"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
...****************...
Kami duduk dalam diam, menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus pelan. Nathan mulai menggeliat, seolah tidak betah dalam gendongan Arsen.
"Sepertinya dia mau turun," kataku sambil melirik Nathan yang meronta kecil.
"Kau yakin mau melepaskannya? Dia belum bisa jalan, tapi kalau sudah turun, dia pasti akan sibuk sendiri." Arsen menatap bayinya lalu menghela napas.
"Biar saja. Lagipula, dia harus mulai bereksplorasi." Aku tersenyum kecil, melihat Nathan yang mulai gelisah.
Arsen akhirnya menurunkan Nathan ke atas rumput yang empuk. Bayi itu langsung tertawa kecil, tangannya menyentuh rumput dengan penuh rasa ingin tahu. Aku ikut turun dari ayunan dan duduk bersila di samping Nathan, memperhatikannya dengan seksama.
"Nathan, kau suka?" tanyaku pelan.
Nathan menengadah, lalu tersenyum lebar sambil menggumam tidak jelas.
"Aku tidak menyangka kau akan berubah secepat ini." Arsen ikut duduk di sebelahku, tangannya bertumpu ke belakang, menopang tubuhnya.
"Berubah?" Aku menoleh, menatapnya dengan alis sedikit berkerut.
"Dulu kau benci anak kecil. Sekarang, lihatlah dirimu."
Aku menunduk menatap Nathan yang sedang mencoba meraih jari-jariku. Benar juga. Dulu aku tidak pernah berpikir bisa menyukai anak kecil, apalagi sampai sejauh ini.
"Mungkin karena aku tidak pernah punya kesempatan untuk dekat dengan mereka," bisikku.
"Dan sekarang kau punya." Arsen terdiam sesaat sebelum akhirnya menatapku.
"Ya... Sekarang aku punya." Aku tersenyum tipis, merasakan sesuatu yang hangat di dadaku.
Nathan tiba-tiba menggumam lagi, lalu merangkak kecil menuju Arsen. Dia menarik kaus Arsen sambil tertawa, membuatku terdiam sesaat.
Aku tidak tahu kenapa, tapi dadaku terasa sedikit... aneh.
Aku melihat Arsen menggendong Nathan dengan mudah, mengayun-ayunkannya perlahan. Nathan tampak senang, tertawa sambil memegangi wajah ayahnya.
Aku menggigit bibir. Rasanya aneh melihat mereka berdua begitu dekat.
"Kau cemburu?" suara Arsen tiba-tiba memecah lamunanku.
Aku menoleh cepat. "Apa?"
"Wajahmu seperti seseorang yang sedang cemburu." Arsen menatapku dengan ekspresi setengah mengejek.
"Jangan mengada-ada." Aku langsung mendengus, malas menanggapinya.
"Benarkah? Tapi dari tadi kau melirik kami terus." Dia terkekeh pelan.
"Aku hanya memperhatikan. Itu hal yang wajar." Aku melipat tangan di dada, menatapnya tanpa ekspresi.
Dia mengangkat bahu dengan senyum kecil.
"Kalau kau memang cemburu, kau bisa bilang. Aku bisa membagi waktu lebih banyak untukmu juga."
"Aku tidak butuh waktu darimu," balasku cepat.
Dia tertawa kecil, lalu kembali bermain dengan Nathan. Tapi aku tahu dia sengaja berkata seperti itu untuk menggodaku. Dan yang lebih menyebalkan, aku sadar kalau apa yang dia bilang mungkin ada benarnya.
Aku memang merasa sedikit cemburu. Tapi aku tidak akan mengakuinya.
...****************...
Aku baru aja mau ambil snack buah di meja ketika bel pintu berbunyi.
Siapa yang datang sore-sore begini? Arsen juga lagi di kantor.
Dengan sedikit malas, aku berjalan ke pintu dan membukanya.
Seorang wanita berdiri di sana. Tinggi, ramping, dengan kulit putih mulus dan rambut hitam panjang yang tergerai rapi. Pakaian yang dia pakai jelas mahal, makeup-nya juga sempurna. Pokoknya tipe wanita yang kalau lewat di catwalk, semua orang bakal melongo.
Tapi yang bikin aku gak nyaman adalah ekspresi wajahnya—tatapan menilai dari ujung kepala sampai ujung kaki, seolah-olah aku ini debu di lantai rumah mewahnya.
"Siapa?" tanyaku datar.
"Kau pasti Sienna." Dia menyeringai kecil sebelum melangkah masuk tanpa diundang.
Aku mengerutkan kening, sekilas melirik ke arah para pelayan yang berdiri agak jauh. Kenapa ekspresi mereka kayak ketakutan gitu?
"Terus, kau siapa?" Aku kembali menatap wanita itu, mencoba mencari tahu maksud kedatangannya.
"Tiara." Dia mengangkat dagunya sedikit, seolah ingin memastikan aku mengenali namanya.
Otakku langsung bekerja cepat. Tiara. Aku kenal nama itu. Seorang model terkenal… dan—
"Mantan istri Arsen." Dia melanjutkan dengan nada penuh kemenangan.
Aku refleks menarik napas dalam. Oke. Jadi ini dia.
"Aku gak mau buang waktu di sini." Tiara menyilangkan tangan di dada dan melangkah lebih dekat. "Aku cuma mau ambil sesuatu yang seharusnya jadi milikku."
"Apa?" Aku menatapnya curiga.
"Anakku." Dia menyeringai, seolah menikmati reaksiku.
Oke, ini mulai gila.
"Nathan bukan barang yang bisa kau ambil begitu saja." Aku langsung berdiri tegak, bersiap menghadapi omong kosongnya.
Tiara tertawa kecil, ekspresinya seolah mengasihani aku. "Lucu sekali kau bicara begitu, padahal kau bukan siapa-siapa. Kau pikir cuma karena kau tinggal di sini dan pura-pura jadi ‘ibu’, kau bisa memiliki dia?"
Aku mengepalkan tangan di sisi tubuhku, berusaha menahan emosi.
"Aku memang bukan ibu kandungnya, tapi aku juga gak akan membiarkan seseorang yang ninggalin dia begitu aja untuk seenaknya kembali dan mengklaimnya."
"Ninggalin dia?" Tiara mendekat, tatapannya tajam. "Dengar, aku ini ibu kandungnya. Aku yang melahirkan dia. Aku punya hak penuh atas dia."
"Hak penuh?" Aku mendengus. "Kalau kau punya hak penuh, kenapa kau ninggalin dia? Kenapa sekarang baru muncul?"
"Itu bukan urusanmu."
"Kalau begitu, ini juga bukan urusanmu. Nathan baik-baik aja di sini, dan dia gak butuh seseorang yang cuma datang untuk bikin drama," balasku, melipat tangan di dada.
"Kau pikir Arsen mencintaimu? Kau cuma pengganti aku, Sienna. Kau bukan siapa-siapa buat dia. Dia cuma pakai kau, sama kayak dia dulu pakai aku," ucapnya sambil menatapku tajam.
"Kalau memang dia masih mencintaimu, kenapa dia gak mencarimu?" tanyaku, menatapnya tanpa ekspresi.
"Percaya deh, suatu saat dia bakal balik ke aku. Kau cuma selingan," ucapnya dengan nada meremehkan.
"Kalau kau segitu percayanya, kenapa repot-repot datang ke sini? Takut posisimu udah tergantikan?" tanyaku dengan senyum tipis.
Tiara terdiam beberapa detik, lalu mendekatkan wajahnya ke arahku, ekspresinya penuh amarah yang tertahan. Rahangnya mengatup erat, seolah menahan sesuatu, tapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi.
Aku menatap Tiara tajam, napasku naik turun karena menahan emosi.
Dia juga sama, berdiri di hadapanku dengan ekspresi penuh amarah. Perdebatan kami makin panas, suaranya semakin meninggi, dan aku sadar kalau beberapa pelayan mulai berkumpul di sudut ruangan, memperhatikan dengan wajah tegang.
"Kau pikir kau siapa, hah?" Tiara menggeram. "Cuma karena kau tinggal di sini dan pura-pura jadi istri Arsen, kau merasa punya hak atas Nathan?"
Aku menatapnya dingin. "Setidaknya aku gak meninggalkan dia."
Matanya semakin menyipit, rahangnya mengeras. Aku bisa lihat jelas kalau ucapanku barusan benar-benar menusuk.
"Bajingan kau!" Tiara tiba-tiba melayangkan tangannya, hampir saja menamparku kalau aku gak segera mundur selangkah.
Tapi dia bukan tipe orang yang bisa dikalahkan hanya dengan kata-kata. Dengan cepat, dia mendorongku keras hingga aku kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai dengan tubuh sedikit membentur meja di belakangku.
"Ugh!" Aku mengerang pelan, tapi belum sempat bangkit, tiba-tiba—
BRUKK!
Rasa sakit yang tajam langsung menjalar di lututku saat Tiara dengan sengaja menginjaknya.
"AAAHH!" Aku menjerit keras.
Rasanya seperti ada yang menghantam lututku dengan batu besar. Lutut yang belum pulih itu langsung terasa berdenyut hebat, dan tubuhku hampir limbung karena nyeri yang gak tertahankan.
Para pelayan yang awalnya hanya diam, langsung bereaksi. Beberapa berlari mendekat, sementara dua penjaga rumah yang entah datang dari mana langsung menarik Tiara menjauh dariku.
"Lepaskan aku!" Tiara meronta, matanya masih penuh amarah, tapi pegangan penjaga di lengannya terlalu kuat.
Aku masih terengah-engah di lantai, menekan lututku yang berdenyut sakit, berusaha mengendalikan napas di tengah rasa nyeri yang menguasai tubuhku.
Di antara keributan itu, aku sempat melihat salah satu pelayan buru-buru mengambil ponselnya dan menekan nomor dengan wajah panik.
Aku gak tahu siapa yang dia telepon, tapi aku yakin… ini belum selesai.
.
.
.
Next 👉🏻