Rumah sudah kokoh berdiri, kendaraan terparkir rapi, tabungan yang cukup. Setelah kehidupan mereka menjadi mapan, Arya justru meminta izin untuk menikah lagi. Istri mana yang akan terima?
Raya memilih bercerai dan berjuang untuk kehidupan barunya bersama sang putri.
Mampukah, Raya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi putrinya? Apalagi, sang mantan suami hadir seperti teror untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Kecurigaan
Raya tidak bisa berbahasa Inggris. Ia hanya tahu beberapa kata umum, yang mungkin anak TK juga mengetahuinya. Ia menggerak-gerakkan bola mata, sembari merapatkan bibirnya. Canggung seperti orang bodoh.
"Kamu tidak mengerti?" tanya pria itu, dengan wajah yang tersenyum lebar, seperti siap menertawakan wanita didepannya.
Raya masih dengan pose yang sama, lalu menggelengkan kepala. Daripada sok tahu, ia lebih baik jujur. Mungkin, rasa malunya akan sedikit berkurang.
"Hahahaha .... Oh my goodness. You are so cute." Pasien itu berhenti terbahak, namun bibirnya masih setengah tersenyum. Retina coklatnya memperhatikan wajah polos dan kebingungan disana. "Name?" tanyanya lagi, sembari memegang bibir.
"Ah, nama saya Raya, Tuan." Raya langsung menjawab.
"Oh, kamu mengerti."
"Saya mengerti, Tuan. Hanya kata itu, yang saya tahu."
"Hahaha.... kamu lucu sekali, Raya."
Raya tidak mengerti, sebenarnya apa yang lucu. Namun, Ia tidak bisa berkata-kata selain diam. Hanya saja, wajah maskulin dengan garis rahang tegas, mata bulat bertahtakan lengkungan alis hitam dan tebal, yang terlihat sempurna. Raya terpana, namun segera tersadar di detik berikutnya.
"Mau tahu, nama saya?"
"Silahkan, kalau Tuan berkenan, memperkenalkan diri."
"Baiklah. Karena kamu lucu, panggil saya Aland."
"Baik, Tuan Aland. Maaf, saya harus kembali. Masih banyak yang harus saya kerjakan."
"Oke, see you."
Raya mendorong peralatannya, membersihkan sepanjang lorong depan kamar pasien. Mengelap kaca dan pintu. Ia membersihkan sebisa mungkin, karena merasa tidak enak, selalu terlambat dan rekannya yang harus melakukan jatah pekerjaannya.
Ada rombongan seragam putih, salah satu dari mereka menggunakan jas. Raya menepi, menundukkan kepala, membiarkan mereka lewat. Jarak satu meter, Ia menoleh, menatap dokter Adrian, yang berjalan bersama para perawat.
Sejak memberikan nomor ponselnya, dokter Adrian selalu mengirim pesan singkat. Menanyakan kabar dan kegiatan Raya. Kadang, ia membalas pesan, tapi lebih banyak mengabaikannya.
Mungkin, dia akan dicap wanita sombong atau jual mahal. Tapi, pikiran Raya berbeda. Tidak ada, pertemanan antara laki-laki dan perempuan. Sekalipun ada, mereka harus setara. Tidak mungkin, Ia menyapa sang dokter dengan seragam cleaning servicenya.
"Kenapa lama? Apa si bos mempersulitmu?" Dian mengikuti langkah Raya, menuju wastafel.
"Tidak. Aku membersihkan lorong," jawab Raya, selagi mencuci tangannya. "Oh, iya, Kak. Apa kamu pernah membersihkan kamar pasien bos?"
"Pernah. Tapi, kayak bikin trauma."
"Kenapa?" Raya melangkah keluar dan lagi-lagi, Dian mengikuti dari belakang.
"Dia kebanyakan diam, sekali bicara, aku tidak mengerti. Seperti kata kamu, dia tampan tapi tidak bisa didekati."
Raya teringat. Ia pernah membersihkan kamar Aland, di hari pertama ia bekerja. Saat itu, wajahnya tidak bersahabat, suara baritonnya seperti membuat tertekan. Namun, hari ini, pria itu berbeda.
"Kenapa?" tanya Dian, saat Raya terlihat melamun.
"Ah, tidak. Aku hanya lelah."
"Ayo, istirahat. Kita akan pulang malam. Oh iya, sepertinya aku tidak bisa memberikanmu tumpangan. Motor aku, masuk bengkel."
"Tidak apalah, Kak. Kita pulangnya tidak larut malam, masih banyak kendaraan umum."
Mereka berkumpul dalam ruangan yang tidak terlalu besar. Ada tiga buah kursi kayu, satu sofa single dan meja. Raya mengalah kepada rekan-rekannya dengan duduk diatas lantai dan meluruskan kedua kakinya.
"Akhirnya, aku bisa duduk dengan santai."
"Dingin, Ra. Ayo, sini gantian," ujar Lita.
"Tidak usah, Kak. Aku mau meluruskan kakiku. Dari semalam, aku mondar mandir di restoran, ditambah tadi pagi. Tidak lama, betis aku berotot."
"Hahaha... kamu bisa saja, Ra. Aku kagum dengan tekadmu. Semangat!"
Saat mereka bersantai sejenak, dokter Adrian muncul lengkap dengan jas putihnya. Ia membawa dua kantong kresek transparan.
"Dokter. Ada apa?" Mereka semua bangkit, termaksud Raya.
"Tidak. Ini buat kalian." Adrian meletakkan kantong kresek diatas meja. Matanya tertuju kepada Raya dan tentu saja, semua melihat itu.
"Terima kasih, dokter."
"Sama-sama. Saya permisi."
Bukannya membuka pemberian dokter Adrian. Mereka justru kompak menatap Raya, seolah meminta penjelasan. Karena selama bekerja, tidak seorang pun yang berinisiatif untuk membawakan mereka makanan. Apalagi dokter, yang statusnya penting bagi rumah sakit.
"Ra, benar kamu tidak ada hubungan dengan dokter Adrian?" tanya Lita dengan mata menyipit.
"Tidak ada, Kak. Saya baru mengenal dokter hari itu. Kenapa kalian curiga begini?"
"Ra, kami sudah lama bekerja disini. Dokter Adrian, bukan hanya tampan, tapi berasal dari keluarga konglomerat. Tipikalnya pendiam, cuek. Jangankan, memberikan kami makanan, tersenyum saja tidak pernah. Kami bukan ingin menghujat, tapi memberikan nasehat. Jika ada hubungan, sebaiknya kamu mundur. Banyak wanita ditempat ini, yang menginginkannya."
"Kak. Aku mengerti, kekhawatiran kalian. Tapi, aku cukup tahu diri. Aku tahu, posisi aku dimana dan dia dimana."
"Maaf, Ra. Jangan tersinggung. Ini demi kebaikanmu. Asal kamu tahu, banyak dokter wanita yang mendambakan dokter Adrian. Mulut bisa tertutup rapat, tapi tidak dengan sikap yang mereka tunjukkan."
"Aku tahu, Kak. Jangan khawatir."
Setelah drama wejangan, mereka ramai-ramai membuka bungkusan makanan dari si dokter. Makanan dengan paket lengkap. Nasi putih yang masih hangat, sayur warna warni, sambal dan ayam goreng.
"Ayo, kita makan. Rejeki jangan ditolak." Dian lebih dulu menikmati makanannya, disusul yang lain.
"Heran, sama si dokter. Padahal, banyak wanita seragam putih lalu lalang didepan dia. Tapi, tidak pernah direspon," ujar Lita dengan mulut penuh.
"Kalian tahu dari mana, kalau dokter Adrian punya banyak penggemar?" Raya menatap Lita. Diantara mereka, Lita yang paling lama bekerja disini.
"Ra. Aku kerja, pas baru lulus SMA sampai sekarang, aku sudah nikah. Dokter Adrian masuk, setelah dua tahun aku kerja. Bayangin, dokter muda, tampan dan kaya, paket komplit. Siapa yang tidak jatuh cinta. Apalagi, sifatnya yang dingin dan cuek. Dulu, ada yang pernah terang-terangan menyatakan cinta. Tapi, tidak digubris. Wanita itu seperti mahluk halus, tidak terlihat."
"Hahaha ...." Tawa mereka pecah, sebab Lita bercerita sembari menggerak-gerakkan tangannya.
"Jadi, Ra. Sebenarnya, dokter Adrian itu kenapa?" tanya Lita, seolah masih belum puas dengan jawaban Raya sebelumnya.
"Kenapa, apanya, Kak?"
"Pertama, ngasih vitamin, sekarang makanan. Caranya menatap kamu, itu berbeda. Ra, jangan bohong. Kamu sudah pernah menikah, pasti tahu tatapan pria jatuh cinta, itu seperti apa?"
"Kak. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Aku hanya ingin bekerja dan mengumpulkan uang. Hidupku sudah rumit dan tidak mau menambahnya lagi."
Yah, Raya hanya memfokuskan hidupnya untuk Lily. Ia tidak mau terlibat dengan urusan cinta lagi, setelah drama pernikahannya berakhir tragis. Apalagi dengan statusnya sekarang, tentu pihak laki-laki akan berpikir seribu kali. Masalah dokter Adrian, mungkin hanya mampir sejenak. Ia tahu pasti, pria sesempurna itu pasti akan mundur dengan teratur setelah mengetahui statusnya.
🍁🍁🍁
tidak mau memperjuangkan raya
bntar lg km ketemu sm laki2 yg tulus yg mampu bahagiakan km.
plg suka crita klo perempuannya tangguh & kuat