Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 7
Malam merangkak semakin larut. Ketegangan membelit dada Rania begitu kuat, seolah-olah napasnya tertahan di kerongkongan. Ia tahu ini gila. Tapi lebih gila lagi kalau ia hanya diam tanpa jawaban.
Rania menunggu sampai Gino benar-benar meninggalkan area sekitar gudang. Dengan langkah perlahan dan penuh perhitungan, ia menyelinap keluar dari kamarnya. Setiap langkah adalah pertaruhan. Setiap detik adalah perjudian antara hidup dan mati.
Tangannya meraba dinding gudang tua itu—tempat suara Rey berasal. Ia berbisik sangat pelan.
"Rey... Ini aku."
Hening.
Lalu suara serak itu membalas.
"Rania... jangan dekat-dekat sini, ini berbahaya."
Gudang tua itu menjadi saksi bisu percakapan terlarang mereka. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Rania bisa melihat Rey — bukan dalam ingatannya, bukan dalam mimpi — tapi nyata. Meski wajahnya kusut, tubuhnya kurus, dan luka samar menghiasi kulitnya, tapi sorot mata Rey masih sama. Hangat. Berbahaya.
"Sejak kapan... Adrasta mengurung kamu di sini, Rey?" suara Rania bergetar.
Rey tersenyum miring, getir. "Sejak hari semua orang percaya aku mati."
“Kenapa?”
"Karena aku tahu terlalu banyak tentang dia. Bisnisnya. Dosanya. Dan... karena aku juga tahu sesuatu tentang dirimu, Rania."
Deg.
Jantung Rania seperti berhenti berdetak.
"Apa maksudmu... tentang aku?"
Rey mendekat ke celah kayu itu, matanya menusuk langsung ke dalam mata Rania.
"Adrasta nggak cuma ngurung aku karena rahasia bisnis, Ran... tapi karena dia tahu dulu aku orang yang paling kamu cintai."
Hening.
"Adrasta... takut kehilangan lo. Dan dia paling benci satu hal: masa lalu kamu, adalah aku."
Rania mundur selangkah. Segalanya terasa semakin rumit.
"Rania..." Rey menatapnya dalam. "Lepasin aku dari sini. Aku janji, aku akan membawa kamu keluar dari neraka ini."
Rania hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya. Adrasta... pria dingin yang mengurungnya… ternyata menyimpan monster yang jauh lebih gelap dari yang ia kira.
"Rania, kamu harus pergi dari sini. Adrasta nggak akan membiarkan kamu bebas. Aku tahu rencana dia ke kamu lebih dari sekedar kontrol. Kamu bagian dari permainannya. Sama seperti aku dulu..."
Rania terkejut. Langkahnya nyaris goyah.
Tapi sebelum Rania bisa menjawab... suara pintu gudang itu tiba-tiba berderit perlahan.
Langkah kaki itu... berat. Dingin. Sangat familiar.
Dan saat suara itu terdengar di belakangnya — suara yang selalu mampu membekukan udara di sekelilingnya — jantung Rania seolah tenggelam ke dasar bumi.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini, Rania?"
Suara Adrasta.
Datar. Tapi bahaya mengendap dalam tiap suku katanya.
Dan untuk pertama kalinya...
Tatapan Adrasta tidak hanya jatuh pada Rania.
Tapi juga menembus celah pintu itu.
Langsung menatap mata Rey.
Untuk pertama kalinya... mata predator dan masa lalu yang terkubur itu saling bertemu.
Suara langkah itu berhenti tepat di belakang Rania.
Dingin. Berat. Mengancam.
"Aku ulangi sekali lagi, Rania." Suara Adrasta terdengar nyaris seperti bisikan maut. "Apa yang sedang kau lakukan... di sini?"
Perlahan, Rania menoleh. Tatapan Adrasta gelap — kosong tapi membunuh dalam diam.
Dan di balik celah pintu itu, Rey justru melangkah mendekat. Wajahnya penuh luka, tapi sinarnya? Tak gentar sedikit pun.
"Sudah lama, Adrasta." Suara Rey serak tapi jelas. "Atau... lebih tepatnya, sudah berapa tahun kau menyembunyikan aku di tempat busuk ini?"
Mata Adrasta menyipit. Bibirnya tertarik samar. Dingin.
"Kau masih hidup saja sudah di luar rencana, Rey."
Rey tertawa pelan — getir. "Sayangnya, aku masih bernapas. Dan lebih sayangnya lagi..." Tatapan Rey melirik Rania, dalam, "ada seseorang di sini yang masih peduli padaku."
Mata Adrasta langsung membeku.
Udara di antara mereka seketika menghitam.
"Aku tidak peduli seberapa dalam masa lalu kalian," bisik Adrasta tajam. "Tapi satu hal yang harus kau ingat, Rey — hari ini, detik ini... Rania adalah milikku."
Bibir Rey mengulas senyum miring. "Milikmu? Atau kau hanya terobsesi memilikinya?"
Brak.
Adrasta menendang pintu gudang itu keras. Getarannya membuat Rania terlonjak kaget.
Tatapan Adrasta beralih pada Rania. "Ikut aku." Perintahnya datar tapi mematikan.
Tanpa banyak bicara, tangan Adrasta mencengkeram pergelangan Rania dan menyeretnya menuju kamarnya.