Prolog
Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.
Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Serangan Bandit
...✧* 🌷 happy reading 🌷✧*...
Perjalanan kembali ke kediaman Duke seharusnya berjalan lancar, tetapi takdir berkata lain. Saat kereta mereka melewati jalur yang sepi, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki kuda yang semakin mendekat.
Cedric yang duduk di seberang Eleanor langsung mengangkat tangan, memberi tanda kepada para pengawal untuk waspada. Namun, sebelum mereka sempat bersiap, sekelompok bandit bersenjata keluar dari balik pepohonan, mengepung mereka.
“Keluarkan semua harta benda kalian, atau kami tidak akan segan-segan membunuh!” salah satu bandit dengan wajah kasar berteriak, mengacungkan pedangnya.
Cedric langsung turun dari kereta, diikuti oleh beberapa pengawal yang segera bertarung dengan para bandit. Eleanor melihat situasi sekelilingnya dan menyadari bahwa jumlah bandit lebih banyak dari yang mereka kira.
Carolet berpegangan erat pada gaunnya, wajahnya pucat pasi. “Cedric! Tolong aku!” serunya panik ketika melihat seorang bandit mendekatinya.
Cedric yang sedang bertarung dengan dua bandit sekaligus hanya bisa melirik sekilas. Dia mencoba bergerak ke arah Carolet, tetapi serangan yang datang bertubi-tubi membuatnya kewalahan.
Eleanor yang melihat situasi itu langsung bergerak cepat. Dia menghunus pisau kecil yang selalu dia sembunyikan di pinggangnya—sebuah kebiasaan yang dia miliki sejak dulu untuk berjaga-jaga. Tanpa pikir panjang, dia berlari dan menangkis serangan bandit yang hampir mengenai Carolet.
“Apa kau hanya bisa berteriak?” Eleanor mendesis sambil menangkis serangan berikutnya.
Carolet masih gemetar, tidak tahu harus berbuat apa. Sementara itu, Eleanor terus bertarung, gerakannya lincah dan penuh perhitungan. Meski jumlah musuh lebih banyak, dia tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun.
Namun, satu serangan dari belakang hampir tidak bisa dia hindari. Sebilah pedang menggores bahunya, membuat darah mengalir. Eleanor meringis, tetapi dia tetap berdiri tegak.
“Eleanor!” Cedric akhirnya berhasil mengalahkan lawannya dan melihat Eleanor terluka. Kemarahannya memuncak, dan dalam hitungan detik, dia menebas bandit yang melukai Eleanor.
Sementara para pengawal menyelesaikan sisa bandit yang tersisa, Eleanor dengan cepat merobek bagian bawah gaunnya untuk menghentikan pendarahan di bahunya. Dia menggigit bibirnya menahan rasa sakit, tetapi tangannya tetap cekatan membalut lukanya.
Cedric mendekat, matanya menatap tajam ke arah Eleanor. “Kenapa kau tidak mundur?”
Eleanor hanya tersenyum tipis. “Jika aku mundur, mungkin Carolet sudah terbunuh.”
Carolet yang masih gemetar tidak bisa mengatakan apa pun. Dia menatap Eleanor dengan ekspresi rumit—antara malu dan kesal karena harus diselamatkan oleh seseorang yang selama ini dia remehkan.
Cedric menatap Eleanor dalam diam. Ada sesuatu dalam dirinya yang bergetar melihat keberanian Eleanor.
Namun, dia tidak mengatakan apa pun. Hanya mengulurkan tangan, membantu Eleanor naik kembali ke dalam kereta.
Perjalanan mereka berlanjut, tetapi suasana di dalam kereta terasa berbeda. Eleanor duduk diam sambil menahan rasa sakit, sementara Cedric sesekali melirik ke arahnya.
Saat mereka tiba di kediaman Duke, pelayan sudah bersiap menyambut mereka. Cedric turun lebih dulu, lalu mengulurkan tangannya kepada Eleanor. Untuk pertama kalinya, Eleanor tidak ragu untuk menerimanya.
Carolet hanya bisa menggigit bibirnya, menyadari bahwa untuk pertama kalinya, dia tidak lagi menjadi pusat perhatian Cedric.
...✿✿✿...
Begitu mereka tiba di kediaman Duke, para pelayan segera berlari menghampiri, tetapi Cedric mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka tidak terlalu ribut. Pandangannya tetap tertuju pada Eleanor yang masih menekan lukanya dengan kain sobekan dari gaunnya.
“Kau butuh tabib,” ucap Cedric datar, tapi ada nada perintah di dalamnya.
Eleanor mendengus pelan, berusaha turun dari kereta tanpa bantuan, tetapi tubuhnya sedikit goyah. Cedric dengan refleks menangkap lengannya sebelum dia jatuh.
“Aku bisa sendiri,” ucap Eleanor cepat, mencoba melepaskan tangannya, tetapi Cedric tetap menahannya.
“Kau selalu keras kepala,” Cedric menghela napas, tetapi tetap menggenggamnya erat.
Sementara itu, Carolet yang turun belakangan hanya bisa memandang pemandangan itu dengan ekspresi tidak senang. Tangannya mengepal di sisi roknya. Ia terluka, tetapi bukan secara fisik. Perhatian Cedric—yang seharusnya untuknya—kini teralihkan oleh Eleanor.
...⋆⭑⋆ ...
Di dalam kediaman, seorang tabib sudah dipanggil untuk memeriksa luka Eleanor. Cedric berdiri di sisi ruangan, matanya mengamati setiap gerakan sang tabib yang membalut luka itu dengan hati-hati.
“Lukanya tidak terlalu dalam, tetapi tetap harus dirawat agar tidak terjadi infeksi,” ujar tabib itu. “Yang Mulia harus banyak beristirahat.”
Eleanor hanya mengangguk, tetapi dia tahu istirahat bukanlah pilihan yang bisa dia ambil dengan mudah.
Setelah tabib pergi, keheningan menyelimuti ruangan. Cedric masih berdiri di tempatnya, menatap Eleanor dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Aku tidak menyangka kau bisa bertarung seperti itu,” katanya akhirnya.
Eleanor tersenyum tipis. “Aku tidak perlu menunggu orang lain menyelamatkanku jika aku bisa melindungi diriku sendiri.”
Cedric terdiam sejenak sebelum menghela napas. “Kau seharusnya tidak perlu melukai dirimu demi orang lain.”
Eleanor menoleh, menatap Cedric dengan penuh arti. “Kau juga selalu melindungi orang-orang di sekitarmu, Duke Cedric. Apa bedanya denganku?”
Cedric tidak menjawab. Dia hanya memandang Eleanor dalam diam, seolah mencoba memahami sesuatu yang selama ini belum pernah dia sadari.
Di luar, Carolet berdiri di balik pintu, mendengar percakapan mereka dengan hati yang diliputi kecemburuan. Eleanor, wanita yang selama ini dia remehkan, kini perlahan-lahan mengambil tempat yang seharusnya menjadi miliknya.
Dan dia tidak akan membiarkan itu terjadi.
...✿✿✿...
seorang pelayan tergesa-gesa mendekati Cedric. “Yang Mulia, Duchess Rosamund ingin bertemu dengan Anda di ruang utama.”
Cedric menghela napas pelan, sudah bisa menebak bahwa ibunya pasti ingin membahas tentang keputusan yang dia buat di desa tadi. Tanpa berkata apa-apa, dia melangkah menuju ruang utama.
Saat melihat Cedric pergi dari kamar eleanor carolet mengambil kesempatan untuk bertemu dengan Eleanor"Aku ingin bicara denganmu.”
Eleanor menatap Carolet dengan malas. “Apa lagi?”
Carolet tersenyum lembut, tetapi ada ketajaman dalam sorot matanya. “Kau cukup pandai, Eleanor. Aku harus mengakui itu. Tapi jangan berpikir bahwa itu akan membuat Cedric memandangmu lebih dari seorang pelayan yang kebetulan beruntung.”
Eleanor hanya tersenyum tipis. “Dan kau berpikir aku menginginkan itu?”
Carolet terdiam sejenak, lalu mendekat, suaranya merendah. “Cepat atau lambat, aku akan menjadi istri Cedric. Kau hanya perlu menyingkir lebih cepat sebelum kau semakin mempermalukan dirimu sendiri.”
Eleanor menghela napas dan menarik tangannya dari genggaman Carolet. “Jika kau begitu yakin, kenapa kau harus repot-repot memberitahuku?”
Carolet membeku, tidak menyangka Eleanor akan menanggapinya dengan begitu santai.
Tanpa menunggu jawaban, Eleanor memejamkan matanya. Dia sudah terlalu lelah untuk meladeni permainan Carolet malam ini.
...✿✿✿...
“… Eleanor tidak seharusnya terlibat dalam urusan seperti ini, Cedric,” suara sang Duchess terdengar tegas. “Kau membuat kesalahan dengan membiarkannya ikut.”
“Kesalahan?” Cedric terdengar tenang, tetapi ada ketegasan dalam nada suaranya. “Justru karena Eleanor, kita bisa membongkar kebohongan para petinggi desa.”
“Lalu apa gunanya Carolet? Dia jauh lebih layak untuk mendampingimu dalam urusan seperti ini.”
Eleanor menunggu jawaban Cedric. Ada jeda sejenak sebelum Cedric menjawab, dan saat dia berbicara, suaranya terdengar lebih lembut daripada yang Eleanor duga.
“Aku tidak butuh seseorang yang hanya mengiyakan tanpa berpikir. Aku butuh seseorang yang bisa melihat celah yang tidak bisa aku lihat.”
Duchess Rosamund terdiam.
suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
lanjut up lagi thor