Bukan Gadis Biasa

Leona duduk di ayunan gantung yang ada di balkon kamarnya. Dia memandang hamparan taman di bawah kamarnya dengan bosan. Leona rasanya ingin melompat pagar dan berlari menuju ke perkampungan kumuh itu. Dia merindukan anak-anak didiknya.

"Duh, gimana ya agar bisa keluar." Leona mengetuk dagunya sambil berpikir.

Ting!!

Tiba-tiba Leona merasa ada lampu yang menyala di otaknya. Gadis itu segera berdiri. Dia masuk ke Walk in closet dan berganti baju. Leona memilih memakai kaos dan celana jeans panjang. Dia mengambil tas kecil dan memindahkan kartu, segepok uang tunainya serta ponsel miliknya.

Leona membuka pintu dengan hati-hati. Dia menyembulkan kepalanya, menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa tidak ada orang di sekitarnya. Senyum gadis itu mengembang tatkala dia tidak melihat siapapun ada di sana.

Leona berjalan mengendap-endap menuruni tangga. Dia mengumpat dan menyesali kenapa kamarnya harus berada di lantai atas.

Saat menuruni tangga, Leona terus menggerakkan kepalanya menoleh ke sana sini untuk memastikan tidak ada yang melihat dirinya. Sangking lamanya dia tinggal di luar, Leona mungkin juga lupa jika di seluruh kediamannya, terpasang banyak kamera pengawas. Leonard yang sedang duduk di ruang keluarga, serius mengamati layar laptopnya. Ia menggelengkan kepalanya sembari mendengus kesal sekaligus geli melihat sikap adiknya.

"Dasar kucing kecil nakal."

Leonard segera berdiri. Dia harus menangkap Leona, sebelum ancaman mamanya benar-benar dilakukan. Sementara itu, Leona mengusap dadanya lega, karena sejauh ini tidak ada satu pun orang terlihat. Leona saat ini berdiri di pintu samping taman, pintu itu terhubung dengan komplek sebelah. Biasanya para pekerja di rumahnya akan melewati pintu itu untuk membeli sesuatu.

Saat Leona hendak membuka pintu, tiba-tiba ....

GREP!

Leona tertarik mundur karena kerah kaosnya ditarik seseorang. Dia menoleh dan tersenyum kaku saat melihat kakak pertamanya berdiri di belakangnya dengan mata melotot.

"Mau kemana kamu? Dasar anak nakal."

"Abang, ih. Aku ga mau kemana mana. Aku cuma lagi ngecek pintu ini loh. Masih berfungsi apa engga." Leona bicara dengan bibir manyun. Leonard mendengus, mendengar alasan adiknya yang tidak masuk akal.

Tanpa banyak bicara Leonard mengangkat adiknya seperti karung beras. Leona berteriak, "Abang, turunin aku. Kepalaku pusing, Abang."

Beberapa pelayan mengintip tuan muda dan nonanya sambil tersenyum. "Rumah ini pasti bakal ramai lagi kalau nona tinggal di sini."

"Iya, kamu benar. Belum ada sehari saja, tingkah nona sudah bikin tuan Leo kesal."

"Benar."

Mereka semua melihat adegan itu hingga Leonard dan Leona menghilang masuk ke dalam mansion.

"Loh, Leo, ada apa ini?" Papi Sabara masuk dan melihat putri kecilnya dipanggul oleh Leonard.

"Papi, tolongin Leona. Abang jahat, Pi."

"Leo, turunin adek kamu, gimana kalau dia pusing."

Leonard mendudukkan Leona di sofa. Pria itu menatap Leona tajam. "Dia mau kabur lewat pintu taman, Pi. Suruh pak Parto buat ngunci pintunya. Jangan dipake lagi."

Papi Sabara menghela napas. Dia melihat wajah putrinya yang cemberut. "Sebenarnya kamu mau kemana, sih, Sayang?"

"Leona udah dua hari ga ketemu anak-anak. Leona kangen mereka, Pi."

"Kamu dua hari ga ketemu mereka aja udah kangen. Kamu ga tanya kakak kamu? Ga nanya ke papi, gimana kangennya kita sama kamu? Kamu udah hampir tiga bulan ga pulang ke rumah ini."

Leona menunduk sejenak dan lalu mengangkat kepalanya. Dia memperhatikan wajah papi Sabara dan Leonard. Gadis itu pun menghela napas panjang. Leona beranjak dari duduknya dan mendekati papi Sabara. Dia tiba-tiba bergelayut di lengan kokoh milik papinya.

"Ok. Ok. Aku janji ga akan kemana-mana. Jangan cemberut begitu, Pi."

"Begini kamu baru mau nurut." Papi Sabara menekan hidung mancung Leona. Leona terkekeh sembari mengusapkan kepalanya di lengan sang ayah.

Leonard menggelengkan kepalanya. Kekanakan begini, apanya yang menarik minat seorang Abizar Ghifari Widjaja? Leonard tidak habis pikir.

"Tuan, nona Leona sudah kembali bersama dengan kedua orangtuanya dan juga tuan muda Leonard."

"Hmm, suruh orang-orangmu di sana mengawasinya. Jangan sampai anak itu membuat ulah lagi."

Seorang pria tua yang masih tampan berdiri dengan penuh aura kepemimpinan. Dia sedang mengamati jalanan yang dipadati kendaraan. Mendengar laporan dari asistennya dia sedikit merasa lega.

"Tapi, Tuan, bagaimana dengan tuan Abizar?"

"Beri dia pelajaran. Beraninya dia mengincar cucuku yang berharga."

"Baik, Tuan." Setelah sang asisten undur diri. Pria tua itu memutar kursi kerjanya. Dia menatap ke arah pintu cukup lama dengan pandangan yang menerawang.

Baginya tidak ada pria yang sepadan untuk cucu perempuannya. Leona adalah cucu perempuan satu-satunya di keluarga Subroto. Maka dari itu, Leona begitu disayang, dimanja dan diratukan. Leona adalah keturunan perempuan yang amat langka. Karena sejauh sejarah di keluarga Subroto. Baru dua kali ini memiliki keturunan perempuan.

Dalam silsilah keluarga Subroto, keturunan perempuan itu istimewa, yang pertama ada almarhumah nenek Bethari, dia adalah kakak perempuan dari kakek buyut Leona, lalu selebihnya keturunan Subroto adalah laki-laki. Leona dulu juga diprediksi oleh dokter berjenis kelamin laki-laki. Karena lima keturunan asli keluarga Subroto semuanya hanya memiliki keturunan laki-laki, tapi siapa sangka, begitu dilahirkan Leona membuat kehebohan seluruh keluarga besarnya.

Sejak saat dilahirkan kedunia ini Leona menjadi putri kesayangan di keluarga besarnya dan mama Wulan menjadi menantu kesayangan karena berhasil melahirkan keturunan perempuan dan itu juga menjadi kebanggaan tersendiri bagi papi Sabara.

"Dua hari lagi kakek dan nenekmu akan berkunjung, papi harap kamu bersikap baik. Jangan membuat masalah," ucap papi Sabara.

Bola mata Leona membesar, dia tersenyum lebar. "Kakek dan nenek ke sini?"

Papi Sabara mengangguk. "Ya."

Leona terlihat senang. Sudah lama dia tidak bertemu dengan kakek dan neneknya. Leonard tersenyum tipis melihat adiknya tampak senang.

Malam harinya, mansion mewah keluarga Subroto tiba-tiba ramai. Leona yang baru bangun karena sempat tidur sore terkejut mendapati beberapa sepupunya datang. Saat melihat Leona di tangga, semua sepupunya langsung mengelilingi Leona.

"Leonku, Sayang."

"Singa betinaku."

"Oh, Leona, lama tidak berjumpa."

Leona menatap para sepupunya yang semuanya laki-laki dengan tatapan ngeri. Setiap bertemu dia pasti akan menjadi sasaran gemas mereka.

"Ka-kalian di sini?"

Wajah Leona yang cengo membuat semua sepupunya tertawa. "Yo, ada apa dengan wajah terkejutmu itu, Leon?"

Leona menoleh ke sumber suara. Dia melihat seorang pria muda seusia Alexiuz. Dia sepupu Leona yang paling usil, namanya Gio.

"Gio, kenapa kalian semua ada di sini?"

"Kami datang karena undangan kakek. Kakek bilang mau meminta pendapat kita soal pria yang akan menjadi jodohmu."

"Hah, apa?" Leona kali ini terkejut bukan main.