NovelToon NovelToon
Jawaban Untuk Kimi

Jawaban Untuk Kimi

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: EmbunPagi25

Kimi Azahra, memiliki keluarga yang lengkap. Orang tua yang sehat, kakak yang baik, juga adek yang cerdas. Ia miliki semuanya.

Namun, nyatanya itu semua belum cukup untuk Kimi. Ada dua hal yang belum bisa ia miliki. Perhatian dan kasih sayang.

Bersamaan dengan itu, Kimi bertemu dengan Ehsan. Lelaki religius yang membawa perubahan dalam diri Kimi.

Sehingga Kimi merasa begitu percaya akan cinta Tuhannya. Tetapi, semuanya tidak pernah sempurna. Ehsan justru mencintai perempuan lain. Padahal Kimi selalu menyebut nama lelaki itu disetiap doanya, berharap agar Tuhan mau menyatukan ia dan lelaki yang dicintainya.

Belum cukup dengan itu, ternyata Kimi harus menjalankan pernikahan dengan lelaki yang jauh dari ingin nya. Menjatuhkan Kimi sedemikian hebat, mengubur semua rasa harap yang sebelumnya begitu dasyat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EmbunPagi25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

30. Kilas Balik

Beberapa tahun lalu. Saat Arkan kelas satu SMA.

Ketika itu kelas terasa lebih ramai, teman-teman Arkan yang biasanya berangkat dijam pas jadwal masuk kelas. Untuk kali ini sudah berada lebih pagi dari sebelumnya. Berangkat dijam awal.

Sebagian orang berkumpul disatu meja untuk bercerita, lalu kemudian meja lain pun sama.

Arkan melangkah masuk lebih dalam dari kelas, melewati segerombolan teman-temannya. Langkahnya menuju meja belakang tempat nya duduk.

"Ada apaan, Yan?" Tanya Arkan pada Yana yang duduk di depannya. Bahkan Arkan harus menggoyang pelan bahu perempuan di depannya saat ini, agar tersadar dari dunia bacanya.

"Hah? Lo ngomong apa, barusan?" Iyana berbalik seraya menutup bukunya dan meletakannya di atas meja.

Arkan menghela napasnya, "Ada berita apa? Kok, yang lainnya pada ngumpul begitu?"

Yana mengangkat bahunya cuek. "Gue kurang ngerti juga. Tapi dari sekilas yang gue dengar. Katanya Vano kemaren dibawa ke Klinik terdekat."

Arkan terhenyak, merasa terkejut sekaligus cemas dalam satu waktu."Vano, kelas kita?"

Yana menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Yup. Ngga ada lagi Vano-Vano lain di sekolah ini"

Arkan menegakan punggungnya setelah tadi condong ke depan. "Gimana sekarang keadaannya?"

Yana kembali mengangkat bahunya "Setahu gue, tulang ekornya patah. "

Untuk sejenak Arkan merasa dunianya berhenti, untuk satu kabar yang cukup mengguncangnya.

Vano adalah salah satu temannya dikelas. Tetapi ia baru mengetahuinya sekarang dan dari orang lain lebih dulu.

Setelah itu, Arkan tidak begitu fokus dengan pelajaran. Pikirannya jadi terbelah kemana-mana.

Maka ketika jam pulang sekolah telah tiba, ia tidak bisa untuk tidak terburu-buru untuk bisa pergi menemui Vano.

"Ar! Ada yang mau gue kasih tau ke, lo" Iyana berlari disepanjang koridor kelas untuk bisa menyusul Arkan yang melangkah begitu cepat menelusuri koridor kelas yang juga ramai oleh orang-orang yang juga ingin segera pulang seperti mereka.

Arkan menengok ke belakang sebentar. "Ngomong aja, Yan!" Ucap Arkan tapi tidak menghentikan langkah panjangnya itu.

"Kimi nanyain lo terus."Kata Yana setelah berhasil mengimbangi langkah terburu-burunya Arkan.

Arkan tertegun sebentar. "Tolong kasih tau ke, Kimi. Gue bakal temuin dia nanti, setelah urusan gue selesai"

"Lo mau apaan?"

"Gue mau jenguk, Vano." Ucapnya setelah tiba diparkiran dan mengenakan helmet nya.

"Kenapa ngga bareng kita-kita besok." Tanya Yana.

Arkan menggeleng, "Ngga bisa, Yan. Gue harus jenguk sekarang." Ujarnya lalu segera melajukan motornya diantara kendaraan lain yang juga melintasi jalan, dengan kesibukan masing-masing, dan juga urusan masing-masing.

Kemudian motornya berhenti di depan rumah kayu tanpa cat itu.

"Permisi!" Panggilnya dari luar rumah.

Cukup lama ia memanggil sampai kemudian muncul seorang kakek-kakek dari dalam rumah.

Kakek itu menyipitkan matanya seakan mencoba mengingat wajah di depannya sekarang.

"Arkan, Kek. Temannya, Vano."

Setelah itulah, Kakek dari Vano itu mengangguk pelan lalu tiba-tiba saja menangis tersedu-sedu di samping pintu masuk. seraya berucap lirih. " Vanonya, lagi sakit." Kata Kakek Vano, diantara isak tangisnya. Seakan kenyataan itu, mampu mengguncangnya hingga ke titik terendah.

Arkan mendekat lalu mengelus pundak Kakek Vano mencoba memberikan kekuatan walau tanpa suara. "Vano ada di dalam, Kek?" Tanyanya pada Kakek Vano yang menganggukan kepalanya.

Lalu mengajaknya masuk ke dalam rumah yang terasa sepi dan gelap itu.

Tidak mengherankan. Sebab Vano hanya tinggal berdua dengan Kakeknya.

Kakek Vano hanya memiliki satu anak, dan itu ialah ibunya Vano yang telah lama berpisah dengan Ayah Vano yang tidak lagi memberikan tanggung jawabnya pada Vano.

Ibunya Vano juga menikah lagi, dengan lelaki dari kota lain. Sehingga kunjungannya ke rumah Kakek Vano yang dulunya jarang sekarang menjadi tidak pernah.

Mengabaikan dan membiarkan Kakek Vano sendirian bersama cucunya. Tanpa siapapun.

"Vanonya tidak bisa apa-apa. Kakek bingung harus bagaimana." Ucap Kakek Vano seraya menyusut air disudut matanya.

"Vanonya cuma bisa tengkurap." Lanjut Kakek lalu berhenti di depan kamar Vano yang hanya di ditutupi gorden merah bergambar burung itu.

"Hai, Van!" Sapanya.

Lalu dapat ia lihat Vano yang hanya tengkurap, menatapnya dengan wajah yang ... datar. Teramat tenang untuk orang yang mengalami cedera serius seperti Vano.

"Oh, lo. Ar? Apa kabar, sekolah?" Tanyanya dengan tenang. Menanyakan sekolah, seolah tidak ada hal penting yang harus ia bagi dengan Arkan. Hanya agar Kakeknya tidak melihat sisi rapuhnya.

"Ngga ada hal apa-apa yang bisa diceritain. Semunya tetap berjalan seperti biasa." Jawab Arkan lagi.

Vano mengangguk lalu menyuruh Arkan untuk duduk di tepi ranjangnya setelah Kakek Vano keluar dari kamar.

"Hmm ... memang seharusnya begitu, kan, yah?" Tawanya pelan, yang justru terdengar getir ditelinga Arkan.

"Kenapa lo bisa begini, Van?" Tanyanya setelah hening sejenak, membiarkan Vano menuntaskan tawanya yang entah untuk apa.

"Begini kenapa? Patah tulang begini maksud, lo?"

Arkan menggangguk meski ia tahu jika Vano tidak akan melihatnya. Karena posisi Vano yang tengkurap membelakanginya.

Vano menghela napasnya sebentar. "Ceritanya panjang. Tapi intinya gue jatuh saat lagi kerja bangunan, rumah orang. Jatuhnya dalam posisi duduk. Awalnya, sih, baik-baik aja. Gue masih bisa sekolah dan ngelakuin aktivitas fisik lainnya meski terasa nyeri."

"Lo, ngga langsung ke klinik setelah jatuh?"

Vano menggeleng pelan, "Gue ngga punya duit, Ar. Gue pikir semuanya bakal baik-baik aja. Tapi lama-kelamaan tulang ekor gue makin terasa nyeri sampai mengalami pembengkakan kaya gini." Cerita Vano masih sesantai itu saat menjelaskannya.

Seolah ujian hidup itu tidak pernah menghampirinya. Atau justru karena terlalu sering diuji, hingga tidak ada satu ujian pun yang kini terasa berat baginya. Sebab, Vano sudah pernah merasakan ujian yang lebih berat dari ini.

Arkan meringis hanya saat membayangkan Vano harus melewati itu semua." Orang yang mempekerjakan, lo. Ngga bantu lo soal biaya pengobatan?"

"Mana mau lah, orang gue begini setelah hampir seminggu jatuh."

"Mana setelah gue jatuh waktu itu, gue langsung diberhentiin kerja. Alasannya karena gak becus, sama waktu gue yang banyak kebagi sama sekolah."

Vano sedikit meringis, mungkin nyeri itu kembali menyerangnya. "Gue sebenarnya gak papa, kalau mati sekarang."

Arkan menyelanya, "Lo, kok, ngomongnya begitu, Van!" Arkan merasa tidak suka mendengar ucapan Vano.

Tetapi Vano tidak perduli, ia tetap melanjutkan ucapannya. "Ngga akan ada yang perduli, Ar. Mama gue juga paling oke-oke aja kalo gue mati. Dia tetap punya anak dari suami barunya. Apalagi bapak gue. Yang ngga pernah gue lihat wujudnya sama sekali."

"Yang jadi masalahnya ... Kakek, gue. Ar. Gue gak bisa ninggalin Kakek gitu aja. Karena cuma gue keluarga satu-satunya."

Vano menghela napasnya sejenak. "Sebenarnya gue gak masalah, kalo Mama gak perduli sama gue dan lepasin tanggung jawabnya juga, sama seperti Bapak. Tapi, seenggaknya Mama ngga boleh abai akan kewajibannya untuk berbakti sama orang tuannya, kan, Ar? Sama Kakek, gue?"

Untuk beberapa saat Arkan dapat melihat bahu Vano yang berguncang, juga isak yang terdengar tertahan. Bahkan suara Vano juga terdengar parau.

"Yang jadi alasan gue takut mati cuma Kakek, Ar. Gue payah banget, bikin Kakek cemas."

Untuk itu Arkan mengusap bahu Vano, mencoba memberinya kekuatan meski tidak banyak.

"Lo mau bantuin gue, Ar?" Tanya Vano usai menarik napasnya dalam-dalam.

"Gue pasti bakal bantu, Van. Gue akan bantu biaya pengobatan, lo."

Vano menggeleng cepat. "Gue gak minta itu dari, lo."

"Kenapa? Lo harus dapat pengobatan, Vano!"

Lagi-lagi Vano menggeleng. "Gak perlu. Gue cuma mau minta bantuan lo, untuk sesekali jenguk kakek gue. Meski lo hanya lihat dia dari jauh."

"Gue cuma mau lo mastiin Kakek gue baik-baik aja. Lo mau bantu gue untuk itu, kan?"

Arkan menggeleng. "Lo yang seharusnya mastiin itu!"

Vano mengesah pelan, "Gue juga maunya begitu, Ar. Tapi gue ngga yakin bisa bareng Kakek terus. Gue bisa aja mati kapanpun. Dan sebelum itu, gue mau mastiin ada yang mau jenguk Kakek gue tiap hari."

Entah kenapa, Arkan merasa tidak nyaman dengan itu. Bahkan sampai sepulangnya ia kerumah, Arkan tidak bisa berhenti memikirkan itu.

Hingga keesokan harinya. Arkan tidak langsung pergi ke sekolah, ia lebih dulu mampir ke rumah Vano.

Sayangnya, ketika motornya hampir sampai, Arkan dapat melihat orang-orang yang ramai dirumah Vano.

Untuk itu Arkan tidak bisa mencegah prasangka buruknya meski ia mati-matian menyangkalnya. Jantungnya tetap berdebar kian cepat.

Dan saat ia menghentikan motornya dihalaman rumah Vano dan bertanya pada salah satu ibu-ibu disana—

"Vanonya meninggal pagi tadi."

—Arkan merasa dunianya berhenti, napasnya terasa sesak saat itu juga. Dan ia tidak bisa menghalau air matanya saat matanya menemukan Kakek Vano yang terduduk memeluk lututnya, tatapannya kosong tanpa emosi. Layaknya tubuh yang tanpa nyawa.

Arkan menghampiri Kakek Vano, dan ia temukan setetes air bening tanpa isak tangis itu di pipi keriput Kakek Vano.

Bersama itu pula ia melihat Vano yang di keluarkan dari kamar untuk melakukan proses pemandian.

1
Asrar Atma
oke lanjut berikutnya melihat kehidupan rumah tangga yang romantis, ngomong ²kenapa ngga...hme/Scowl/
Kesini
bisa kah menceritakan tentang senja dan langit saja
Abel Peony: Woah, ide bagus, tuh.
Asrar Atma: setuju
total 2 replies
Kesini
saling bergantungan monyet kali
Abel Peony: Ini lebih dari monyet
total 1 replies
Asrar Atma
lelaki soft spoken
Abel Peony: Sup Ayam, inimah.
total 1 replies
Asrar Atma
Aku, aduh /Sob/
Abel Peony: /Sleep/
total 1 replies
Asrar Atma
ngga akan nanya kalau dikasih tahu
Kesini
menangis aku
Asrar Atma
seru loh/Sob/
Abel Peony: Hanya kata penyemangat/Drowsy/
total 1 replies
Abel Peony
Arkan ingin mencintai Kimi dengan versi terbaik dari dirinya.
Asrar Atma
kakak ipar ku adalah guru wali kelas ku.
Abel Peony: Judul yang bagus!
total 1 replies
Abel Peony
Hum ... dan lima menit itu, Arkan harus menjalani penantian yang menguras logika. Bersaing dengan akal, dan ... juga kesabaran yang harus ditebalkan. (Dengan nada lemah lembut)/Smile//Sneer/
Kesini
yah cuma 5 menit tidak sekuat itu
Asrar Atma
kata-kata nya, membuat ku ngga merasa lagi baca adegan/Scowl/
Kesini
lama banget ngukur waktu
Abel Peony: Terlalu ngukur, yah?
total 1 replies
Asrar Atma
malam yang mana lagi nih, Kim? disini juga malam /Sob/
Abel Peony: Nunggu malam Jum'at
total 1 replies
Asrar Atma
inj mendebarkan/Sleep/
Abel Peony: Cup, cup
total 1 replies
Kesini
hah cuma segitu
Asrar Atma: malah kurang, kau/Scowl/
total 1 replies
Asrar Atma
aduh, kenapa ini? jangan bilang Ayumi jadi pelakor/Sob/
Abel Peony
Komentar, dung!
Asrar Atma
aduh... aku udah bayangin ngga² padahal /Scowl/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!