Ahmad Al Fatih Pranadipa adalah siswa SMA yang dikenal sebagai pembuat onar. Kenakalannya tak hanya meresahkan sekolah, tetapi juga keluarganya. Hingga akhirnya, kesabaran orang tuanya habis—Fatih dikirim ke pesantren untuk dididik langsung oleh seorang kyai dengan harapan ia berubah.
Namun, Fatih tetap menjadi dirinya yang dulu—bandel, pemberontak, dan tak peduli aturan. Di balik tembok pesantren, ia kembali membuat keonaran, menolak setiap aturan yang mengikatnya. Tapi hidup selalu punya cara untuk mengubah seseorang. Perlahan, tanpa ia sadari, langkahnya mulai berbeda. Ada ketenangan yang menyusup dalam hatinya, ada cahaya yang mulai membimbing jalannya.
Dan di saat ia mulai menemukan jati dirinya yang baru, hadir seorang wanita yang membuatnya merasakan sesuatu yang tak pernah ia duga—getaran yang mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerimis Malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
"Fatih... Ini sudah malam nak. Di daerah ini kendaraan umum sangat jarang yang lewat. Akhir-akhir ini juga sangat sering terjadi begal di daerah sana. Kamu pulangnya besok saja yah!" ucap Ustadz tersebut menghentikan langkah Fatih yang sangat bersemangat untuk pulang. Mau tidak mau, Fatih menurut. Dia tidak bisa menyangkal perkataan kakek tua tersebut. Daerah tempat dia tinggal memang sering terjadi perampokan saat malam karena suasana yang jauh dari keramaian. Apa lagi jika orang pendatang, para perampok akan sangat senang melihat mangsanya. Lesu Fatih menerima kenyataan bahwa malam ini dia tidak bisa pulang.
"Baik, Ustadz." jawab Fatih lemas.
"Semua ini demi kebaikanmu, Nak!" sahut kembali ustadz tersebut.
Fatih kembali masuk kedalam masjid. Dia duduk tersungkur lesu membayangkan wajah ibunya. Di pikirannya yang terlintas hanya ibu. Baru kali ini dia merindui ibunya dengan sangat hingga tak terasa air matanya jatuh. Dengan cepat Fatih menghapus air mata itu.
"Mama... Fatih rindu sama mama. Tunggu Fatih, Mah. Fatih akan pulang besok." lirih Fatih dalam gumamannya.
Saat waktu semakin malam, Fatih tak pernah tertidur. Dia terus terjaga sambil mengingat ibunya. Jika saja saat ini ada ponsel, mungkin rasa rindunya akan segera terbayarkan. Tapi jamaah di sini sangat jarang membawa ponsel ketika akan melaksanakan sholat.
Fatih melalui malam ini dengan sangat panjang. Dia terus memutar tubuhnya agar segera tertidur. Tapi mata itu kian melawan tak ingin terpejam sama sekali. Akhirnya Fatih bangun dan berjalan menuju tempat wudhu. Dia mulai mengambil air wudhu dan mengusap di wajahnya. Sepertinya pria itu kian hari, kian berubah. Dia kemudian masuk kembali di dalam masjid. Melaksanakan sholat Sunnah dua rakaat membaca ayat-ayat pendek yang dia hafal. Setelah melaksanakan sholat, anak itu mulai mengangkat kedua tangannya dan memohon pada Rabbnya untuk secepatnya mempertemukan dirinya pada ibunya. Tak ada firasat apapun pada diri Fatih, dia tak pernah mengganggap bahwa ibunya yang sangat di rinduinya saat ini sudah meninggal dunia dan meninggalkan dirinya untuk selamanya.
Saat pagi mulai menyapa, Fatih bersiap-siap untuk pulang. Menggunakan taksi online yang di pesan pada ponsel jamaah masjid. Fatih sangat bersyukur akan hal itu, dia tidak perlu repot-repot lagi untuk mencari kendaraan umum yang lalu lalang di jalanan besar. Fatih mulai beranjak dari masjid menuju rumahnya. Entah kenapa perasaan terus memikirkan sang ibu. Hatinya terus was-was dan merasa sesuatu yang tidak beres.
Remaja itu terus menggoyang-goyangkan kakinya karena merasa sangat tidak sabar. Tiap saat dia mengintip melihat luar jendela. Hingga saat mobil memasuki sebuah kawasan pemukiman mewah, hati Fatih mulai bertalun-talun ingin bertemu orang terkasih. Tapi saat melihat mobil-mobil mulai tersusun rapi, berjejer memenuhi jalanan kompleks wajah pria itu mulai berubah karena tanya. Apa yang sebenarnya terjadi, apakah ada hajatan atau ada sesuatu yang lain. Di kawasan ini, apabila ingin melakukan hajatan, mereka pasti akan menyewa hotel. Tapi mengapa tiba-tiba sangat banyak kendaraan. Hal yang sangat tidak wajar. Di hati terkecilnya, pikiran negatif mulai menyapa. Tapi dengan cepat remaja yang masih duduk di mobil tersebut menepis pemikirannya yang dangkal.
Hingga saat mobil semakin dekat menuju ke kediamannya, kerumunan orang-orang berpakaian hitam terlihat di depan rumah Fatih. Remaja itu kemudian meremas celananya, dan menguatkan dirinya.
"Sudah sampai, Mas." sahut sang driver. Fatih kemudian membayar biaya taksi online tersebut dan turun dari mobil. Pandangannya terus menyusuri keadaan sekitar tempatnya berpijak saat ini. Perlahan kakinya yang sangat berat untuk melangkah di gerakkan. Langkah demi langkah terus di lakukan oleh Fatih hingga tubuhnya berdiri tepat di depan rumahnya. Sebuah bendera putih yang terbentang tapi mulai membuat Fatih terperangah. Bendera putih sendiri digunakan sebagai bendera simbol kematian karena warna putih merupakan simbol kesucian.
Fatih bergegas melajukan langkahnya. Tak sabar untuk sampai, dia segera berlari. Kerumunan orang terus menatap Fatih dengan kebingungan karena anak yang di cari selama berhari-hari akhirnya pulang juga.
Fatih mulai melewati pintu berwarna putih. Matanya seketika tertuju pada tubuh yang kini mulai terbaring dan di tutupi oleh kain putih. Langkah Fatih semakin limbung melihat ayahnya yang duduk di sebelah jasad yang kini terbaring kaku. Jika Pranadipa duduk di sana, lantas kemana ibunya? Pandangan Fatih mulai menyusuri setiap ruangan dan tak bisa melihat keberadaan ibunya. Raut wajahnya mulai berubah semakin panik dan bertanya.
"Mama mana Pah?" hanya kata itu yang berhasil keluar dari mulut Fatih. Sebuah tanya yang mencari sosok wanita yang sangat dia rindukan. Pranadipa tak punya tenaga untuk marah, marah dan menyalahkan putranya hanya akan menjadi tindakan sia-sia. Dia ingin teriak di depan wajah anaknya, menanyakan kemana saja dirinya selama ini. Tapi Pranadipa tak punya tenaga untuk itu. Dia mendongak menatap wajah Fatih. Wajah sendunya yang memperhatikan putranya semakin menambah kesedihannya. Putra yang sangat di rindui istrinya selama ini, telah kembali. Memakai baju kokoh berwarna putih dan celana jeans. Pemandangan smyang sangat di sukai oleh ibu Aminah. Tapi wanita itu kini tak bisa melihat putranya. Takdir telah menetapkan cukup sampai disitu saja.
"PAH.... MAMA MANA?" teriak Fatih dengan butiran air matanya yang mulai mengalir.
"Duduklah! Dia sini, dan dia sangat menantikan kedatanganmu." jawab Pranadipa dengan lemah dan menoleh pada jasad yang terbaring di pembaringannya.
Fatih jatuh terduduk kemudian dia mulai memeluk tubuh ibunya dengan sangat erat. Dia meraung menahan rasa sakit hati, berbulan-bulan lamanya dia tak bertemu dengan ibunya. Ponselnya yang harus di pengang hanya seminggu sekali dengan waktu 10 menit. Dia tidak bisa berbagi kabar dengan ibunya. Dan yang lebih membuat Fatih menyesal adalah, ketika pekan lalu kesempatan untuk menghubungi keluarga dia lakukan untuk menghubungi teman-temannya sehingga waktu habis dan dia tidak bisa berbicara dengan ibunya. Tak ada komunikasi saat-saat terakhir bersama sang ibu. Fatih sangat menyesal, dia menangis diatas jasad sang ibu.
"Mama.... Maafkan Fatih, Mah. Fatih memang anak tidak berguna. Tapi kenapa mama enggak bisa nunggu Fatih sebentar saja. Fatih rindu mama. Fatih rindu pelukan mama, Fatih rindu telapak tangan yang selalu memegang pipi Fatih. Jangan tinggalkan Fatih sendiri, Mah. Fatih mohon, mama bangun sekarang." ucap Fatih dengan erangannya seraya menggoyang-goyangkan tubuh ibunya berharap ibunya bangun dan memeluknya. Tapi itu semua hanya ada dalam angan Fatih. Jasad yang di tinggalkan rohnya tak akan terbangun lagi kembali. Ketika nyawa itu sudah di cabut, putus pulalah semua urusan dunianya.
Pranadipa memeluk tubuh putranya. Senakal nakalnya seorang Fatih dia tetap putra satu-satunya Pranadipa.
"Papa akan bersama kamu, jangan ganggu ibumu. Kirimkan dia doa yang akan melancarkan perjalanannya menemui Rabbnya. Karena hanya doa anak Sholeh yang bisa menyelamatkan mama. Berdoalah untuk mamamu. Jika kamu benar-benar sayang pada mama, berubahlah seperti yang diinginkan mama. Jadilah anak Sholeh seperti yang mama mau. Hanya kamu anak mama satu-satunya."
Saat anak memanjatkan doa untuk kedua orang tua, hal tersebut merupakan amalan yang tidak akan pernah putus, meski saat orang tua telah tiada. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda Jika seseorang telah meninggal dunia maka terputuslah amalannya kecuali 3 perkara. Yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh. (HR Muslim).