Raisa tidak menyangka jika neraka yang sekarang ia tempati jauh lebih menyeramkan dari neraka sebelumnya.
Ia tahu jika pernikahannya hanyalah sebuah untung rugi. Tapi dia tidak menyangka jika harga dirinya akan terkuras habis dihadapan suaminya.
Bagaimana kehidupan Raisa setelah menikah dengan pria yang sangat berkuasa di negeri ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sheisca_4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
"Dirga? Ada apa kau di sini? Kau tidak sekolah? Apa ada masalah?"
Raisa mentodong adiknya dengan pertanyaan. Dirga muncul tiba-tiba tanpa pemberitahuan bahkan adiknya itu tidak mengirim pesan terlebih dahulu.
"Aku sudah izin kak." Jawab Dirga yang tentunya berbohong.
"Kau pasti bohong."
Dirga menarik tangan Raisa menuju bangku yang di sediakan oleh pemerintah di pinggir jalan. Mengbaikan tuduhan dari kakak perempuannya. Raisa hanya pasrah saja saat tubuhnya di tarik begitu saja. Untung saja tempat ini cukup sepi meski di pinggir jalan juga.
"Kak Ica baik-baik saja kan?" Tanya Dirga dengan nada khawatir.
"Tentu saja. Aku baik-baik saja." Jawab Raisa dengan senyum cerah, berusaha menyembunyikan sedihnya agar Dirga tidak Khawatir.
"Dia tidak memukulmu atau memperlakukanmu dengan buruk kan?" Dirga menyetuh pipi Raisa, memeriksa leher kakak-nya, takut kalau jika ada tanda-tanda kekerasan di sana. Semuanya baik, tidak ada yang aneh pikirnya.
"Aku baik-baik saja Dirga. Beliau memperlakukanku sangat baik."
"Bohong!" Bantah Dirga dengan cepat.
"Sungguh! Kau jangan khawatir padaku. Aku bisa bertahan dengan baik meski aku tinggal di neraka sekalipun. Jadi Dirga kumohon jangan khawatirkan aku percayalah aku baik-baik saja. Kau lupa jika kakakmu itu strong woman. Sekolah yang bener, jangan banyak bolosnya. Kau sudah makan? Pasti belum ya, kau kabur dari rumah kan?"
Dirga cengengesan, "aku hanya ngga bilang saja. Bukan kabur." Belanya.
"Kak Ica sudah makan? Bagaimana dengan kuliah kak Ica? Kemarin aku ke sini tapi kakak tidak ada. Kata Jensil dia tidak tahu dan kakak tidak bisa di hubungi. Apa orang-orang di toko tidak mengetahuinya?"
"Tentu saja tidak. Kemarin Tuan Arga memintaku untuk di rumah saja. Katanya cuti pernikahan. Untuk kuliah kakak jangan khawatir kakak sudah semester akhir. Hanya butuh bimbingan saja."
"Aku hanya makan roti saja tadi, mau beli ketupat?"
"Hmm, boleh juga."
"Mang dua ya pedas."
"Siap neng."
"Kakak jangan khawatir aku akan belajar dengan keras supaya bisa masuk universitas terbaik dan mendapatkan beasiswa. Aku tidak mau lagi mengandalkan uang ayah. Aku ingin seperti kakak yang mandiri."
Raisa tersenyum bangga mendengarnya, "jangan terlalu membenci ayah ya Dek. Bagaimana pun dia ayah kamu."
"Tapi kali ini ayah sudah sangat keterlaluan Kak, tidak ada lagi yang harus kukagumi dari ayah. Dia tidak pantas untuk menjadi seorang ayah."
"Kau harus coba mengerti posisi ayah. Ayah melakukan ini untuk melindungi keluarga lain, aku tak apa berkoban sedikit untuk melindungi perusahaan. Kau lupa perusahaan itu sebagai simbol Bunda. Aku ikhlas melakukan ini, jangan terlalu menyalahkan diri kamu sendiri."
Dirga diam memakan ketupatnya, "Yang paling aku benci saat di rumah, ibu terlihat sangat senang kau pergi dari rumah. Bagaimana bisa seorang ibu bersikap seperti itu setelah menjual anaknya." Kesalnya.
"Kau tahu, ibu tidak menganggapku sebagai anaknya, aku hanya tiri Ga. Jangan hiraukan sikap dia. Aku tidak apa-apa." Raisa tersenyum lagi bersuha menunjukkan pada Dirga jika dia baik-baik saja.
Aaaa meski aku sudah tahu jika ibu seperti itu, tapi kenapa ya aku masih merasa sakit saja. Sudahlah, seharusnya aku bersyukur bisa keluar dari rumah itu. Setidaknya aku tidak lagi hidup di sekitar orang yang membenciku. Setidaknya keluarga Tuan Arga adalah orang asing baginya.
"Mbak Ica! Kemarin kemana, kau tidak bisa di hubungi telepon juga mati. Bikin khawatir saja." Ucap Jensil begitu Raisa masuk ke dalam toko. Raisa memilik 2 karyawan, yang satu bertugas di belakang, Romi namanya di jago masak.
Toko kue yang Raisa jalankan merangkap dengan Cafee selain stok segala macam Kue dia juga menyediakan cafetaria ala-ala.
"Aku sudah bikin laporan keuangan untuk kemarin Mbak bisa memeriksanya di email yang aku kirim. Lalu untuk bahan-bahan sudah aku catat bahan yang habis. Kemarin kita kewalahan Mbak, banyak yang datang. Stok bolu ulang tahun juga ludes. Untung saja ada Dirga." Jensil mengadu.
Astaga kasihan sekali adik-adik aku.
"Maafkan Mbak Sil, Mbak ada urusan mendadak kemarin. Kalian semua sudah bekerja keras. Aku akan mentraktir makan siang."
Mendengar kata traktir membuat Romi tertarik dia muncul dari arah dapur, "beneran ya Mbak? Asikkkk!"
Romi dan Jensil ini adik tingkatnya di kampus, karna punya latar belakang yang sama mereka jadi bersama dan saling support.
Raisa sangat bersyukur memilik mereka di tengah-tengah hidup yang sulit ini. Raisa ingat sekali bagaimana sulitnya kami berjuang mempertahankan toko ini. Bagaimana susahnya kita mendapat pelanggan. Rasanya masih sangat nyata.
"Tentu saja, kalian ingin makan apa?"
Romi dan Jensil berpikir sejenak lalu dengan kompak mereka berkata, "ayam Rechees satu ekor!"
Raisa tertawa kecil melihat kekompakan mereka, "hanya itu? Baiklah. Ayo kita bekerja sekarang."
"Baik Bu." Jawab keduanya kompak lagi.
"Mbak seriusan tidak mau bercerita apa yang terjadi kemarin, dua hari Mbak tidak masuk. Yang pertama Mbak izin dulu pada kami, lalu hari ke dua Mbak pergi kemana? Ada urusan apa hingga Mbak sulit dihubungi? Bahkan Dirga saja sampai mencarinya kemari?" Tanya Jensil yang kelewat kepo.
Memang di antara mereka berdua Jensil lah yang paling cerewet dan keingin tahuan nya sangatlah tinggi mungkin karena dia perempuan? Entahlah kenapa Jensil sangatlah kepo membuat Raisa kewalahan.
"Kenapa menghilangnya Mbak barengan dengan berita Tuan Arga menikah. Sungguh mencurigakan."
Deg!
"Kau menikah Mbak?!"
"Hahaha, Jensil! Bagaimana bisa kau mengucapkan kalimat mengerikan seperti itu? Aku menikah? Dengan siapa? Aku bahkan tidak punya pacar. Aneh sekali jika aku tiba-tiba menikah hahaha." Raisa tertawa canggung, dia menggaruk leher yang tak gatal.
"Tapi Mbak tahu kan, Tuan Arga, salah satu keturunan 9 naga di negeri kita menikah?!" Pekiknya dengan semangat.
"Ngga tahu. Siapa dia?"
"Masa sih Mbak ngga tahu? Dia itu keturunan konglomengrat, pemilik Wiguna Grup. Berita pernikahannya menjadi trending topik. Ada yang tidak menyangka jika Tuan Arga menikah dengan wanita lain, semua orang terkejut."
Wanita lain? Jadi sebelum itu Tuan Arga memiliki pasangan pengantin lain?
"Wanita lain? Tuan Arga berselingkuh?"
"Bukan! Sebelum Tuan Arga menikah dengan istrinya yang sekarang, dia sempat berpacaran dengan seorang model. Mereka Couple Goals karena cantik dan tampan."
"Tapi entah apa yang membuat mereka putus, sayang sekali padahal mereka sangatlah cocok."
"Aku kasihan dengan istrinya sekarang, beliau jadi di hujat. Tapi untungnya Tuan Arga mem-blur wajahnya mungkin Tuan Arga sudah mengira akan seperti ini ya? Aku penarasan wanita seperti bisa menaklukan hati Tuan Arga. Beliau pasti wanita yang hebat."
Raisa mengalihkan pandangnya ke arah lain, apa yang akan kau katakan jika wanita yang sedang kau bicarakan itu adalah aku? Apa kau akan mengutukku seperti wanita-wanita di luar sana?
"Kenapa hebat?"
Kau tahu Sil, Tuan Arga menikahiku karena sebagai penebus hutang. Aku bukan pemilik hati Tuan Arga. Aku lebih menyedihkan dari pada seorang pengemis di luar sana.
"Hebat lah karena beliau telah mencairkan bongkahan es yang sudah dibekukan."
"Hahaha kau ada-ada saja. Sudahlah kembali bekerja."
"Baik."
.
.
Raisa dan Romi sibuk membuatkan kue ataupun kopi pesanan pelanggan, dia sangat sibuk tidak menghiraukan ponselnya yang beberapa kali. Nama Jane yang tertera layar ponsel itu.
"Mau apa lagi sih dia? Paling mau minta uang." Gumannya mengbaikan deringan ponsel.
Dia mulai kesal karena Jane terus menghubunginya akhirnya dia angkat juga teleponnya.
"Kenapa?"
"Keluar aku di depan toko." Jane langsung mematikan telpon begitu saja. Sungguh tidak sopan.
"Dasar tidak sopan." Maki Raisa.
"Siapa Mbak? Jane kah?"
"Iya dia ada di depan, aku keluar sebentar ya Rom."
"Mau aku temani Mbak?" Romi khawatir jika Jane berbuat kasar pada Mbak.
Raisa tersenyum, "tidak perlu, Tolong bereskan ini saja ya Rom."
"Siap Mbak."
"Mbak! Ada mobil Jane di depan." Ucap Jensil memberitahu ketika Raisa muncul dari dapur.
"Iya aku tahu."
"Mau apa lagi dia Mbak?" Jensil tahu adik tiri Mbak Ica yang perempuan itu jahat apa Mbak-nya. Dia juga ikut membenci Mbak.
"Aku temani ya Mbak."
"Tidak perlu Sil, lagian ini di tempat umum mana mungkin dia berani berbuat kasar di tempat umum."
"Tapi..."
"Tidak apa-apa, kau layani saja pelanggan ya. Aku hanya sebentar."
Saat keluar toko Raisa melihat sebuah mobil terparkir. Itu mobilnya Jane. Dia langsung masuk ke dalam mobil itu, duduk dan belum bicara apa-apa.
"Kau masih bekerja di tempat kumuh itu? Padahal kau sudah menikah dengan konglomengrat. Bodoh sekali malah mempersulit hidup di tempat kumuh itu. Kau dicampakkan oleh suamimu kan? Makanya kau masih bekerja."
Dia ngomong apasi? Ke sini hanya untuk maki-maki ngga jelas. Buang-buang waktuku saja.
"Ada apa? Aku sangatlah sibuk untuk mendengar omonganmu yang sangat tidak berguna ini."
Jane melirik tajam, semakin kesal karena Raisa sudah berani membalas.
"Kau jadi berani setelah menikah. Kenapa? Kau merasa punya nyali sekarang setela menikah dengan orang yang berpengaruh?"
"Kenapa? Kau iri?"
"Kenapa aku harus iri pada wanita menyedihkan seperti kau? Aku ke sini untuk memita hak ku."
Hak yang di maksud Jane adalah uang yang wajib Raisa berikan sebagai bayaran karena telah hidup di rumah mereka.
Perkataan Jane membuat Raisa ingin tertawa, betapa tidak tahu malunya wanita di sampingnya ini.
"Kau lupa? Aku sekarang tidak lagi tinggal rumah itu. Aku tidak akan memberikanmu uang sepeser pun. Apa? Kau mau mengancamku dengan apa? Mengancamku akan mengadukanku pada ibumu? Itu sudah tidak mempan. Aku tidak peduli lagi, aku sudah keluar dari rumah kalian."
"Kau!? Beraninya kau!"
"Apa? Uang dari ayah masih tidak cukup sehingga kau ngemis-ngemis padaku? Bagaimaa kalo kau meminta ayah untuk menjualmu pada konglomengrat juga."
Raisa melihat adiknya itu mengepalkan kedua tangannya.
"Jangan pernah menemuiku untuk hal seperti ini, aku sangat sibuk."
Setelah mengatakan itu Raisa keluar menutup pintu dengan keras membuat Jane terjengkit kaget. Raisa tidak seperti sebelumnya, jika di masa lalu dia nurut-nurut saja. Sekarang tidak, dia tidak akan membiarkan dirinya di rendahkan siapapun lagi. Cukup muak selama ini hanya diam dan menerima perlakuan buruk mereka.
"Sial, aku bahkan kalah adu mulut dengannya sekarang."
.
.
"Bagaimana? Kau tidak apa-apa Mbak?" Jensil menghampiri Raisa dengan raut wajah khawatir. Jensil ini memang sedikit lebay.
Apasi. Aku hanya pergi menemui adik tiriku. Kenapa kau bereaksi berlebihan gitu.
"Aku tidak apa-apa. Kembali lah bekerja Sil."