyelinap lewat lubang tirai robek. Jam dinding di kamarnya sudah mati sejak minggu lalu, jarumnya berhenti tepat saat pelajaran matematika dimulai. Mungkin karena solidaritas.

Dia tidak tahu jam berapa sekarang. Dan sejujurnya, dia juga tidak peduli.

Dari balik pintu kamarnya terdengar suara yang terlalu tenang untuk pagi hari. “Kak, bangun.”

Itu suara Lira. Datar, tanpa emosi, seperti membacakan prosedur evakuasi. Ia membuka pintu kamar Zean, melempar satu kalimat perintah, lalu menutupnya kembali, seperti guru piket yang hanya ingin absen.

Zean hanya menggeram pelan dan menggulung diri dalam selimut yang sudah bau matahari dan keringat remaja. Lira tahu dia tidak akan langsung bangun. Zean tahu Lira tahu. Rutinitas ini seperti upacara kecil, tidak penting, tapi harus dilakukan agar rumah tetap terasa hidup.

Beberapa menit kemudian,Zean yang masih ingin merasakan kehangatan selimut,suara peralatan dapur terdengar dari bawah. Bunyi air, pintu kulkas, sendok yang dijatuhkan, dan kutukan kecil. Lira sedang membuat sarapan. Atau eksperimen ilmiah. Batas antara keduanya semakin kabur belakangan ini.

Zean akhirnya bangkit. Bukan karena sadar. Tapi karena lapar.

Tangga rumah yang berderit setiap diinjak, seperti mengeluh bahwa rumah tua ini sudah lelah menampung masa depan. Tapi setidaknya mereka masih punya rumah.

Di dapur,Zean dengan mata yang masih sayu,tatapan kosong,rambut berantakan, terduduk lemas di kursi, Lira menyodorkan sepiring roti,terlalu gosong untuk disebut sarapan, terlalu tipis untuk disebut roti. “Ini makanan atau penghapus papan tulis?” tanya Zean. Lira hanya mengangkat bahu. “Setidaknya belum membunuh siapa pun. Belum.”

Mereka makan dalam diam. Hanya ditemani suara televisi yang menyala tanpa penonton, memutar berita berulang tentang wabah yang menyebar, tentang kerusuhan di kota-kota, dan tentang pemerintah yang mengatakan “sudah mengendalikan situasi.”

“Katanya terkendali,” gumam Zean. “Tapi Ibu masih belum pulang dua hari.”

Lira tidak menjawab. Bukan karena tidak peduli. Tapi karena ia tahu,kadang,kata-kata justru mempercepat runtuhnya yang sudah retak.

Keheningan merayap masuk. Ada sesuatu di udara,terlalu sunyi, terlalu hening, seperti dunia sedang menahan napas.

Lira berdiri untuk mengambil gelas. Matanya melirik ke jendela. Ada perasaan ganjil yang tidak bisa dijelaskan. Seperti… kekosongan. Atau sesuatu yang diam-diam mengintip dari balik udara pagi.

Kemudian, BLAK! Seekor burung menabrak jendela dan jatuh.

Zean dan Lira tersentak. Lira berdiri, mendekat. Seekor merpati tergeletak di luar. Matanya terbuka, tapi kosong. Tidak ada darah. Tapi juga tidak hidup.

Zean hanya menatap jendela sebentar.

“bahkan burung pun ... juga ikut malas buat hidup,” ujar Zean pelan.

Lira tidak tertawa. Ia hanya menatap keluar. Dunia terlihat biasa-biasa saja,tapi kali ini sepi,hening,tidak seperti biasanya,yang seharusnya berisik,suara knalpot motor motor sampah pengganggu ketenangan.

Ia bisa merasakannya. Seperti napas dingin yang mengintai dari balik tirai kenyataan.

Sesuatu sedang berubah. Dan entah kenapa, dunia memilih tetap diam,sebelum semuanya benar-benar membusuk dari dalam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!