Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak 17: Meja Makan yang Panas
BRAAK! BRAAK! BRAAK!
Suara gedoran pintu itu bukan lagi sekadar ketukan, melainkan dentuman yang seolah ingin merubuhkan pertahanan kamar Aini. Diiringi teriakan melengking yang menusuk telinga, Aini tersentak bangun dengan napas memburu.
"Aini! Bangun kamu! Matahari sudah mau tenggelam, kamu malah asyik mimpi jadi nyonya besar? Cepat keluar!" teriak Ibu Sarah dari balik pintu. "Kamu niat jadi menantu nggak sih? Bapakmu sama Varo sebentar lagi lapar, jangan manja jadi perempuan!"
Aini mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengusir sisa kantuk yang kini berganti menjadi rasa muak yang mendalam. Ia melirik jam dinding baru jam empat sore. "Berisik banget, kayak nggak ada hari esok saja," gumam Aini ketus.
Ia beranjak dari kasur, merapikan jilbabnya sekilas, lalu membuka pintu. Di depannya, Ibu Sarah sudah berdiri dengan tangan di pinggang dan wajah yang merah padam.
"Bagus ya! Pagi tadi keluyuran sampai sarapan berantakan, sekarang sore-sore begini malah enak-enakan molor? Kamu pikir rumah ini hotel?!" semprot Ibu Sarah tanpa jeda.
Aini menatap mertuanya dengan tatapan datar yang sangat dingin.
"Baru jam empat, Bu. Mas Varo juga belum pulang. Kenapa harus seheboh ini?"
Mata Ibu Sarah melotot lebar, kaget mendengar nada bicara Aini yang tak lagi lembut.
"Heh! Kamu jangan mulai kurang ajar ya, Aini! Ibu perhatikan sejak kemarin kamu sudah mulai berani nyahut-nyahut. Kamu mau pamer taring di depan Ibu? Ingat ya, kamu itu cuma numpang di rumah anak saya!"
Aini tidak ingin membuang energi untuk debat kusir yang tidak berujung. Ia melangkah melewati mertuanya begitu saja menuju dapur.
"Heh, mau ke mana kamu?! Ibu belum selesai bicara!" Ibu Sarah berteriak, suaranya menggema ke seluruh ruangan.
Aini berhenti sejenak, memutar tubuhnya perlahan.
"Tadi Ibu nyuruh aku masak, kan? Ya ini aku mau ke dapur. Apa Ibu mau aku diam di sini dengerin Ibu ngomel sampai kita semua kelaparan? Kalau mau aku masak, ya biarkan aku lewat."
Ibu Sarah ternganga. Keberanian Aini yang tenang itu justru terasa jauh lebih menyakitkan daripada bentakan. Ia merasa harga dirinya sebagai penguasa rumah mulai digerogoti.
"Dasar menantu nggak tahu diuntung!" umpatnya, sementara Aini sudah menghilang di balik pintu dapur.
Di dapur, Aini mulai memotong sayuran dengan gerakan mekanis. Pikirannya melayang pada rekaman semalam.
"Aku malas sebenarnya masak buat kalian. Mau masak enak pun, mulut kalian tetap saja tajam. Selalu dibilang masakan kampungan atau kurang bumbu, tapi piring kalian selalu licin tanpa sisa," batin Aini sinis.
Setelah satu jam berkutat dengan panasnya kompor, Aini menyajikan menu yang sangat sederhana yaitu Tumis Kangkung dan Tempe Goreng garing. Benar-benar tanpa daging, tanpa telur, bahkan tanpa kerupuk.
"Selesai. Mau kalian makan atau tidak, aku tidak peduli. Untuk kali ini, jangan harap satu rupiah pun dari tabunganku keluar untuk menambal ego kalian," gumam Aini sambil menata piring di meja makan.
Selama bertahun-tahun, Aini diam-diam menggunakan uang hasil usahanya untuk memastikan meja makan selalu penuh makanan enak karena uang satu juta dari Varo tidak pernah cukup. Tapi sekarang, Aini bersumpah akan membiarkan mereka merasakan realita hidup dengan uang pas-pasan tersebut.
Malam harinya, meja makan berubah menjadi area pertempuran yang sunyi namun panas. Aini sudah duduk lebih dulu, matanya fokus pada layar ponsel, benar-benar mengabaikan Ibu Sarah yang sudah duduk di depannya dengan wajah ditekuk.
"Masak apa kamu?" tanya Ibu Sarah dengan nada bicara yang sangat meremehkan.
"Lihat saja sendiri, Bu. Matanya kan masih sehat, tidak perlu aku bacakan menunya, kan?" jawab Aini tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
"Aini! Kamu benar-benar keterlaluan! Kalau bicara sama orang tua itu lihat wajahnya! Mana sopan santun yang selama ini kamu banggakan?!" bentak Ibu Sarah sambil menggebrak meja.
Aini hanya mengangkat bahu pelan, ekspresinya tetap lempeng. Tak lama kemudian, Varo muncul dari kamar setelah mandi. Ia tampak sangat lapar dan langsung menarik kursi.
"Wah, sudah kumpul semua? Lapar banget nih habis... eh?" Varo terdiam saat membuka tudung saji. Ekspresi cerianya langsung amblas berganti wajah masam.
"Astaga, Ai... Masak apa ini? Kok cuma kangkung sama tempe lagi? Kamu sengaja ya?"
"Iya tuh, Varo! Ibu sudah bilang, istrimu ini memang niatnya menyiksa kita. Pagi dikasih nasi uduk seribuan, malam cuma dikasih makan rumput!" timpal Ibu Sarah, memanaskan suasana.
Cilla yang duduk di samping Varo pun ikut mengeluarkan suara manjanya yang dibuat-buat.
"Iya nih, Mbak Aini... aku kan butuh banyak nutrisi sekarang. Masak cuma kangkung? Nanti anak di kandungan aku... eh maksudnya, nanti aku jadi lemas Mbak kalau kurang protein," ucap Cilla hampir keceplosan, wajahnya sempat pucat sesaat namun segera ia kuasai.
Aini meletakkan ponselnya pelan, lalu menatap mereka satu per satu dengan senyum tipis yang meremehkan.
"Kalau kalian nggak selera, ya jangan dimakan. Gampang, kan? Nggak perlu pake marah segala."
Varo menggebrak meja dengan keras.
"Kamu jangan ngelunjak ya, Ai! Aku ini suamimu, aku yang kasih kamu makan! Kalau caramu melayani seperti ini, jangan harap bulan depan aku kasih uang bulanan lagi!"
Ibu Sarah dan Cilla langsung tersenyum miring, merasa di atas angin karena Varo membela mereka.
"Benar itu, Varo! Jangan kasih uang lagi ke istri yang nggak becus ini. Lebih baik uangnya kasih ke Ibu saja, biar Ibu yang kelola. Ibu jamin tiap hari kita bakal makan rendang!" seru Ibu Sarah bersemangat.
"Iya Mas, mending kasih ke Ibu aja. Aku yakin Ibu lebih pinter atur uang daripada Mbak Aini yang kayaknya emang nggak niat ngurus kita lagi," tambah Cilla, ulat bulu itu mulai beraksi.
Aini justru tertawa kecil. Suara tawanya terdengar sangat mengerikan di telinga Varo. "Oke, siapa takut? Dengan senang hati, Mas," sahut Aini dengan nada tinggi.
"Mulai bulan depan, jangan kasih aku sepeser pun. Berikan saja semua uang sejuta itu ke Ibu, atau ke Cilla, adik 'kesayangan' kamu itu. Aku mau lihat sehebat apa kalian bertahan hidup sebulan penuh dengan uang segitu tanpa bantuan uang pribadiku."
Varo terkesiap. Gertakannya ternyata tidak mempan. Justru dia yang merasa terpojok, apalagi saat Aini menyebut 'adik kesayangan' dengan nada penuh sindiran. Jantung Varo rasanya mau melompat keluar. Apakah Aini sudah curiga?
"Kok Mbak ngomongnya gitu?" tanya Cilla dengan suara gemetar, mulai merasa terancam.
"Loh, bukannya itu yang kalian mau? Silakan, Bu. Ambil alih semuanya. Aku malah bersyukur, beban pikiranku hilang satu," Aini berdiri, mengangkat piring kotornya tanpa peduli pada mereka yang masih mematung.
Ibu Sarah mendengus sombong meski dalam hati ada sedikit rasa ragu.
"Oke! Lihat saja nanti, Ibu bakal buktiin kalau Ibu jauh lebih pintar mengelola uang itu daripada kamu!"
Aini hanya tersenyum sinis di balik punggung mereka. Ia tahu persis, dalam waktu seminggu, uang sejuta itu pasti akan ludes di tangan mertuanya yang boros itu.
Malam semakin larut, Aini sedang merapikan tempat tidur saat Varo masuk ke kamar dengan wajah gelisah.
"Kamu tadi dari mana saja, Mas? Tumben hari libur baru pulang sore begini," tanya Aini telak saat Varo baru saja menutup pintu.
Varo tampak gelagapan, ia buru-buru melepas kemejanya.
"Ya... pergi main lah. Bosan di rumah terus."
"Sama siapa? Biasanya Mas lebih milih tidur seharian daripada keluar rumah. Mas selalu bilang keluar rumah itu cuma buang-buang uang, kan?" sindir Aini tajam.
"Sama teman kantor! Kamu jangan mulai curigaan ya, jadi istri itu yang tenang, jangan kayak detektif!" jawab Varo ketus, lalu segera menghilang ke dalam kamar mandi untuk menghindari interogasi Aini.
Aini menarik napas panjang. Ia teringat kejadian sore tadi saat mencari Cilla. Cilla tidak ada di kamar. Ia pun sempat bertanya pada Pak Wijaya yang sedang menonton TV.
"Pak, lihat Cilla?" tanya Aini sore tadi.
"Cilla keluar dari siang tadi pakai mobil Varo, katanya mau cari angin sama Varo. Bapak juga nggak tahu mereka ke mana," jawab Bapak Wijaya polos.
Aini mengepalkan tangannya kuat-kuat. Kebohongan Varo sudah berada di level yang menjijikkan. Mereka keluar bersenang-senang seharian sementara ia ditinggal sendirian mengurus rumah.
"Silakan kalian puas-puaskan waktu kalian sekarang. Karena begitu kejutan dariku datang, kalian semua nggak akan pernah punya muka untuk tertawa lagi," gumam Aini pelan sambil menatap bayangannya di cermin. Matanya memancarkan api dendam yang sudah siap membakar segalanya.
BERSAMBUNG...