Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Dengan tenang Pangeran Riana menuntun Yuki untuk turun dari kereta begitu kereta berhenti. Di pintu utama kediaman Bangsawan tinggi Trigar bersama istrinya sudah menunggu.
Pangeran Riana melirik sekilas ke arah Bangsawan Trigar sebelum tatapannya kembali ke wanita di samping pria itu. Istri Trigar berdiri anggun, jemari kecilnya bertaut di depan perutnya, senyumnya lembut namun tampak waspada.
Yuki memperhatikan wanita itu dengan rasa ingin tahu. Rambutnya yang kuning keemasan berkilau di bawah sinar matahari sore, kontras dengan gaun hijau zamrud yang membalut tubuhnya yang mungil. Ia tampak rapuh, seperti burung kecil yang setiap saat bisa terbang menjauh jika merasa terancam.
Pangeran Riana kembali menatap wanita mungil di samping Bangsawan Trigar, dan seketika pikirannya melayang pada seekor burung kenari bersayap kuning keemasan yang dulu sering dibawa pria itu ke mana-mana.
Bangsawan Tinggi Trigar, yang dikenal gemar berburu burung untuk bersenang-senang, tiba-tiba memutuskan untuk memelihara satu di antaranya—seekor kenari yang berbeda dari buruannya yang lain. Burung itu tidak pernah dikurung dalam sangkar, tapi selalu bertengger di bahunya atau terbang mengikuti ke mana pun dia pergi.
Sekarang, melihat wanita ini berdiri anggun di sisinya, Pangeran Riana merasakan kemiripan yang aneh. Tubuhnya mungil, rambutnya berkilau keemasan, dan ada sesuatu dalam cara dia berdiri—hati-hati, hampir seperti siap melompat pergi jika situasinya berubah.
Pangeran Riana menyadari bahwa burung kenari itu mungkin bukan sekadar hewan peliharaan bagi Trigar—melainkan simbol dari wanita yang kini berdiri di sisinya.
Sorot mata mereka bertemu, sejenak terasa seperti pertarungan diam-diam yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang memahami apa artinya memiliki dan mengendalikan seseorang.
Bangsawan Tinggi Trigar tidak melepaskan pandangannya, seolah menantang Riana untuk berhenti menilai pilihannya. Namun, Riana tidak bergeming.
Seolah tanpa kata, keduanya saling menyampaikan pesan yang sama:
Berhenti menilai wanita pilihanku.
Pangeran Riana menatap pria itu dengan ekspresi datar, tapi dalam benaknya, roda pemikiran berputar lebih cepat dari biasanya.
Dia mengenalnya. Tidak dekat, tapi cukup untuk mengetahui reputasi dan sejarah hidupnya. Pria itu berasal dari keluarga bangsawan terpandang, meski bukan dari kerajaan sebesar Garduete atau Argueda. Orang tuanya memiliki hubungan jauh dengan keluarga kerajaan, sepupu jauh dari ibu Riana.
Mereka pernah bertemu beberapa kali dalam acara-acara resmi. Tapi yang menarik perhatian Pangeran Riana bukan sekadar latar belakangnya.
Melainkan bagaimana pria itu mencintai wanita di sampingnya.
Pangeran Riana bisa melihatnya dari cara pria itu berdiri sedikit lebih dekat dari yang diperlukan, dari bagaimana jarinya selalu siap di punggung istrinya, seolah memastikan wanita itu tidak jauh darinya. Dari sorot matanya yang mengawasi siapa pun yang berani menatap istrinya terlalu lama.
Pangeran Riana mengenali hal itu karena dia pun seperti itu terhadap Yuki.
Bukan sekadar rumor. Pangeran Riana ingat bagaimana pria ini pernah bertunangan dengan seorang putri bangsawan yang dihormati, wanita yang dianggap ‘layak’ menjadi pendampingnya. Namun, pertunangan itu kandas ketika dia justru memilih seorang gadis biasa—anak seorang tukang kebun.
Pilihan yang dianggap gila oleh banyak orang. Terlebih, ada bisikan bahwa wanita itu telah memiliki anak sebelum mereka menikah.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Pria itu tidak hanya tetap menikahinya, tetapi juga mempertahankan dan melindunginya dengan cara yang mengingatkan Pangeran Riana pada dirinya sendiri.
Dan sekarang mereka berdiri di hadapannya.
Pangeran Riana mendapati dirinya tersenyum kecil, nyaris sinis.
“Pilihan yang menarik,” gumamnya, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
Saat Mereka sudah cukup dekat. Yuki membungkuk dengan canggung. Sementara Pangeran Riana berada satu langkah didepannya.
Pria itu menatap Pangeran Riana tajam, ekspresinya tenang tapi ada ketegangan halus di dalamnya—seolah dia sudah siap menghadapi siapa pun yang berani menghina istrinya.
Namun, Pangeran Riana hanya tersenyum tipis, sorot matanya tajam namun tidak bermaksud menyerang.
“Selamat juga atas pernikahanmu,” katanya santai. “Saat undangan datang, aku sedang mengerjakan sesuatu yang tidak bisa kutunda.”
Pria itu mengangkat alis. “Ya,” katanya dengan nada datar, tapi ada sedikit ejekan di dalamnya. “Memburu istri kecilmu.”
Pangeran Riana tidak tersinggung. Sebaliknya, dia justru tersenyum lebih lebar, seolah menemukan percakapan ini menghibur. Dia melirik ke arah Yuki di sisinya, yang sedang memandang keduanya dengan sedikit kebingungan.
“Aku tidak akan menyangkal,” jawab Pangeran Riana santai, suaranya nyaris terdengar bangga. “Setidaknya aku mendapatkannya. dan tampaknya kau pun berhasil menjinakkan burung kenarimu.”
Pria itu hanya mendengus kecil, sementara istrinya melirik mereka berdua dengan ekspresi penuh minat. Seolah menyadari bahwa dua pria di depannya ini memiliki banyak kesamaan—terutama dalam hal bagaimana mereka mempertahankan wanita yang mereka cintai.
Bangsawan Tinggi Trigar terkekeh, melirik istrinya yang berdiri anggun di sisinya. “Burung kenari akan bernyanyi dengan indah jika diperlakukan dengan baik.”
Pangeran Riana menoleh sekilas ke arah Yuki, yang masih berdiri canggung di belakangnya. “Sayangnya, beberapa burung lebih suka terbang bebas daripada bernyanyi di dalam sangkar.”
Bangswan Trigar mengangkat alis, tersenyum samar. “Atau mungkin mereka hanya belum menyadari bahwa sangkar itu adalah perlindungan, bukan kurungan.”
Ketegangan samar terasa di antara mereka, seolah percakapan ini lebih dari sekadar basa-basi. Tapi sebelum ada yang bisa menanggapi, istri Bangsawan Tinggi Trigar melangkah maju dengan suara lembut, memecah suasana.
“Apa kita akan terus berdiri di sini, atau kita akan masuk?”
“Ya, masuklah,” jawabnya santai. “Nenek dan Ibu sudah menunggu.”
Yuki melirik ke arah Pangeran Riana, merasa sedikit canggung dengan suasana di antara mereka, tapi dia tetap mengikuti langkah suaminya. Sementara itu, pria di sebelahnya hanya mendengus kecil sebelum akhirnya menggandeng tangan istrinya, lalu berjalan beriringan dengan mereka menuju aula besar tempat para bangsawan berkumpul.
...****************...
Pangeran Riana menarik kursi untuk Yuki dengan penuh perhatian, memastikan istrinya duduk dengan nyaman sebelum mendorong kursinya dengan halus. Yuki tetap diam, tangannya bertumpu di pangkuan, menatap sekeliling ruangan dengan tenang.
Di hadapan mereka, seorang Nyonya tua dengan aura anggun dan wibawa duduk dengan tegak, sementara di sampingnya ada seorang wanita yang jelas merupakan nyonya rumah tempat mereka bertamu.
Pangeran Riana maju selangkah, memberi hormat dengan sopan.
Nyonya tua itu, Jasmine, memperhatikan Yuki dengan tatapan puas sebelum mengangguk kecil.
“Istrimu sangat cantik,” katanya dengan suara penuh penghormatan. “Beruntunglah kalian juga sudah memiliki dua putra yang akan meneruskan tahtamu.”
Pangeran Riana tersenyum tipis, sementara Yuki tetap menjaga ekspresi tenangnya, meskipun di dalam hatinya ada sedikit ketegangan mendengar pernyataan itu.
Wanita Tua Jasmkne lalu melanjutkan menyapa Yuki dengan nada ramah, “Putri Yuki, akhirnya kita bertemu.” Suaranya merdu, sehalus kain sutra yang meluncur di udara. “Aku sudah lama ingin mengenal wanita yang berhasil menaklukkan Pangeran Garduete.”
Tatapan Yuki bertemu dengan matanya. Senyum ramah itu… bukan sekadar keramahan biasa. Ada sesuatu di baliknya.
Pangeran Riana tetap diam di samping Yuki, ekspresinya datar. Namun, tangannya tetap berada di pinggang istrinya, tidak bergerak sedikit pun, seolah mengingatkan dunia bahwa Yuki adalah miliknya.
Pangeran Riana akhirnya berbicara, suaranya rendah dan tenang. “Kami datang ke acara ini bukan hanya untuk berdiplomasi”
Mereka duduk di ruang tamu yang luas, dihiasi perabotan berukir khas Zairat dengan karpet lembut yang menambah kehangatan suasana. Nyonya rumah, dengan senyum ramah, menyajikan teh herbal yang aromanya menenangkan.
Seperti yang dikatakan Pangeran Riana, Yuki merasa nyaman berbicara dengan istri Bangsawan Tinggi Trigar. Wanita itu memiliki sikap lembut dan ceria, membuat percakapan mengalir dengan mudah.
“Kudengar ini pertama kalinya kau mengunjungi Zairat?” tanya istri Trigar dengan penuh minat.
Yuki mengangguk, menyesap tehnya. “Ya, ini pertama kalinya. Aku terkejut melihat betapa berbeda budayanya dibandingkan Garduete.”
Wanita itu tersenyum. “Aku juga mengalami hal yang sama ketika pertama kali datang ke rumah suamiku. Awalnya, aku merasa seperti burung kecil yang tersesat, tetapi lama-lama aku terbiasa.”
Yuki menatapnya dengan rasa ingin tahu. “Apa itu sulit?”
Istri Trigar tertawa kecil. “Tentu saja. Tapi jika suami kita cukup gigih, apa yang bisa kita lakukan selain mengikuti?” katanya, melirik sekilas ke arah Bangsawan Trigar yang sedang berbicara dengan Pangeran Riana.
Yuki ikut melirik ke arah Pangeran Riana. Kata-kata itu terasa begitu familiar baginya.
Sebelum waktu minum teh tiba, Nayla, istri Bangsawan Tinggi Trigar, mengajak Yuki untuk membuat roti bersama di dapur. Tanpa ragu, Yuki langsung menyetujuinya.
Mereka berjalan melewati lorong menuju dapur yang luas, dengan meja marmer besar di tengah ruangan dan rak-rak yang dipenuhi rempah-rempah serta bahan-bahan kue. Aroma manis dari adonan yang tengah dipanggang memenuhi udara, membuat suasana terasa hangat dan menyenangkan.
“Aku sering membuat roti sendiri sebelum menikah,” kata Nayla sambil menggulung lengan bajunya. “Ini salah satu cara terbaik untuk menghilangkan stres, kau tahu?”
Yuki tersenyum kecil. “Aku jarang membuat roti sendiri, tapi aku ingin mencobanya.”
Nayla tertawa lembut. “Kalau begitu, aku akan mengajarimu. Kita mulai dengan mencampur bahan dulu.”