Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.
Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...
Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AJAKAN
Arum baru saja selesai mandi, kesegaran air masih terasa di kulitnya ketika suara riuh rendah dari luar memecah keheningan pagi. Jantungnya berdegup kencang, rasa penasaran bercampur sedikit khawatir mendorongnya untuk segera berpakaian. Dengan gerakan tergesa, ia meraih pakaian yang pertama kali terlihat dan mengenakannya.
"Siapa yang datang pagi-pagi begini?" Gumamnya seraya melangkah menuju pintu.
Saat pintu terbuka, matanya langsung terpaku pada sosok yang berdiri di hadapannya. Langit, dengan senyum cerah menghiasi wajahnya, melambaikan tangan.
Arum tersentak. Dadanya bergemuruh. Pria itu kembali lagi, setelah semua yang terjadi kemarin malam masih menyisakan kenangan yang belum ia tata apik dipikirannya. "La-Langit..."
"Hai." Sapa Langit, hangat. Matanya menyapu Arum dari atas kepala hingga ujung kaki.
Di mata Langit, Arum memang definisi dari keindahan yang sederhana. Bahkan dalam balutan piyama tidur yang sederhana, tanpa sentuhan riasan yang menghiasi wajahnya, Arum tetap memancarkan pesona yang tak terbantahkan. Rambutnya yang sedikit basah, sehabis mandi, menambah kesan alami yang begitu memikat.
"La-Langit?" Lirih suara itu mengejutkan.
Langit berdeham, seakan memecah setengah lamunannya sendiri. "Hari ini kebetulan hari minggu. Kamu juga libur, kan?"
"Iya." Angguk Arum. "Kenapa?"
"Maaf gak hubungi kamu dulu sebelumnya. Gimana kalau kita jalan hari ini?"
Kalimat itu bagaikan siraman air sejuk di tengah dahaga. Ucapan Langit menghantam Arum dengan gelombang kebahagiaan yang tak terduga. Senyum yang selama ini berusaha ia tahan, kini menyeruak tanpa bisa dicegah. Bibirnya tertarik ke atas, membentuk lengkungan sempurna yang memancarkan harapan.
"Gimana?" Tanya Langit, memastikan.
"Iya. Aku mau." Angguk Arum cepat, sebelum pria itu berubah pikiran.
"Ya udah, kamu ganti baju dulu gih! Gak mungkin, kan... aku bawa kamu dengan piyama seperti ini."
Arum terkekeh dengan anggukkan. "Aku siap-siap dulu."
Langit mengangguk, "Aku tunggu kamu di sini aja."
Tanpa menunggu lebih lama, Arum berbalik, membiarkan senyumnya mengembang bebas tanpa kendali. Begitu pintu tertutup, ia bersandar sejenak, merasakan punggungnya menempel pada permukaan kayu yang dingin. Matanya terpejam, menikmati setiap detik kebahagiaan yang meluap-luap dalam dirinya.
Kemudian, dengan langkah ringan, ia menjauh dari pintu dan mendongak menatap langit-langit rumahnya. Senyumnya semakin membuncah, seolah ingin menembus batas ruang dan waktu. Arum merasa seperti remaja yang baru pertama kali jatuh cinta, penuh dengan gejolak emosi yang membahagiakan, penuh perasaan yang lebih sekedar dari harapan semata.
Namun, tanpa sepengetahuan Arum, dari balik kaca jendela, Langit masih berdiri di sana, mengamati setiap ekspresi yang terpancar dari wajahnya. Ia melihat senyum itu, senyum yang begitu tulus dan mempesona. Senyum yang membuat hatinya berdesir.
Langit pun tak bisa menahan diri untuk tidak ikut tersenyum. Ia mendesis pelan, "Sebahagia itukah kamu bersamaku, Arum?"
Langit berbalik, napasnya terhela cukup dalam, menghirup udara yang belum tercampur polisi. Matanya memandang langit, menatap ke arah cahaya matahari yang masih malu-malu menampakkan kehangatannya. Mulai saat ini, dalam hatinya, ia berjanji akan melakukan segala yang mungkin untuk menjaga senyum itu tetap menghiasi wajah Arum. Karena baginya, kebahagiaan Arum adalah kebahagiaannya juga.
Lima belas menit berlalu. Pintu rumah itu kembali terbuka, dan Arum muncul dengan penampilan yang berbeda dari sebelumnya. Ia mengenakan dress sederhana berwarna lembut yang pas di tubuhnya, tidak berlebihan namun tetap menonjolkan sisi feminimnya. Dress itu cukup panjang menutupi lututnya, dengan potongan lengan pendek yang rapi, menghadirkan kesan santai namun tetap elegan.
Sementara, rambutnya ditata rapi, dibiarkan tergerai alami dengan sedikit gelombang lembut, menambah kesan manis tanpa perlu aksesori berlebihan. Wajahnya dihias riasan tipi, seperti bedak ringan, sedikit blush on di pipi, dan lipstik nude yang membuatnya tampak segar namun tetap natural. Matanya juga tampak lebih cerah, tanpa riasan mata berat, cukup maskara tipis yang mempertegas bulu mata lentiknya.
Terakhir, di kakinya, ia mengenakan flat shoes polos berwarna netral, nyaman dan sederhana, yang cocok dengan keseluruhan penampilannya—tetap anggun, namun jauh dari kesan berlebihan atau formal.
Langit terpaku. Pandangannya tanpa sadar tertuju pada Arum. Matanya membesar sedikit, seakan sulit mempercayai perubahan yang begitu halus namun menawan itu. Ia tak berkata apa-apa, hanya menelan ludah dan mengalihkan pandangan sesaat ke lantai, sebelum akhirnya menatap kembali Arum dengan mata yang sedikit berbinar.
"Kita pergi sekarang?" Kata Arum mengejutkan.
Ada rasa hangat yang menyusup ke dadanya—campuran kagum, canggung, dan sesuatu yang lebih sulit ia definisikan. Senyum Arum, sederhana namun tulus, seolah menariknya keluar dari keraguannya.
Hening sebentar mengisi keduanya, hanya suara napas mereka yang terdengar. Arum menyadari tatapan Langit, ia hanya menundukkan kepala sedikit dan tersenyum lebih lembut, memberi ruang bagi momen itu untuk bernapas.
“Ayo,” Ajak Langit kemudian, suaranya pelan namun mantap. Jemarinya terulur ke arah Arum, sebuah undangan sederhana namun sarat makna.
Arum menatap tangan itu sesaat, senyum tipisnya tak pernah luntur. Perlahan, ia meraih jemari Langit, terasa hangat saat jari mereka bersentuhan. Sentuhan itu singkat, namun cukup untuk membuat udara di antara mereka terasa berbeda—lebih ringan, namun sarat ketegangan yang manis.
****