NovelToon NovelToon
Jodoh Ku Sepupuku

Jodoh Ku Sepupuku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Keluarga / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Ann,,,,,,

Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.

Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.

Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.

Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kedatangan paman Rusdi

“Assalamualaikum, Ann… Bian… Ayyan… Nenek datang,” seru Mace Nuri dengan suara lantang begitu aku membuka pintu.

Aku melongo sesaat.

Bian dan Ayyan yang tadinya duduk manis di meja makan langsung menoleh bersamaan.

“Nenek!” teriak Ayyan riang.

Bian ikut berdiri, matanya membulat kaget tapi wajahnya langsung berubah senang.

Mace Nuri sudah lebih dulu nyelonong masuk tanpa menunggu dipersilakan, khas beliau banget. Ia membuka tangan lebar-lebar.

“Sini… sini ke nenek,” panggilnya.

Kedua bocah itu langsung berlari menghampiri, memeluk Mace bergantian. Suasana yang tadinya tegang mendadak hangat—setidaknya di ruang tamu.

Sementara itu…

“Lo, Alif,” suara Om Rusli terdengar berat dari ambang pintu. “Kok kamu di sini?”

Tatapannya tajam, penuh selidik. Tatapan khas orang yang sudah terlalu sering menghadapi medan perang—dingin, terukur, dan bikin nyali menciut.

Aku menelan ludah. “Hehe… itu… panjang ceritanya, Om,” jawabku sambil nyengir, refleks bertahan hidup.

Om Rusli melangkah masuk, matanya menyapu seisi rumah—meja makan, piring-piring yang masih terisi, laptop di meja bar, sampai apron yang masih kupakai.

“Anna ke mana?” tanyanya lagi, kali ini nadanya lebih rendah, tapi justru itu yang bikin merinding.

Aku melirik ke arah anak-anak yang masih dipeluk Mace Nuri. “An… keluar sebentar, Om. Dari pagi,” jawabku hati-hati.

Mace Nuri mengusap kepala Ayyan, lalu menoleh ke arahku. “Kamu yang masak?” tanyanya heran.

“Iya, Mace,” jawabku cepat.

Beliau mengangguk pelan, tapi aku tahu…

kedatangan mereka bukan cuma buat makan siang.

Dan firasatku benar.

Ini bukan kunjungan biasa.

Aku segera mengajak Om Rusli dan Mace Nuri makan siang sekalian. Daripada suasana makin kaku, lebih baik perut diisi dulu—itu prinsip hidupku.

Setelah makan, mereka pindah ke ruang keluarga. Mace Nuri mengeluarkan oleh-oleh khas Papua dari tas besar yang dibawanya—kue dan camilan tradisional—lalu membagikannya pada Bian dan Ayyan.

“Ini buat kalian,” ucap Mace lembut.

Ayyan langsung bersorak kecil, sementara Bian menerima dengan sopan, matanya berbinar meski tetap kalem. Dua karakter, satu ibu—ajaib memang.

Aku?

Tentu saja beres-beres.

Nggak mungkin aku duduk manis sementara rumah berantakan. Bisa-bisa nanti Anna pulang dan aku yang diberesin, bukan rumahnya. Apalagi kalau dia lihat kondisi dapur atau ruang makan—wah, tamat riwayatku.

Aku mengelap meja, menyusun piring, memastikan semuanya rapi.

Dalam hati aku sempat nyeletuk: Rumahnya aja berantakan, apalagi hidupnya—

“Astaghfirullah,” gumamku cepat.

Aku langsung menepuk mulut sendiri.

“Ngaco lo, Lif,” bisikku. Kadang mulut sama pikiran memang suka jalan duluan tanpa izin otak.

Setelah semuanya kembali rapi, aku menghampiri Om Rusli dan Mace Nuri yang duduk di sofa ruang keluarga. Mereka memperhatikan Bian dan Ayyan yang sedang menikmati kue khas Papua dengan lahap.

Aku berdiri tak jauh dari mereka, menyandarkan tubuh sebentar di sisi sofa.

Melihat dua bocah itu tertawa kecil, aku tiba-tiba sadar—

di balik semua keruwetan orang dewasa, anak-anak ini cuma ingin satu hal: rumah yang aman.

Dan entah kenapa, aku merasa…

percakapan berat akan segera dimulai.

 

“Lif, sini duduk,” panggil Om Rusli.

Nada suaranya tenang, tapi justru itu yang bikin jantungku nyaris copot.

Aku menelan ludah, lalu menurut. Kakiku melangkah ke sofa tunggal di dekatnya. Begitu duduk, punggungku refleks tegak—kayak prajurit siap diperiksa komandan. Tanganku bertumpu di lutut, kaku.

Aku menarik napas dalam-dalam.

Satu kali.

Dua kali.

Rasanya oksigen yang masuk tetap kurang.

Ini pasti soal Anna…

Pasti.

Keringat dingin mulai muncul di tengkuk. Otakku muter ke mana-mana.

Haruskah aku jujur?

Kalau aku jujur, apa aku melanggar kepercayaan Anna?

Tapi kalau aku diam, apa aku ikut menyembunyikan luka keponakan sendiri?

Anna, kamu di mana sih… pulang dong, umpatan itu bergema di kepalaku.

Dasar sepupu nyebelin. Datangnya selalu pas gue udah siap ribut, tapi ngilang pas gue butuh tameng.

Aku melirik sekilas ke arah Bian dan Ayyan. Mereka masih asyik dengan kuenya, tertawa kecil—tak tahu apa-apa tentang badai yang mungkin akan pecah sebentar lagi.

Dadaku makin sesak.

Aku kembali menatap lurus ke depan, berusaha terlihat santai. Padahal dalam hati aku sudah siap menerima apa pun—dimarahi, diinterogasi, atau bahkan ditendang keluar rumah.

Tenang, Lif, kataku pada diri sendiri.

Lo bukan bocah lagi. Lo cuma abang sepupu yang kebetulan terlalu peduli.

Dan aku tahu,

apa pun yang akan Om Rusli tanyakan setelah ini…

nama Anna pasti akan disebut.

“Alif, kamu mau bicara,” ucap Om Rusli pelan, “atau Paman yang mulai?”

Nada suaranya datar. Terlalu datar.

Dan justru itu yang bikin bulu kudukku berdiri semua.

Seketika rasanya tulang-tulang di tubuhku melemas. Lututku hampir nggak punya tenaga, padahal aku cuma duduk. Satu pertanyaan sederhana dari paman—tapi efeknya kayak vonis.

Om Rusli memang begitu. Wajahnya keras, sorot matanya tajam, auranya… beda. Galak? Iya. Tapi aku tahu, di balik itu semua, dia orang yang baik. Hanya saja, kebaikannya datang dalam bentuk yang bikin nyali orang ciut duluan.

Aku menarik napas, bersiap membuka mulut.

Dan tepat saat itu—

Pintu terbuka.

Anna berdiri di sana.

Semua mata otomatis tertuju padanya.

Raut wajahnya merah, matanya sembap, seperti baru saja menangis—atau menahan tangis terlalu lama. Bahunya sedikit turun, tapi langkahnya tetap tegak. Kuat, tapi jelas lelah.

Dadaku mencelos.

An…

Situasi ini…

kayaknya bukan cuma butuh penjelasan.

Ini butuh pemadam kebakaran.

Aku menoleh sekilas ke Om Rusli, lalu ke Mace Nuri. Aura ruang keluarga berubah seketika—tegang, berat, seolah udara ikut menahan napas.

Anna melangkah masuk, menutup pintu perlahan di belakangnya.

Dan aku tahu,

kehadirannya barusan bukan sekadar datang tepat waktu.

Ini adalah awal dari percakapan yang tak bisa lagi ditunda.

1
Dew666
🍭🔥
Ann: terimakasih banyak 🙏🙏🙏
total 1 replies
DEWI MULYANI
cerita sebagus ini kok gak ada yg baca sih
semangat thor
Ann: terimakasih 🙏🙏🙏
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!