Aya tak pernah menyangka sebelumnya, sekalipun dalam mimpi. Jika kepindahannya ke kota kembang justru menyeretnya ke dalam kehidupan 'ibu merah jambu'.
Kejadian konyol malam itu, membawanya masuk ke dalam hubungan pernikahan bersama Ghifari yang merupakan seorang perwira muda di kepolisian. Suka duka, pengorbanan dan loyalitas menjadi ujian selanjutnya setelah sikap jutek Ghi yang menganggapnya pengganggu kecil.
Sanggupkah Aya melewati hari-hari yang penuh dedikasi, di usia muda?
~~~~~
"Kamu sendiri yang bilang kalau saya sudah mele cehkan kamu. Maka sebagai perwira, pantang bagi saya untuk menjadi pengecut. Kita akan menikah..."
- Al Ghifari Patiraja -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Anak vs Mantu
Asap mengepul mengusik suasana malam menguarkan aroma yang membuat perut keroncongan.
Aya masih setia duduk menunggu di kursi plastik tukang sate pinggiran jalan. Matanya sesekali ia kucek mengingat asap putih yang mengepul menyeka netra, bersama dengan angin malam.
Sementara di sampingnya, Ghi duduk berhadapan dengan Yudis masih menyambung obrolan di mobil tadi, entahlah aturan, PM, issue, bahkan jenis senjata dan aturan main yang tak ia mengerti, sungguh!
Bersama dengan segelas teh tawar hangat ala kadarnya, dimana gelas yang dipakai adalah bekas dipakai massal, orang random sekota kembang. Ia tak tau apakah yang memakai sebelumnya memiliki penyakit menular semacam rabies atau tidak, namun yang jelas om Yudis sudah meneguknya berkali-kali lalu mengeluarkan batangan tembakau dari saku jaket demi menghangatkan mulut.
Sepiring nasi dan sate kambing milik Ghi, dua piring nasi dan sate ayam milik Aya serta om Yudis sudah tersaji bersama acar timun dan wortel.
"Dimakan." Ucap Ghi mendorong milik Aya yang bola mata istri kecilnya itu menengok ke arah milik Ghi.
"Ngga ketuker kan?" judesnya masih saja gengsi.
"Mas, ini yang kambing kan?" tanya Ghi menunjuk piring di depannya.
"Bener mas." Angguk si bapak pedagang yang kembali mengipasi sate-sate di atas pembakaran, mungkin masih ada dua sampai 5 orang yang mengantre lagi.
"Ngga percaya?" Ghi justru mengambil satu tusuk dari piring milik Aya dan menggigitnya untuk membuktikan keraguan Aya.
"Ih!" serunya bersamaan dengan reflek tangannya menggeplak lengan Ghi, "taro ngga! Ya udah sii, percaya...yang ini ayam. Tapi ngga usah di makan juga punya Aya! Kan jadinya berkurang satu potong." sewotnya.
Uhuk!
Om Yudis mati-matian menahan tawanya, namun apa boleh buat nasi yang sempat tertahan di kerongkongan menyebabkan dirinya tersedak sebab hampir meledakan tawanya. Hadeuhhhh, tak bisakah ia makan dengan tenang?! Pasangan baru ini, sungguh bikin dirinya tersiksa menahan tawa.
"Ck. Ribet." Ghi hampir saja kehilangan kontrol kesabaran, ia lantas mengambil miliknya lalu menaruh di piring Aya, "abang ganti..." Namun sebelum ia benar-benar menyuapkan nasi, melihat gelagat Aya yang hendak kembali memuntahkan omelannya Ghi segera memotong.
"Hep! Kalau mau hitung-hitungan jelas disini abang yang rugi, harga sate ayam sama sate kambing lebih mahal kambing. Tapi barter sama kamu ngga ada tambahannya." Tukas Ghi dan benar-benar, om Yudis menggeleng seraya menahan kedutan bibir, pusinggg! Lebih baik nganterin pak Sakti trip mancing ke Mentawai sekalian, meskipun ia sedikit dilanda mabuk laut.
Aya langsung diam, dalam kecemberutan, ia makan. Senyap namun mulutnya tak berhenti mengunyah.
"Satenya enak. Beda sama sate yang pernah dibeli papa Sakti...om Yudis pinter banget cari tempat makan." Puji Aya menghabiskan sate dan nasi miliknya, benar-benar hampir ludes.
Namun alih-alih bangga, Yudis justru memandang Ghi yang sudah mengu lum bibirnya.
"Makasih bu, tapi ini rekomendasi bang Ghifari." Jawabnya sontak membuat Aya melotot, "iya kah?"
Pfftt! Ghi menahan ledakan tawanya dalam kunyahan, sadar dengan refleks Ghi itu Aya menoleh tajam.
"Kenapa, mau dimuntahin? Mau ralat ucapannya kalo sate disini ngga enak karena saya yang pinter cari tempat makan? Coba aja kalo berani!" tuduhnya pada si tukang sate yang ada di depan mereka.
Ia sudah tak tahan lagi, Yudis tertawa renyah pada akhirnya.
"Besok papa udah minta kamu balik ke kantor, Yud?" tanya Ghi diangguki om Yudis, "betul bang. Saya cuma ditugasi bapak menemani bu Ranaya sampai hari ini."
Ghi mengangguk paham, karena itu artinya mulai besok, antar jemput Aya diambil alih kembali olehnya.
"Kalo Aya minta tugas om Yudis diperpanjang buat nemenin Aya, kira-kira papa ijinin engga?" tanya Aya. Ghi menoleh dengan alis yang terangkat, "abang yang ngga ijinin. Papa juga pasti dengar abang."
Tatapan itu kembali sengit, "sekedar mengingatkan. Saat ini abang sedang kehilangan hak abang baik jadi suami Aya, maupun anak papa. Pertama, Aya belum bilang maafin abang, yang kedua mama bilang abang kena amuk papa, jadi Aya cuma bisa ngingetin abang, takutnya abang sakit hati....papa bakalan lebih denger Aya." Debatnya benar-benar emejing, wawww! Bahkan Yudis tak kepikiran sampai sana.
See! Ghi melirik Yudis, seolah berkata...*lihat kan?! Betapa magicnya otak istri saya*!
"Kalo gitu abang juga mau mengingatkan. Orang yang tulus minta maaf itu wajibnya dimaafin, Allah aja maha pemaaf kok, masa hamba-Nya engga... dosa buat yang ngga maafinnya. By the way, marah dan berantem itu ngga boleh lebih dari 3 hari, apalagi istri ke suami...hukumnya itu nanti kamu dicambuk pake api neraka. Oh ya satu lagi, papa itu marah bukan coret abang dari KK."
Aya memundurkan wajahnya sangsi, "masa..."
"Cek google." Pinta Ghi santai menikmati satenya lagi.
Angin malam yang menyapu kulit Aya tak serta merta meredakan kekesalannya akan Ghi. Namun ia masih bisa menikmati sate miliknya yang menurut Aya, super duper lezat.
Pendengaran yang tengah menyimak obrolan random Ghi dan Yudis bercampur dengan riuh rendah jalanan mendadak terganggu dengan bisingnya beberapa knalpot kendaraan bermotor yang melintas tak tau diri.
Bukan hanya satu atau dua, melainkan gerombolan dengan isi pengemudinya yang melanggar peraturan lalu lintas, beberapanya tidak memakai helm, knalpot rombeng yang memekakan telinga juga dicurigai-----
Ghi menoleh disusul Yudis, "geng motor, bang."
"Mana?" bukan Ghi tapi Aya yang bertanya heboh, ia bahkan sudah beranjak dari duduknya dengan melongokan kepala ke arah sisi luar tenda.
Namun Ghi justru anteng saja menghabiskan makanannya, "iya."
"Kayanya mau tawuran deh..." tunjuk Aya ke arah luar dimana ia sempat menangkap pemandangan beberapanya membawa serta perkakas dan bendera.
Om Yudis sudah menghabiskan makanan miliknya, ia lantas menenggelamkan tangan ke mangkok air kobokan lalu berjalan ke arah tirai tenda demi memastikan penglihatan Aya.
"Iya om itu tuh mau tawuran..." Aya berniat untuk mengikuti apa yang dilakukan om Yudis dan beberapa pembeli dimana mereka ikut heboh membicarakan hal sama.
Alih-alih dapat melihat, Aya justru tertahan untuk tetap duduk di kursinya, sebab Ghi menahan tangannya.
"Ih, Aya mau liat bang."
"Ngga usah, mau ngapain? Disini aja duduk...toh mereka udah lewat."
Alisnya menukik demi mendengar ucapan bernada tak peduli Ghi, "kok abang gitu, abang kan polisi mestinya diamanin dong! Dikejar, gimana sih!"
"Itu ada bagiannya Ay. Ngga semua kasus divisi abang yang pegang, beda bagian." Jelasnya.
"Ya engga bisa gitu dong...masa iya orang mau tawuran abang biarin. Polisi macam apa?" sewotnya mendebat, "sebagai pelayan masyarakat, dan Aya masyarakatnya, Aya perintahkan abang kejar mereka dan amanin mereka, itu mereka bawa sajam loh!" titahnya panik nan heboh.
"Males." Jawabnya lebih tengil, "baru makan. Ntar sakit perutnya..."
Bagaimana Aya tak bisa lebih melotot lagi mendengar ucapan suaminya.
"Hih! Ngga guna kalo gitu, negara bayar polisi...kalo ada tawuran aja polisinya malah santai makan sate." Cerocosnya. Ghi sudah selesai mencuci tangannya lalu minum sejenak.
"Abang mau kejar pake apa? Lari? Mereka pake motor...kalo ke kejar, abang mau ngapain? Surat tugas pun ngga ada...mau nyerobot kerjaan orang?" tanya Ghi seketika membuat Aya berpikir.
Yudis sudah kembali, "itu geng XXXX bang. Dari benderanya, kemungkinan tawuran, mengingat beberapanya saya lihat membawa sajam."
Ghi mengangguk, kemudian mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mencoba menghubungi seseorang.
"Lagi nyari target?" tanyanya sejenak di telfon.
"Sekitar 3 menit lalu, melintas di jalan sekitar Pasteur, bawa sajam."
Ghi kemudian mengangguk-angguk dan terkekeh mengobrol dengan seseorang itu, "siap kang. Mangga dilahap tim Prabu saja..." ucap Ghi kemudian mematikan panggilannya.
Namun baru saja ia mematikan panggilan dari arah luar terdengar suara tabrakan dan kehebohan orang, membuat para penghuni tenda sate mendadak berhamburan keluar termasuk Aya.
.
.
.
.
ok ditunggu lg up yg buaaaanyaak tetep semangat love you always🌺💞💖