Bismarck telah tenggelam. Pertempuran di Laut Atlantik berakhir dengan kehancuran. Kapal perang kebanggaan Kriegsmarine itu karam, membawa seluruh kru dan sang laksamana ke dasar lautan. Di tengah kegelapan, suara misterius menggema. "Bangunlah… Tebuslah dosamu yang telah merenggut ribuan nyawa. Ini adalah hukumanmu." Ketika kesadarannya kembali, sang laksamana terbangun di tempat asing. Pintu kamar terbuka, dan seorang gadis kecil berdiri terpaku. Barang yang dibawanya terjatuh, lalu ia berlari dan memeluknya erat. "Ana! Ibu kira kau tidak akan bangun lagi!" Saat melihat bayangan di cermin, napasnya tertahan. Yang ia lihat bukan lagi seorang pria gagah yang pernah memimpin armada, melainkan seorang gadis kecil. Saat itulah ia menyadari bahwa dirinya telah bereinkarnasi. Namun kali ini, bukan sebagai seorang laksamana, melainkan sebagai seorang anak kecil di dunia yang sepenuhnya asing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Akihisa Arishima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhir Bismarck di Lautan Luas
Fajar baru saja menyingsing di atas perairan dingin Selat Denmark. Ombak bergulung dengan tenang, seolah belum mengetahui bahwa sebentar lagi salah satu pertempuran laut paling mengerikan dalam sejarah akan terjadi.
Di atas HMS Hood, kapal penjelajah tempur terbesar dan paling dihormati Angkatan Laut Kerajaan Inggris, awak kapal sudah bersiap di posisi masing-masing. Kapal ini telah menjadi simbol kekuatan maritim Inggris sejak Perang Dunia I, dan kini ia memimpin perburuan kapal perang Jerman yang paling ditakuti—Bismarck.
Di anjungan, Laksamana Lancelot Holland berdiri dengan penuh wibawa. Di sampingnya, para perwira memantau cakrawala dengan saksama. Laporan dari kapal perusak pengintai telah memastikan posisi target mereka.
"Bismarck and Prinz Eugen dead ahead! They're 24 kilometres away and closing fast!" (Bismarck dan Prinz Eugen di depan! Jarak 24 kilometer dan semakin mendekat!), teriak salah satu perwira.
Perintah pun diberikan. "Man the main batteries! We must send them to the depths before they break into the Atlantic!" (Siapkan meriam utama! Kita harus menenggelamkan mereka sebelum mereka mencapai Atlantik!)
Dari kejauhan, sosok raksasa Bismarck dan kapal penjelajah berat Prinz Eugen mulai terlihat. Laksamana Holland tahu bahwa jika kapal-kapal Jerman ini berhasil lolos ke perairan terbuka, mereka bisa menghancurkan banyak kapal dagang Inggris. HMS Hood dan HMS Prince of Wales adalah satu-satunya kapal yang cukup dekat untuk mencegat mereka.
Pukul 05.52, pertempuran dimulai.
HMS Hood melepaskan tembakan pertama, diikuti oleh Prince of Wales. Meriam berkaliber besar menggelegar, mengirimkan proyektil raksasa melesat ke arah kapal-kapal Jerman. Ledakan membahana di lautan, menyelimuti area pertempuran dengan asap dan semburan air.
Di pihak Jerman, Bismarck dan Prinz Eugen tidak tinggal diam. Mereka membalas tembakan dengan akurat, mengincar bagian tengah HMS Hood, di mana lapisan bajanya lebih lemah dibandingkan bagian lainnya.
Dentuman meriam terus menggetarkan udara. Laksamana Holland tetap tenang, mengamati pergerakan musuh. Ia percaya bahwa pengalaman dan kekuatan Hood akan membawanya pada kemenangan.
Namun, dalam hitungan menit, takdir berkata lain.
Pukul 06.00, Prinz Eugen berhasil mendaratkan tembakan pertama ke Hood, menyebabkan kebakaran kecil di geladaknya. Namun, tembakan yang benar-benar menentukan datang dari Bismarck.
Tembakan salvo dari monster Jerman itu memuntahkan proyektil Armor Piercing berukuran 380 mm yang meluncur dengan presisi dan akurasi yang mengerikan.
Salah satu dari proyektil itu menghantam tepat di bagian tengah HMS Hood—tempat gudang penyimpanan amunisi.
Hening sejenak.
DUAAARRRRRR!!!
Sebuah ledakan dahsyat mengguncang seluruh kapal.
Ledakan itu begitu besar hingga langit tampak bergetar. Asap hitam membumbung tinggi. Api menyembur ke mana-mana. Ledakan itu membelah tubuh HMS Hood menjadi dua dalam sekejap.
Gelombang kejutnya terasa bahkan hingga ke Prince of Wales, yang berada ratusan meter jauhnya.
Para awak di atas Hood tidak sempat bereaksi. Dalam hitungan detik, kapal kebanggaan Inggris yang telah bertugas lebih dari 20 tahun itu terbelah dan mulai tenggelam ke dalam laut yang dingin.
Laksamana Holland dan hampir semua awak kapal—berjumlah 1.415 orang—hilang bersama kapal mereka.
Dari atas Prince of Wales, para pelaut hanya bisa menyaksikan dengan horor bagaimana Hood tenggelam, meninggalkan puing-puing dan kobaran api yang mengapung di atas air.
Dalam sekejap, kapal perang terkuat Angkatan Laut Kerajaan Inggris telah tiada.
Suasana di Prince of Wales dipenuhi keterkejutan. Mereka baru saja menyaksikan kebanggaan Inggris dihancurkan dalam hitungan menit. Namun, tidak ada waktu untuk berduka.
Seorang perwira muda berbisik dengan suara gemetar, "Hood… has been lost…" (Hood… sudah tidak ada…).
Kapten John Leach, yang memimpin Prince of Wales, mengepalkan tangannya.
"It’s not over! We have to make them pay!" (Kita belum selesai! Kita harus membalasnya!), serunya.
Meski mengalami kerusakan, Prince of Wales terus bertempur sejenak sebelum akhirnya mundur untuk menyelamatkan kapal dan awaknya. Namun, berita tenggelamnya Hood telah menyebar ke seluruh Inggris.
Dendam membara di hati para pelaut Inggris. Kapal-kapal Kerajaan Inggris bersumpah untuk memburu Bismarck dan menenggelamkannya, berapa pun harga yang harus dibayar.
Di ujung cakrawala, kapal tempur raksasa Bismarck berlayar menjauh dengan kecepatan penuh, ombak putih bergulung di belakangnya. Kapal kebanggaan Kriegsmarine itu telah melawan HMS Hood dan Prince of Wales dalam pertempuran dahsyat di Selat Denmark. Kini, ia menjadi buruan utama seluruh armada Inggris.
Di atas HMS King George V, Laksamana John Tovey berdiri di anjungan, matanya tajam menatap cakrawala.
"We cannot allow Bismarck to reach France. This is our last shot!" (Kita tak boleh membiarkan Bismarck mencapai Prancis. Ini kesempatan terakhir kita!), katanya tegas.
Malam telah menjelang di Samudra Atlantik yang luas. Langit mendung menutupi bulan, menyisakan gelap pekat di atas lautan yang bergelombang. Di kejauhan, kapal perang raksasa Bismarck terus melaju, mencoba menghindari kejaran armada Inggris. Setelah menenggelamkan HMS Hood dalam pertempuran di Selat Denmark, kapal kebanggaan Kriegsmarine ini menjadi buronan nomor satu Royal Navy.
Di atas kapal induk HMS Ark Royal, sirene peringatan berbunyi nyaring. Di geladak penerbangan, para awak dengan cepat menyiapkan pesawat torpedo Fairey Swordfish. Pesawat-pesawat bermesin baling-baling itu tampak kecil dan kuno jika dibandingkan dengan raksasa baja seperti Bismarck, tetapi mereka telah terbukti sebagai senjata yang mematikan.
"All units, Bismarck is the target. She must not be allowed to escape!" (Semua unit, Bismarck adalah target kita. Kita tidak boleh membiarkan dia lolos!), suara perwira penerbangan bergema di radio.
Di bawah sorotan lampu merah kabin, para pilot mengenakan helm dan kacamata mereka. Baling-baling berputar kencang, menghasilkan suara menderu yang khas. Tak lama kemudian, pesawat-pesawat tua itu satu per satu meluncur ke udara, menuju sasaran mereka yang jauh lebih besar dan lebih kuat.
Di atas geladak Bismarck, awak kapal berjaga dengan waspada. Kapten Ernst Lindemann dan Laksamana Günther Lütjens berdiri di anjungan, mengamati cakrawala dengan ketegangan yang tak kasatmata. Mereka tahu bahwa kapal-kapal Inggris masih memburu mereka. Namun, ancaman datang dari udara—sesuatu yang lebih sulit diantisipasi di tengah malam.
Tiba-tiba, suara gemuruh mesin terdengar di kejauhan. Bayangan pesawat kecil muncul dari balik awan.
"Feindflieger! Anflug aus Südwest!" (Pesawat musuh terdeteksi! Mereka datang dari arah barat daya!), teriak salah satu awak radar.
Sorotan lampu antipesawat segera dinyalakan, menyapu langit yang gelap. Meriam Flak 37 mm dan 20 mm mulai menyalak, memuntahkan hujan peluru ke arah pesawat Swordfish yang mendekat.
"Hold steady... Close the distance... Now!" (Tetap tenang... Dekati target... Sekarang!), ucap seorang pilot Swordfish.
Ia menurunkan ketinggian, menghindari tembakan musuh, lalu menyesuaikan posisi untuk menjatuhkan torpedo.
Di geladak Bismarck, awak kapal terus berusaha menghalau serangan. Beberapa torpedo pertama meleset, menghantam laut dan meledak di kejauhan. Namun, satu torpedo meluncur tepat menuju buritan kapal.
"Torpedo achtern! Sofort hart Steuerbord!" (Torpedo di buritan! Segera putar ke kanan penuh!)
Namun, semuanya terlambat. Dalam sekejap, torpedo menghantam bagian belakang Bismarck dengan keras. Ledakan dahsyat mengguncang kapal, menghancurkan bagian kemudi dan memaksa kapal raksasa itu kehilangan kendali.
Di anjungan, Kapten Ernst Lindemann merasakan guncangan hebat. Ia segera menyadari sesuatu yang mengerikan—kemudi terkunci. Bismarck kini hanya bisa berputar dalam lingkaran, tak mampu melarikan diri.
"Scheiße! Wir können sie nicht mehr steuern!" (Sial! Kita tidak bisa mengendalikannya!), ucap pengemudi kapal.
"Hit! Our torpedo struck her!" (Kena! Torpedo kita menghantamnya!), seru pilot Swordfish.
Di geladak Ark Royal, para awak bersorak. Mereka telah melakukan sesuatu yang hampir mustahil—melumpuhkan kapal perang terkuat Jerman hanya dengan pesawat tua.
Dalam beberapa jam ke depan, Bismarck hanya bisa berputar-putar tanpa tujuan, menunggu ajalnya. Tanpa kemampuan bermanuver, ia menjadi target empuk bagi armada Inggris yang semakin mendekat.
Laksamana Lütjens dan Kapten Lindemann tahu bahwa takdir mereka telah ditentukan. Mereka hanya bisa bertahan dan menghadapi serangan yang akan datang.
Di kejauhan, kapal-kapal Royal Navy semakin mendekat, siap mengakhiri legenda Bismarck untuk selamanya.
Sementara itu, di dalam Bismarck, Kapten Ernst Lindemann berdiri tegap di ruang kendali. Matanya sesaat melirik peta besar di meja.
Mereka sudah hampir mencapai perlindungan Luftwaffe di Prancis. Namun, bahan bakar menipis, dan kapal perangnya terluka setelah terkena torpedo dari pesawat Swordfish milik Ark Royal.
"Nur noch ein bisschen... Ich muss durchhalten..." (Kita harus bertahan... sedikit lagi), bisiknya, seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri.
Namun, nasib telah menentukan lain. Saat malam mulai menjelang, kapal perusak Inggris HMS Cossack dan beberapa kapal lainnya mulai menggempur Bismarck. Peluru suar menerangi langit malam, bayangan kapal perang Jerman terlihat jelas di permukaan laut yang bergejolak.
Di tengah hujan proyektil, suara ledakan mengguncang geladak. Bismarck tak bisa lagi bermanuver. Mesin-mesinnya rusak, kemudi terkunci. Ia kini hanya bisa berputar tanpa kendali di lautan luas.
Keesokan paginya, kapal-kapal perang utama Inggris tiba. HMS Rodney dan HMS King George V membuka tembakan. Gelombang ledakan menghantam Bismarck tanpa ampun.
Ledakan demi ledakan mengguncang dek kapal. Peluru dari kapal perang Inggris seperti HMS Rodney dan HMS King George V menghantam lambung baja Bismarck. Meriam antipesawat masih menyalak, tetapi sia-sia. Jaringan komunikasi terganggu, persenjataan utama lumpuh, dan kemudi kapal telah hancur akibat serangan sebelumnya dari pesawat torpedo Swordfish.
Di dalam ruang kendali, Laksamana Günther Lütjens berdiri tegak, matanya menatap dingin ke arah medan perang yang mulai kehilangan harapan. Di sekelilingnya, para perwira sibuk berteriak memberi perintah kepada kru yang masih tersisa.
"Herr Admiral! Wir haben keine Kontrolle mehr! Die Maschinen antworten nicht!" (Tuan Laksamana! Kita kehilangan kendali atas kapal! Mesin utama tidak merespons!), teriak seorang perwira muda dengan wajah pucat.
Laksamana Lütjens menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa ini adalah akhirnya. Namun, ia tidak akan membiarkan Bismarck menyerah begitu saja.
"Admiral Lütjens, es scheint, dass dies das Ende der Bismarck ist." (Laksamana Lütjens, sepertinya ini akhir dari Bismarck), ucap Kapten Ernst Lindemann.
"Wir werden bis zum letzten Mann kämpfen. Es gibt keine Kapitulation. Deutschland wird unserer gedenken!" (Kita bertempur sampai titik darah penghabisan. Tidak ada penyerahan. Jerman akan mengingat kita!), serunya dengan penuh keteguhan.
Dentuman meriam semakin membahana, sementara Bismarck terus dihujani tembakan tanpa ampun. Api mulai berkobar di beberapa bagian kapal, menerangi malam yang kelam dengan semburat jingga menyala. Tubuh-tubuh bergelimpangan di geladak, tetapi mereka yang masih hidup tetap berusaha melawan.
Namun, perlahan, monster raksasa itu mulai kalah. Lambungnya terkoyak, air laut mulai menggenangi ruang-ruang dalam kapal. Para kru, dengan mata penuh ketakutan dan tekad, membantu rekan-rekan mereka yang terluka, sementara yang lain bersiap menghadapi ajal mereka.
Di ruang kendali yang dipenuhi asap, Laksamana Lütjens tetap berdiri. Ia memejamkan mata sejenak, membayangkan daratan jauh di Jerman—tanah airnya yang mungkin tak akan pernah ia lihat lagi. Ia teringat keluarganya, para pemuda yang bertempur bersamanya, dan sumpah setianya pada negaranya.
"Herr, wir müssen sofort weg! Das Schiff geht unter!" (Tuan, kita harus pergi! Kapal ini akan tenggelam!), seru seorang perwira.
Namun, Laksamana Lütjens hanya menggeleng. "Dies ist das Ende. Ich bleibe bei der Bismarck." (Kita sudah sampai di titik ini. Aku akan tetap di sini, bersama Bismarck.)
Gelombang besar menghantam kapal yang miring ke satu sisi. Ledakan terakhir dari dalam lambung menggema, mengguncang seluruh struktur kapal. Seolah-olah Bismarck sendiri menangis dalam kematiannya.
Para kru yang masih hidup melompat ke laut yang dingin membekukan. Sementara itu, di atas geladak yang mulai tenggelam, Laksamana Lütjens menatap langit untuk terakhir kalinya.
Dalam hembusan napas terakhirnya, ia berbisik, "Das Vaterland wird uns sicher nicht vergessen..." (Tanah air pasti tidak akan melupakan kita...)
Pertempuran di Laut Atlantik telah mencapai akhirnya. Kapal perang Bismarck, yang dijuluki monster penguasa lautan dan kebanggaan Kriegsmarine, kini tenggelam ke dasar samudra.
Seluruh awak kapal berjuang hingga titik darah penghabisan, namun takdir berkata lain—hampir semua dari mereka gugur bersama kapal yang mereka banggakan.
Dan dengan itu, Bismarck, sang monster penguasa lautan, perlahan tenggelam ke dasar Atlantik, membawa serta kenangan dan tragedi yang akan dikenang sepanjang sejarah.