"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
...****************...
Aku menurunkan ponsel perlahan, menutup telepon dari Coach tanpa mengalihkan pandangan dari Arsen.
"Kau bercanda, kan?" tanyaku tajam.
"Tentang apa?" Arsen menutup pintu di belakangnya, berjalan mendekat dengan ekspresi tenang seperti biasanya.
"Jangan pura-pura bodoh, Arsen. Aku baru saja dengar kalau kau bilang ke media kalau aku ini istrimu!" Aku tertawa sarkastik, menatapnya penuh emosi.
"Memang benar, kan?" Dia menyelipkan tangannya ke saku celana, masih dengan wajah datarnya, seolah tidak terjadi apa-apa.
Aku hampir membanting ponsel ke wajahnya kalau saja aku tidak menahan diri.
"Kita nggak menikah, Arsen!" seruku frustrasi. "Kau bahkan nggak tanya dulu sebelum buat pernyataan gila itu!"
Dia menghela napas panjang, lalu duduk di sofa, menatapku yang masih berdiri dengan emosi.
"Kalau aku tanya, kau bakal setuju?"
"Tentu saja tidak!" aku mendelik.
"Nah, makanya aku nggak tanya," balasnya santai.
Aku melongo, lalu mendengus kesal. "Dasar brengsek."
"Aku melakukan ini buat melindungi namamu, Sienna. Kalau aku nggak kasih pernyataan yang lebih besar, media bakal terus menggali hal-hal nggak jelas tentangmu." Arsen hanya mengangkat bahu, lalu menatapku dengan mata yang lebih serius.
"Kau sadar kan kalau ini malah memperkeruh semuanya? Sekarang aku nggak cuma dikira menggoda duda kaya, tapi juga dianggap istri rahasiamu. Aku nggak bisa bayangin apa yang bakal mereka gali lagi besok!" Aku mengusap wajah, mencoba meredam emosi yang semakin memuncak.
"Lebih baik jadi istriku daripada jadi bahan gosip murahan, kan?" Arsen mengangkat sebelah alis, ekspresinya tetap tenang seolah ini bukan masalah besar.
Aku terdiam. Jawaban itu entah kenapa membuat dadaku terasa sesak.
"Aku cuma nggak mau mereka mengusik hidupmu lebih jauh," lanjutnya. "Dan... aku nggak mau Nathan terpengaruh sama berita buruk."
Aku menatapnya, masih berusaha memahami jalan pikirannya.
"Aku bisa urus ini sendiri," ucapku lebih pelan.
Arsen menatapku dalam. "Kau nggak perlu selalu urus segalanya sendiri, Sienna."
Aku menggigit bibir, merasa marah, frustasi, tapi di saat yang sama... ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku sulit membantah.
Aku nunduk, gigit bibir bawah biar air mataku nggak jatuh. Tapi ya tetap aja, sialnya, aku bukan tipe orang yang bisa marah lama-lama. Yang ada malah nangis.
Bahu sama dadaku naik turun pas isakanku mulai keluar. Aku benci ini. Benci banget. Benci karena nggak bisa marah ke Arsen dengan kata-kata yang nyelekit. Benci karena nggak bisa balas perbuatan Arsen dengan sesuatu yang lebih nyakitin. Yang bisa kulakuin cuma nangis.
Aku lihat Arsen gerak dari sudut mataku, kayak mau mendekat atau nyentuh aku. Tapi aku langsung mundur, bikin tangan Arsen yang terangkat jadi menggantung di udara.
"Aku nggak mau ngomong sama kau sekarang," ucapku, suara masih bergetar.
Arsen diem. Tatapannya masih nempel di aku, tapi nggak bilang apa-apa. Ada sesuatu di matanya—rasa bersalah? Atau malah nggak ngerti apa salahnya? Aku nggak peduli.
Tanpa tunggu reaksi Arsen, aku muter badan terus jalan ke kamar. Pintu kututup agak keras, nggak sampai banting, tapi cukup buat nunjukin kalau aku beneran kesel.
Aku sandarin badan di balik pintu, tarik napas dalam.
Kenapa sih harus kayak gini? Kenapa aku mesti kejebak di situasi absurd ini? Dan yang paling nyebelin... kenapa aku nggak bisa beneran marah ke Arsen? Kenapa justru rasanya lebih sakit daripada kesel?
...****************...
"Sienna, tolong…" suara Arsen udah mulai panik.
Aku tetep diam di ujung ranjang, punggung nempel ke kepala tempat tidur, tangan kupeluk di dada. Aku denger suara Nathan nangis makin kencang, tapi aku pura-pura nggak denger.
"Dia butuh kau," balasnya lagi, suara lebih lirih.
Aku melirik Arsen yang lagi gendong Nathan, maju-mundur sambil tepuk-tepuk punggungnya, tapi tetap aja anak itu nggak berhenti nangis.
"Dia anak kau. Kau yang nenangin," sahutku datar.
Arsen ngelirik aku, ekspresi udah mulai putus asa. "Sienna, dia nggak mau berhenti. Dia nyariin kau."
Aku mengalihkan pandangan, tetep kekeh nggak mau bergerak.
"Sienna, ayolah…"
Aku diem.
"Aku tahu kau masih marah, tapi ini Nathan. Dia nggak salah apa-apa," suaranya mulai lirih, ada nada putus asa di situ.
Aku ngepalkan tangan, nahan perasaan nggak jelas yang mulai ngaduk-aduk dadaku.
Nathan masih terus nangis. Arsen udah coba segalanya—gendong, ayun-ayun, kasih dot. Tapi tetep aja, dia nangis. Suara tangisannya makin serak, kayak udah kecapekan tapi masih nggak bisa berhenti.
Aku menghela napas panjang. Oke, aku nggak tega.
Aku geser sedikit, ngulurin tangan. "Sini."
Arsen buru-buru maju, naruh Nathan ke pelukanku. Begitu dia nempel ke dadaku, tangisannya mulai mereda, cuma tersisa isakan kecil di sela napasnya.
"Kau nggak becus banget jadi bapak." Aku ngelirik Arsen, nyengir setengah mengejek.
Arsen mengusap wajah, kelihatan capek tapi juga lega. "Dia udah terlalu lengket sama kau. Aku beneran nggak bisa apa-apa."
"Kau pikir aku bisa apa?" Aku mendesah, ngerasa sama putus asanya.
"Bisa. Kau bisa bikin dia tenang. Kau bahkan nggak ngapa-ngapain sekarang, tapi dia udah diem."
Aku terdiam.
Nathan udah mulai tenang, tapi tangannya masih ngegenggam bajuku erat, kayak nggak mau lepas. Aku usap pelan punggungnya, ngerasa dadaku mulai hangat.
Arsen duduk di tepi ranjang, tatapan masih tertuju ke aku dan Nathan.
"Sienna."
Aku ngangkat wajah, menatapnya.
"Aku tahu aku salah. Aku nggak mau ngelakuin kesalahan yang lebih banyak lagi," bisiknya pelan. "Aku mau perbaiki semuanya."
Aku nggak langsung jawab. Aku hanya menatap Arsen sedikit lama, berusaha mencari kebohongan di matanya.
Tapi anehnya… aku nggak nemuin apa-apa selain ketulusan.
.
.
.
Next 👉🏻