Amrita Blanco merupakan gadis bangsawan dari tanah perkebunan Lunah milik keluarganya yang sedang bermasalah sebab ayahnya Blanco Frederick akan menjualnya kepada orang lain.
Blanco berniat menjual aset perkebunan Lunah kepada seorang pengusaha estate karena dia sedang mengalami masalah ekonomi yang sulit sehingga dia akan menjual tanah perkebunannya.
Hanya saja pengusaha itu lebih tertarik pada Amrita Blanco dan menginginkan adanya pernikahan dengan syarat dia akan membantu tanah perkebunan Lunah dan membelinya jika pernikahannya berjalan tiga bulan dengan Amrita Blanco.
Blanco terpaksa menyetujuinya dan memenuhi permintaan sang pengusaha kaya raya itu dengan menikahkan Amrita Blanco dan pengusaha itu.
Namun pengusaha estate itu terkenal dingin dan berhati kejam bahkan dia sangat misterius. Mampukah Amrita Blanco menjalani pernikahan paksa ini dengan pengusaha itu dan menyelamatkan tanah perkebunannya dari kebangkrutan.
Mari simak kisah ceritanya di setiap babnya, ya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reny Rizky Aryati, SE., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Kembali Ke Tanah Perkebunan
Tanah Perkebunan Luhan...
Mobil mewah berwarna cokelat melaju kencang menuju ke arah tanah perkebunan Luhan.
Amrita berada di dalam mobil dengan pandangan keluar kaca mobil, perjalanan menuju tanah perkebunan merupakan agenda pertamanya bersama Denzzel Lambert setelah mereka menikah.
Tak banyak kata-kata yang terucapkan dari kedua pasangan pengantin baru itu saat mereka berada di dalam mobil.
Mobil melewati jalan landai di area perkebunan yang subur.
Sopir berkata pada Denzzel saat mobil hendak memasuki tanah perkebunan Luhan.
"Bos, sepertinya mobil hanya bisa mengantar sampai disini karena area perkebunan sangat sulit dilewati oleh mobil mewah", ucapnya seraya menghentikan laju mobil.
"Baiklah, saya akan turun dari sini, kau bisa menunggu kami disini", kata Denzzel seraya membuka pintu mobil.
"Saya akan tunggu disini saja sampai anda selesai dari perkebunan, bos", sahut sopir.
"Ya, aku akan menelponmu jika selesai dari sana", kata Denzzel.
"Siap, bos", sahut sopir seraya mengangguk hormat.
Denzzel melirik ke arah Amrita yang masih duduk di dalam mobil kemudian berkata padanya.
"Kenapa kau masih di dalam, tidak turun dari mobil ?" tanyanya.
Amrita hanya diam seraya memalingkan wajahnya dari Denzzel.
"Turunlah, aku tidak tahu benar seluk beluk perkebunan, kau kan paham betul dengan area sini", kata Denzzel.
"Bukannya ini adalah niatmu, kau saja yang pergi kesana sendirian", sahut Amrita.
"Haruskah aku berlaku kasar terhadapmu agar kau mau turun dari sana", kata Denzzel.
"Kenapa kamu selalu memaksaku untuk menuruti semua kemauanmu ?" sahut Amrita.
"Karena aku adalah suamimu", kata Denzzel.
"Apa ?!" sahut Amrita tertegun lalu menatap ke arah Denzzel Lambert.
Seperti biasanya, Denzzel Lambert berpenampilan misterius dengan kepala tertutup oleh kain yang hanya menyisakan kedua matanya saja terlihat dingin.
"Keluarlah dari sana sekarang !" perintahnya pada Amrita Blanco.
"Tidak, aku tidak mau !" sahutnya seraya melipat kedua lengannya ke depan dada.
"Apa ?!" ucap Denzzel yang giliran tertegun.
"Jika kau ingin pergi maka pergilah sesuai keinginanmu dan jangan memaksaku untuk menuruti kemauanmu kali ini", kata Amrita.
"Apa kau sudah merelakan tanah perkebunan Luhan berpindah tangan menjadi milikku, dan kau tidak berminat memiliki tanah itu lagi, mungkin saja aku akan menjualnya kepada orang lain jika kau tidak mau turun dari mobil", sahut Denzzel.
"Dan kau mengatakannya dengan serius ?" sahut Amrita sembari menatap tajam kepada Denzzel.
"Untuk apa aku mengajakmu datang kemari jika aku tidak serius, akan membuang-buang waktuku dengan percuma saja", sahut Denzzel.
Amrita terdiam kali ini, dia tidak berkomentar apa-apa lagi.
"Baiklah jika kau tidak mau turun dari mobil, terserah padamu saja, dan aku akan kembali dengan membawa kabar bahwa aku telah menggadaikan tanah perkebunan Luhan", kata Denzzel.
Denzzel menutup pintu mobilnya dengan kesal lalu berjalan pergi menuju perkebunan.
Amrita langsung terkejut kaget saat dia mendengar keptusan Denzzel Lambert yang akan menggadaikan tanah perkebunan Luhan jika aku tidak mau turun dari dalam mobil.
Sejenak perasaan Amrita berubah sedikit cemas, gelisah serta gamang seperti diaduk-aduk bercampur satu setelah mendengar ucapan dari Denzzel Lambert yang tak lain adalah suaminya.
Amrita tidak mengharapkan tanah perkebunan Luhan akan menjadi miliknya, bermimpi pun tidak dengan dalih menerima pernikahan ini.
Dalam pikirannya hanya satu tujuan yaitu menjual tanah perkebunan Luhan kepada Denzzel Lambert untuk menyelamatkan tanah tersebut dari kehancuran meski dia sendiri harus berkorban perasaan dengan menikahi pengusaha estate yang aneh serta misterius itu.
Amrita tahu benar bahwa pernikahannya ini terkesan konyol bahkan sulit dinalar secara akal sehat namun dia juga sadar kalau pernikahannya mampu menyelamatkan dirinya agar terbebas dari tekanan orang tuanya yang selalu membedakan dirinya dengan Audrey.
Namun ternyata pernikahannya tidak semulus yang dia perkirakan karena dia berpikir bahwa Denzzel tidak pernah tertarik pada dirinya atau tidak berminat padanya akan tetapi pengusaha estate itu memiliki perasaan kepadanya sedangkan Amrita sendiri bertanya pada dirinya dengan semua ini.
Bagaimana dirinya harus menikah dengan seorang laki-laki misterius sedangkan wajahnya selalu tertutupi oleh kain setiap harinya bahkan dia tidak mengenal wajah dari suaminya hingga detik ini.
Amrita akhirnya turun dari mobil lalu berjalan menyusul Denzzel Lambert yang telah berangkat terlebih dulu menuju tanah perkebunan Luhan.
Terlihat dia melangkah pelan di tengah-tengah area lahan kebun subur yang ditanami oleh berbagai aneka tanaman buah sedangkan suaminya telah berjalan jauh di depannya.
Udara sejuk langsung menyambut kedatangan Amrita beserta Denzzel ke tanah perkebunan Luhan.
Lahan subur dengan area luas berhektar-hektar terhampar di depan mereka saat kedua pengantin baru itu memasuki perkarangan kebun.
Amrita merapatkan dekapan tangannya karena udara dingin sangat menusuk tulang saat dia berjalan ke dalam area kebun Luhan.
Seorang mandor telah menyambut kedatangan Denzzel, dan keduanya sedang bercakap-cakap sekarang ini.
"Apa kabar, mandor Tobin ?" sapa Amrita ketika dia melangkah memasuki lahan kebun Luhan yang dipagari oleh kayu bercat putih.
"Selamat datang kembali, nona Amrita ! Dan apa kabarmu ?" sapa seorang pria berpenampilan kekar dengan topi lebar di atas kepalanya seraya tersenyu ramah pada Amrita.
Mandor Tobin telah bekerja lama di tanah perkebunan Luhan milik keluarga Amrita Blanco bahkan dia terpilih untuk menjaga serta bertanggung jawab atas tempat ini berkat kejujurannya sebagai pekerja kebun.
Ayah Amrita memilih mandor Tobin sebagai penanggung jawab untuk mengawasi jalannya kegiatan di kebun Luhan, baik waktu masa panen atau tidak.
Amrita sudah cukup lama kenal dengan mandor Tobin bahkan mereka sering berkomunikasi untuk membahas tentang pengelolaan perkebunan jika masa panen tiba sebab hasil panen akan dikirim kepada para pelanggan karena itulah dia dan mandor Tobin seringkali bertemu sebelum masa panen datang di perkebunan Luhan.
Denzzel melirik tajam ke arah mereka ketika Amrita dan mandor Tobin saling menyapa ramah.
Pandangan Denzzel terlihat kurang senang terhadap keakraban yang terjalin diantara Amrita dan sang mandor perkebunan Luhan, dia segera melanjutkan langkahnya ke arah kebun.
"Kapan waktu panen buah akan tiba ?" tanyanya.
Mandor Tobin terpaksa mengalihkan perhatiannya ke arah Denzzel yang sedang berjalan pergi.
"Minggu depan, waktu panen akan tiba, dan perkebunan Luhan harus mengirimkan hasil panennya kepada sejumlah pelanggan tetap", sahutnya seraya mengikuti langkah Denzzel.
"Apa perkebunan telah siap untuk panen nanti ?" tanya Denzzel.
"Kemarin tuan pemilik aslinya datang kemari, tuan Blanco telah mengatakan panen akan dilaksanakan minggu depan sepertinya dia mendapatkan dana untuk itu", sahut mandor Tobin.
"Artinya Blanco telah memberitahukan kepadamu soal pemilikan tanah perkebunan Luhan sekarang yang akan berpindah tangan kepadaku", kata Denzzel.
"Iya, benar, tuan Blanco juga memberitahukan hal ini kepadaku jika tanah perkebunan Luhan telah ditawarkan kepada anda", ucap Tobin.
Mandor Tobin berjalan mengikuti langkah Denzzel sembari memperbaiki letak topinya di atas kepalanya.
"Aku datang kemari hanya untuk melihat tanah perkebunan Luhan dari dekat, memastikan kebenaran akan kesuburan tanah ini yang memiliki nilai tinggi", kata Denzzel.
"Saya kurang tahu tentang nilai tinggi yang dimiliki oleh tanah perkebunan Luhan", sahut Tobin.
"Dimana ruang kerjamu ?" tanya Denzzel.
"Didekat lumbung penyimpanan hasil panen, di sebelah Timur dari arah sini", sahut Tobin seraya menunjuk ke arah bangunan panjang di dekat lumbung berbentuk setengah lingkaran.
"Cukup jauh juga letaknya", kata Denzzel.
"Ya, begitulah kira-kira", sahut mandor Tobin seraya tertawa renyah.
"Aku ingin melihat para pekerja kebun, apa yang mereka lakukan saat ini ?" tanya Denzzel.
"Mereka sedang memeriksa buah yang siap panen di lahan sebelah barat dari sini", sahut mandor Tobin.
"Bisakah kau antarkan aku kesana, mandor Tobin", kata Denzzel.
"Bisa... Mari saya antarkan ke lahan buah !" sahut mandor Tobin lalu berjalan cepat di depan Denzzel serta Amrita menuju sebelah barat.