NovelToon NovelToon
Paman, Aku Mencintaimu

Paman, Aku Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Enemy to Lovers
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.

Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 - Aku dan Kamu Satu

Malam turun perlahan di kawasan Pondok Indah. Angin dari jendela balkon kamar Tari menggerakkan tirai tipis yang menggantung, menyapu wangi lembut dari diffuser bunga lavender di sudut ruangan. Tari baru saja selesai mandi, rambutnya masih basah tergerai, piyama satin berwarna gading membalut tubuh mungilnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, matanya tertuju pada layar ponsel. Tak ada pesan masuk.

Gilang masih belum muncul di rumah malam itu. Sejak kepulangan Rayhan, Tari merasa dadanya penuh. Ada banyak hal yang ingin ia pahami, tapi justru yang paling ia rasakan adalah satu hal yang tidak bisa lagi ia sembunyikan: perasaan itu telah tumbuh terlalu dalam.

Dan malam ini, ia tak mau lagi berpura-pura.

Pintu kamarnya diketuk pelan. Tari menoleh.

"Tari?" suara Gilang terdengar dari balik pintu.

Ia berdiri, membuka pintu. Gilang berdiri di sana, mengenakan kaus hitam dan celana bahan abu-abu. Rambutnya sedikit acak-acakan, matanya terlihat lelah.

"Boleh masuk?"

Tari mengangguk pelan. Gilang masuk, menutup pintu perlahan. Untuk beberapa detik, mereka hanya berdiri saling memandang.

"Kamu nggak tidur?" tanya Gilang, suaranya dalam.

"Nggak bisa tidur," jawab Tari, jujur.

Gilang duduk di kursi dekat meja rias, tangannya meremas-remas jemari sendiri. "Aku juga."

Tari melangkah pelan, lalu duduk di tepi ranjang. Suara kipas angin langit-langit menjadi latar keheningan mereka.

"Aku nggak tahu sejak kapan..." Tari mulai bicara pelan, "...tapi aku tahu sekarang, bahwa aku jatuh cinta padamu."

Gilang menoleh perlahan. Matanya menatap Tari dalam-dalam.

"Dan aku capek menyembunyikannya. Capek menahan semua ini sendirian," lanjut Tari, suaranya bergetar.

Ia berdiri, melangkah mendekat. Gilang bangkit, tapi tidak mundur. Ketika tubuh mereka hanya tinggal satu langkah terpisah, Tari mendongak.

"Kalau kamu nggak bisa membalasnya... aku ngerti. Tapi malam ini, aku mau jujur. Karena besok... aku mungkin nggak punya kesempatan lagi."

Gilang tak menjawab. Tapi matanya... berbicara banyak hal yang tak terucap.

Tari meraih wajahnya. Lembut. Ragu. Tapi ketika Gilang tidak menolak, ia melangkah lebih dekat. Hidung mereka hampir bersentuhan.

"Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu," bisik Tari.

Dan sebelum sempat berpikir, Tari mencium Gilang.

Awalnya pelan, seperti mengeja rasa. Tapi detik berikutnya, Gilang membalas dengan intensitas yang mengejutkan. Tangannya melingkar di pinggang Tari, menarik tubuh itu mendekat. Bibir mereka saling mencari, saling membakar, seolah ingin menumpahkan semua perasaan yang selama ini ditahan.

Awalnya pelan, seperti mengeja rasa. Tapi detik berikutnya, Gilang membalas dengan intensitas yang mengejutkan. Tangannya melingkar di pinggang Tari, menarik tubuh itu mendekat. Bibir mereka saling mencari, saling membakar, seolah ingin menumpahkan semua perasaan yang selama ini ditahan.

Ciuman itu makin panas, lidah mereka bertemu, menari liar, saling mengecap dan menyapu, menciptakan desahan tertahan dari mulut Tari. Ia mencengkeram bahu Gilang, seolah tak ingin berpisah, seolah dunia luar tak lagi penting.

Gilang mengangkat tubuh Tari dan membaringkannya perlahan di atas ranjang. Ia mengecup kelopak mata Tari, pipinya, lalu turun ke leher, memberikan ciuman panjang dan dalam di sisi kiri, membuat gadis itu mengerang pelan dan melengkungkan punggung.

Gilang menyentuh wajah Tari dengan lembut, seakan memastikan bahwa ini nyata. Lalu jemarinya bergerak menyusuri garis rahang, leher, bahu. Tari gemetar, tapi tak menolak.

"Gilang..." bisiknya.

"Aku di sini..." jawabnya parau.

Tangan Gilang menyusup ke bawah punggung Tari, menarik tubuh mungil itu lebih dekat hingga nyaris tak ada jarak. Ciuman mereka berlanjut, kali ini lebih dalam, lebih rakus. Tari merintih kecil di antara helaan nafas. Tubuhnya seperti meleleh saat tangan Gilang menemukan jalan ke bawah leher piyamanya, menyentuh kulitnya yang hangat.

Tari merintihkan namanya. “Gilang…”

Dan Gilang hanya menjawab dengan ciuman yang lebih dalam, lebih dalam lagi—membuat Tari tak kuasa menahan lenguh panjang dari bibirnya yang terbuka.

Namun ketika batas hampir terlampaui, Gilang menarik diri perlahan, menatap mata Tari yang kini berkaca-kaca oleh hasrat dan cinta.

Ciuman itu makin panas. Nafas mereka memburu. Gilang mendorong Tari perlahan ke arah tempat tidur. Mereka jatuh bersama, saling memeluk, saling mencengkeram.

"Kamu yakin...?" bisik Gilang di sela ciuman.

Tari tak menjawab. Ia hanya menarik wajah Gilang kembali, mencium bibirnya lebih dalam, seolah jawaban itu tak butuh kata-kata.

Gilang perlahan membaringkan Tari, tubuhnya menyusul di atas, tangan mereka saling mencengkeram seprai. Setiap sentuhan seperti percikan api yang membakar seluruh urat saraf.

Piyama Tari sedikit terbuka, memperlihatkan lekuk leher dan bahu yang mulai memerah karena ciuman Gilang. Ia memejamkan mata, tubuhnya mengejang saat bibir Gilang menelusuri tulang selangkanya. Ia membalas dengan menggenggam kuat lengan Gilang, menariknya lebih dekat, lebih dalam.

Namun ketika batas hampir terlampaui, Gilang berhenti. Matanya menatap Tari dengan penuh kekalutan.

"Kalau aku lanjut... aku mungkin nggak bisa berhenti."

Tari menggigit bibirnya. Napasnya masih tersengal. Ia menatap Gilang, lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan.

"Kita berhenti di sini dulu..." bisiknya, tangannya menyentuh wajah Gilang lembut.

Gilang menarik nafas panjang, menenangkan diri, lalu merebahkan diri di samping Tari. Ia meraih selimut, menyelubungi mereka berdua.

Malam itu, segala jarak menghilang.

Segala keraguan luluh.

Yang tersisa hanya dua hati yang saling menemukan titik tengah.

Setelah semuanya tenang, mereka terbaring diam. Tari bersandar di dada Gilang, mendengar detak jantung pria itu yang masih berdebar.

"Kenapa kamu diam?" bisik Tari.

Gilang memejamkan mata, tangannya mengusap rambut Tari pelan.

"Karena aku takut kalau aku bicara... aku bakal nyakitin kamu."

"Kenapa kamu pikir begitu?"

"Karena aku nggak sebaik yang kamu kira."

Tari mengangkat kepala, menatap matanya.

Gilang menggenggam tangan Tari. "Aku pernah punya rencana. Bukan rencana baik. Waktu kamu datang... aku nggak suka kamu. Aku merasa kamu datang buat ambil semua yang aku perjuangkan. Aku... aku ingin kamu gagal."

Tari terdiam. Dada Gilang terasa hangat di bawah telapak tangannya yang dingin.

"Tapi kamu nggak pernah gagal," lanjut Gilang. "Kamu justru bikin aku kehilangan kendali. Kamu bikin aku sadar kalau semua usahaku... nggak ada artinya kalau aku kehilangan seseorang yang tulus kayak kamu."

Tari mencium jemarinya. "Tapi kamu nggak kehilangan aku. Belum."

Gilang tersenyum kecil, getir. "Tapi aku udah nyakitin kamu. Dengan atau tanpa kamu tahu."

"Kamu bisa mulai bilang yang sejujurnya. Mulai sekarang."

Dan malam itu, di bawah lampu temaram kamar, Gilang akhirnya mulai jujur. Pada Tari. Pada dirinya sendiri.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa lega.

Ketika keheningan menguasai kembali ruangan, Tari duduk perlahan, menyelimuti tubuhnya dengan selimut putih bersih. Ia menatap wajah Gilang yang masih duduk bersandar pada ranjang, mata pria itu sedikit sayu.

"Kamu tahu, aku kira dulu kamu nggak punya hati," ucap Tari sambil tersenyum kecil.

Gilang mengerjapkan mata. "Karena aku terlalu cuek?"

"Karena kamu selalu menyimpan semuanya. Tapi ternyata, kamu menyimpan terlalu banyak. Sampai kamu sendiri bingung harus mulai dari mana."

Gilang tertawa pelan. Ia meraih tangan Tari, menggenggamnya erat. "Dan kamu terlalu ringan buat ditahan. Tapi terlalu berharga buat dibiarkan pergi."

"Aku nggak akan pergi," jawab Tari. "Tapi kamu harus percaya padaku. Harus bisa lihat aku sebagai seseorang yang layak... bukan cuma cucu pemilik perusahaan."

"Kamu jauh lebih dari itu."

Tari memiringkan tubuhnya, menyandarkan kepala ke bahu Gilang. "Kamu tahu... ini kali pertama aku merasa bukan cuma kerja di perusahaan ini. Tapi jadi bagian dari hidup seseorang di dalamnya."

"Kamu lebih dari bagian," bisik Gilang. "Kamu titik pusatnya."

Malam itu, di antara kalimat yang pelan dan napas yang berat, mereka saling menjaga dalam diam. Tak ada janji, tak ada rencana. Hanya dua jiwa yang akhirnya saling mengaku, dan memilih untuk tetap tinggal.

1
Rendi Best
lanjutkan thor🙏🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!