Gadis Desa yang memiliki kakak dan adik, tetapi dia harus berjuang demi keluarganya. Ayahnya yang sudah usia di atas 50 tahun harus dia rawat dan dijaganya karena ibunya telah meninggal dunia. Adiknya harus bersekolah diluar kota sedangkan kakaknya sudah menikah dan memiliki keluarga yang sedang diuji perekonomiannya.
Ikuti terus karya Hani_Hany hanya di noveltoon ♡♡♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hani_Hany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
Di pagi hari, Hasna terbangun lebih dulu. "Bangun sholat deh, lalu masak. Semoga masih ada beras." batinnya sambil turun dari atas ranjang menuju kamar mandi. Hari masih gelap, adzan subuh telah berkumandang.
Usai dengan kewajiban, Hasna mengecek lauk dari tante masih ada sisa semalam - sambal goreng tempe dan ikan goreng. Kemudian beralih pada beras. "Syukurlah masih ada." batinnya.
Hasna memasak beras, membersihkan dapur dan seluruh rumahnya. Meski hanya rumah sederhana tapi menyimpan banyak kenangan di masa kecilnya bersama keluarga.
"Ibu, semua sudah berubah. Rasanya masih ada ibu disini bersama kami, tapi ternyata semua tinggal kenangan." gumamnya pelan. Dia duduk di kursi andalan ibu di dekat jendela.
Hasna tersenyum mengingat kenangan indah itu. Tidak lupa Hasna selalu mengirimkan doa terbaik buat ibunda Ramlah ~ al-Fatihah.
Pukul 05.20 dia membangunkan sang adik untuk sholat. "De, bangun sudah subuh. Husna, bangun yuk." berulang kali dia bangunkan sang adik yang masih asyik dengan mimpinya.
"Hhmmm bentar." gumamnya pelan. Biasa di kota P, dia kalau dikasih bangun cepat bergerak. Karena nyaman, makanya dia betah di atas kasur andalan sejak kecil.
"Ayo bangun de, sudah pagi." panggil Hasna lagi.
"Iya kak." jawab Husna sambil mendudukkan dirinya dipinggiran ranjang.
"Jam berapa ini kak?" Tanyanya mencoba membuka matanya lebih lebar meski masih menyuap.
"Setengah enam, ayo cepat bangun. Keburu habis waktu subuh!" Ujar Hasna lagi. Dia menuju dapur melihat bahwa nasinya telah matang. "Untung masih ada rice cook er peninggalan ibu." Imbuhnya.
Dia mengambil ponselnya di kamar, duduk di samping jendela andalan ibu. Melihat orang yang berlalu lalang. "Loh, di rumah pak Ahmad apa ada orang? Kayak terang lampunya menyala." Ujar tetangga.
"Apa pak Ahmad pulang?" Tanya Mak Sulis ~ teman ibu Ramlah.
"Mungkin, atau anak-anaknya." Sahut yang lain. Mereka jalan kaki, entah mau kemana! Tapi dari penampilan seperti mau pengajian.
Memang di Kampung M ada pengajian rutin khusus membaca Kalamullah setiap sebulan sekali. Di rumah orang tertentu, seperti mengadakan arisan lalu di lot siapa yang dapat maka rumahnya yang akan di hadiri.
"Huft." Hasna mengeluarkan nafas berat, dia memainkan ponselnya sembari menunggu sang adik selesai dengan urusannya.
"Kak, sudah masak kah? Aku lapar lagi nih!" Panggil sang adik keluar dari dalam kamar.
"Ayo makan, baru kita mencuci." Jawab Hasna mengajak adiknya makan di dapur. Setelah makan berdua, Hasna dan Husna mencuci dengan berbagi tugas.
"Kamu menimba, biar kakak mencuci. Nanti kamu yang jemur ya!" Ujar Hasna.
"Kenapa saya dapat dobel kak, gak adil dong!" Seru Husna protes. Mereka bercanda, tertawa bersama, seolah semua baik-baik saja.
Usai dengan rutinitas mereka, tepat pukul 09.10 sang ayah datang. "Kalian kapan datang? Kenapa gak turun di rumah sana?" Cecarnya. Untung datangnya sendiri.
"Rumah kami disini ayah." Jawab Hasna santai. "Ayah sendiri saja? Gak ada niat gitu mama Tiri ikut?" Ujarnya ketus.
"Gak, ayah mau cek kebun dulu disini. Ternyata ada kalian!" Jawabnya ramah, ayah Ahmad sampai menghela nafas berat mendengar penuturan Hasna.
"Maaf kan ayah nak, kalian harus mengerti posisi ayah." Batinnya menatap kedua putrinya yang sibuk bercanda.
"Lihat ini de, lucu kan." Ucap Hasna memperlihatkan video lucu dalam ponselnya. "Ha-ha-ha iya kan?" Tanyanya lagi. Husna mengangguk saja membenarkan, sambil tertawa bersama.
"Nak, ayo ikut ayah kesana. Disini tidak ada makanan nak." Ajak sang ayah lembut. Usai dari kebun, ayah singgah ke rumah yang selama ini dia tempati bersama keluarganya.
Ayah harus pindah karena ternyata sang isteri tidak mau tinggal disitu. Alasannya karena di rumahnya lebih lengkap peralatan untuk memasak dan memang lebih luas.
"Gak ayah, kami disini saja dulu." Jawab Husna menolaknya. Ayah menghela nafas kasar.
"Sampai kapan kalian akan begini nak? Ayah telah menikah lagi, berarti dia juga ibu kamu. Ayo kesana kenalan dulu dengannya, ada juga saudara baru kalian." Ujarnya lembut tapi penuh tekanan.
Hasna dan Husna saling tukar pandang, lalu Hasna mengangguk. "Aku sih terserah kak Hasna." Gumamnya, padahal dalam hati mending di rumah saja.
Mau tidak mau akhirnya mereka berdua ikut dengan sang ayah ke rumah ibu barunya. Saat diperjalanan, mereka sempat turun karena ada jembatan yang cukup sulit untuk dilalui jika menaiki kendaraan.
"Kami turun saja ayah." Ujar Hasna dan disetujui oleh ayah Ahmad. Akhirnya Hasna dan Husna berjalan kaki menelusuri jembatan kayu.
"Nanti kita panggil dia Mami saja ya! Jangan ibu, okey." Ujar Hasna pada sang adik dengan berbisik. Husna mengangguk saja.
"Bagus. Ayo cepat! Ayah sudah menunggu." Ucap Hasna sambil berlari kecil bersama Husna. Usai dekat motor, mereka pun naik diboncengan ayah.
Ayah melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Setibanya di rumah mami tiri, Hasna dan Husna berkenalan lalu duduk di ruang tamu.
"Aku Hasna dan ini adik aku Husna." Ujarnya pelan. Ada senyum meski hanya dipaksakan. Mereka anak-anak yang baik, mungkin bagi mereka terlalu cepat ayahnya menikah lagi makanya belum dapat menerimanya dengan ikhlas.
"Nama saya Titik Saputri, anak pertama saya Widiarti Saputri, dan kedua Yusuf Saputra." Ujarnya lembut bak ibu yang baik di dunia.
"Kami sudah tahu." Jawab Hasna ketus. Mami Titik hanya menghela nafas panjang untuk mengontrol emosinya. Pertemuan pertama tapi sudah kurang baik, pikirnya.
"Anak-anak ini keras juga." Batinnya. "Kalau gitu ibu ke belakang dulu." Pamitnya meninggalkan kedua anak tirinya di ruang tamu tanpa menjawab.
"Ish, anak-anak itu. Untung saja suka sama ayahnya, kalau enggak! Mana mau aku punya anak tiri." Batinnya mengomel. Dia mengambil dua gelas teh dalam lemari pendingin di dapur untuk kedua anak barunya.
Tidak lupa membuatkan kopi buat ayah Ahmad yang sedang merapikan pakaian di dalam kamar.
Di ruang tamu anak-anak ayah Ahmad ngedumel. "Ibu kami hanya satu, dia itu mami saja." Omel Hasna diangguki oleh Husna. Dia memang tidak suka makanya mengikut saja kata sang kakak.
Sorenya mereka pamit pulang ke rumahnya. "Ayah, kami mau pulang!" Rengek Husna. Dia memang lebih suka di rumahnya.
"Bermalam disini saja nak! Di rumah tidak ada orang." Jawab ayah Ahmad.
"Kami akan tidur di rumah Mak Sulis ayah." Sahut Hasna cepat. Mereka masih sulit menerima keadaan ini. Menghindari lebih baik untuk sementara waktu.
"Semua butuh proses ayah, jangan langsung paksa kami buat menerima semua ini." Ucap Hasna lembut tapi nadanya penuh kekecewaan.
Helaan nafas berat keluar dari mulut ayah. "Baiklah, ayah akan mengantar kalian pulang kesana. Ayah yang akan bilang pada mak Sulis jika kalian akan menginap disana." Ujar ayah Ahmad lembut.
Akhirnya mereka pulang dengan bahagia, tidak lupa mami Titik membawakan bekal untuk makan sore dan sarapan. "Sabar yah! Anak-anak butuh waktu untuk menerima situasi ini." Ujar isteri barunya.
Ayah tersenyum. "Terima kasih sudah menerima mereka dan aku." Ujar ayah Ahmad lembut. Mami Titik mengangguk mantap.
semangat kak hani /Determined//Determined//Determined//Determined/