Kaila tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis hanya dalam semalam. Seorang perempuan sederhana yang mendambakan kehidupan tenang, mendadak harus menghadapi kenyataan pahit ketika tanpa sengaja terlibat dalam sebuah insiden dengan Arya, seorang CEO sukses yang telah beristri. Demi menutupi skandal yang mengancam reputasi, mereka dipaksa untuk menjalin pernikahan kontrak—tanpa cinta, tanpa masa depan, hanya ikatan sementara.
Namun waktu perlahan mengubah segalanya. Di balik sikap dingin dan penuh perhitungan, Arya mulai menunjukkan perhatian yang tulus. Benih-benih perasaan tumbuh di antara keduanya, meski mereka sadar bahwa hubungan ini dibayangi oleh kenyataan pahit: Arya telah memiliki istri. Sang istri, yang tak rela posisinya digantikan, terus berusaha untuk menyingkirkan kaila.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Suara tumit sepatu bergema di koridor lantai delapan kantor Satya Group, mendekat cepat ke ruangan utama Arya. Laras, mengenakan setelan blouse dan rok pensil abu-abu, tampak membawa tablet di tangannya, wajahnya tegang.
"Ada masalah," ujarnya tanpa basa-basi setelah membuka pintu.
Arya yang tengah berdiri membelakangi jendela, hanya melirik sekilas. "Masalah seperti apa, Laras?"
Laras menarik napas. “Seorang wartawan dari media online Expose Now berhasil menemukan tempat tinggal Kaila Salsa. Dia mewawancarai tetangga sekitar dan bahkan memotret pintu kontrakan.”
Mata Arya mengeras. Ia melangkah cepat menuju meja, meraih ponsel. “Kirimkan nama dan nomor orang itu.”
“Sudah saya siapkan,” Laras menyerahkan tablet. “Dan satu lagi, Pak... kabarnya dia dibantu oleh seseorang dari tim kita. Saya sedang menelusuri siapa.”
Arya mendongak tajam. "Dibantu oleh orang dalam?"
Laras mengangguk ragu. “Sepertinya, ya. Dia tahu terlalu banyak untuk wartawan yang bergerak sendiri.”
Tanpa menjawab, Arya sudah melangkah keluar ruangan. Laras mengejarnya.
“Arya—Pak Arya, tunggu. Anda mau ke mana?”
Arya tak memperlambat langkahnya. “Menyelesaikan ini.”
.....
Arya membuka pintu ruangan kecil di lantai bawah gedung Satya Group ruang audit internal yang sore itu sengaja dikosongkan.
Di dalamnya, seorang pria muda dari divisi IT bernama Wisnu duduk gelisah. Dua staf keamanan berdiri di belakangnya, tegang.
"Keluar," perintah Arya pada para penjaga tanpa menoleh.
Kedua satpam itu saling pandang, lalu melangkah mundur, menutup pintu.
Arya berdiri di hadapan Wisnu. "Jadi, kamu yang menyerahkan alamat Kaila pada wartawan?"
Wisnu mencoba membela diri. "Saya hanya... saya pikir itu bukan masalah besar. Lagipula dia cuma istri kontrak, bukan—"
SRAAKK!
Punggung tangan Arya menghantam wajah Wisnu hingga pria itu limbung ke samping.
"Kamu pikir kau tahu segalanya?" Suara Arya tetap tenang, tapi nadanya menggetarkan.
Wisnu menahan sakit di pipinya. “Saya... saya minta maaf, Pak. Saya hanya diberi uang dan—”
“Berapa?” potong Arya.
“Sepuluh juta.”
Arya menatapnya dalam diam sejenak. “Dan dengan sepuluh juta itu, kamu menghancurkan batas privasi orang lain. Kamu memperlakukan istri saya seperti barang murah di mata publik.”
“Istri kontrak,” desis Wisnu pelan.
Arya menatapnya tajam. “Dan itu tetap istri saya. Entah untuk satu tahun atau satu hari, tak seorang pun berhak mempermalukannya.”
Hening membentang di antara mereka.
Akhirnya Arya melangkah ke pintu. “Kamu dipecat. Hari ini juga.”
“Pak Arya, tolong... saya masih punya tanggungan—”
“Ada konsekuensi untuk setiap pilihan. Kau sudah membuat pilihanmu.” Arya tak menoleh lagi. Ia membuka pintu, lalu menambahkan, “Kamu akan di-blacklist dari industri ini. Anggap saja pelajaran kecil.”
Pintu tertutup. Wisnu terduduk di kursinya, wajahnya pucat pasi.
.....
Arya melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menuju lokasi yang didapatnya melalui informasi dari beberapa sumber terpercaya.
Hatinya masih dipenuhi amarah yang menggelegak. Tidak bisa diterima oleh akalnya, seorang wartawan berani menguntit kehidupan pribadi Kaila terutama setelah apa yang telah terjadi beberapa hari terakhir.
Ia menghentikan mobilnya di depan sebuah kafe yang terletak di pinggir jalan. Beberapa wartawan yang bekerja untuk media ternama duduk santai di dalam, beberapa dari mereka menatap layar ponsel, yang lain sibuk berbincang. Tapi, di tengah keramaian itu, Arya langsung mengenali sosok yang dia cari.
Seorang pria dengan kacamata hitam, mengenakan jaket kulit, sedang duduk di pojok ruangan, mengamati situasi sekitar dengan waspada.
Arya berjalan dengan langkah tegas menuju meja pria itu. Sebuah senyum sinis merekah di bibirnya, meskipun tatapannya penuh kebencian.
“Saudara Wisnu, kan?” tanya Arya dengan nada datar, yang langsung membuat wartawan itu terkejut dan mengalihkan pandangannya. Ia berusaha tenang, namun ada ketegangan di udara.
Wisnu, wartawan muda yang baru saja mulai dikenal namanya, memandang Arya dengan wajah terkejut. “Anda... Anda Arya Satya, bukan?” tanya Wisnu, mencoba berpura-pura tenang meski jelas terlihat kegugupannya.
“Apa yang kamu lakukan menguntit istri saya?” tanya Arya, suara tegas dan penuh ancaman. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti pisau yang tajam.
Wisnu mencoba menghindar dengan cepat. “Saya... saya hanya melakukan pekerjaan saya, Pak. Kami hanya mengikuti informasi yang kami terima. Tidak ada niat buruk sama sekali.”
Arya mendekat, menarik kursi dan duduk tepat di depan Wisnu. “Kamu pikir pekerjaan seperti ini bisa diterima begitu saja? Menguntit kehidupan pribadi orang lain demi sensasi dan berita murahan?” ucap Arya dengan nada menghakimi.
Ia memandang Wisnu dalam diam, membuat wartawan itu merasakan ketegangan yang semakin menambah perasaan takut dalam dirinya.
“Ini bukan hanya soal pekerjaan, Wisnu,” lanjut Arya. “Kamu sudah melanggar batas. Tidak ada alasan yang bisa membenarkan apa yang kamu lakukan terhadap Kaila.”
Wisnu mulai merasa cemas. Tangannya mulai gemetar, dan dia berusaha menenangkan diri. “Saya hanya... saya hanya mengikuti jejak berita. Ini demi pekerjaan saya, Pak,” ucapnya terbata.
“Demi pekerjaan?” Arya menyeringai, namun sorot matanya semakin tajam. “Apa kamu pernah berpikir bagaimana itu bisa merusak hidup orang lain? Kamu pikir mengintai orang seperti itu bisa dimaafkan?” ucap Arya.
Tak ada lagi kata maaf yang Arya butuh kan. Emosi dan Amarah sudah menguasai Arya sepenuh nya.
Arya berdiri, tubuhnya semakin mendekat ke Wisnu. Keberadaannya seolah menekan udara di sekitar mereka, membuat Wisnu merasa semakin terperangkap.
“Ini adalah peringatan terakhir buat kamu. Jika kamu berani lagi mengganggu Kaila, kamu akan menyesal. Jangan pernah coba-coba mendekati orang yang aku lindungi lagi,” tegas Arya, suara kerasnya menggema di ruangan.
Wisnu terlihat semakin ketakutan. Ia tahu bahwa Arya bukan orang yang bisa dihadapi sembarangan. Namun, dia juga tahu bahwa sebagai wartawan, ia tak bisa lepas begitu saja. “Saya... saya mohon maaf, Pak. Saya tidak akan melakukannya lagi,” jawab Wisnu dengan suara serak.
Arya mendekat, menatapnya dengan tajam, lalu perlahan mengangkat tangannya. Wisnu menutup matanya, tapi Arya hanya memberikan satu tamparan keras pada meja yang membuat Wisnu terkejut.
Arya menunduk, berbisik dengan nada penuh ancaman, “Jangan coba-coba lagi. Kalau kamu sampai mengganggu Kaila lagi, saya tidak akan segan-segan menghabisi kariermu.”
Dengan tatapan terakhir yang penuh kebencian, Arya berbalik dan melangkah keluar dari kafe itu. Wisnu yang masih terpaku di tempatnya merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya.
Ia tahu, sejak saat itu, ia tidak akan pernah lagi menyentuh topik yang berkaitan dengan Kaila atau keluarganya.
"oh ya. Jika kamu merasa tidak terima. Tuntut saja saya karena telah menampar di tempat umum" ucap Arya di ujung pintu cafe.
"setelah itu. Kita akan mulai menuntut hak istri saya yang telah di ganggu" tambah Arya,lalu pergi tanpa menunggu jawaban dari Wisnu.