Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Di Bawah Dua Langit, Satu Takdir
Pagi itu, langit masih gelap.
Elvara duduk di tepi ranjang, menahan napas saat rasa tak nyaman menjalar dari perut ke pinggang. Awalnya ia mengira hanya kelelahan. Namun rasa itu datang lagi. Lebih kuat. Lebih teratur.
Jemarinya menggenggam sprei.
“Ibu…” suaranya bergetar.
Elda yang kebetulan melintas di depan kamar langsung menoleh. Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu. Wajahnya berubah saat melihat ekspresi putrinya.
“Vara… kamu mau lahiran?”
Elvara hanya mengangguk, rahangnya mengeras menahan nyeri. Satu tangannya mencengkeram selimut, satu lagi menekan perutnya.
Tak lama kemudian, mereka sudah berada di dalam mobil, melaju menuju rumah sakit terdekat di negeri asing itu.
Udara dingin. Lampu kota berselimut kabut pagi tampak kabur di balik kaca. Elvara memejamkan mata, menahan kontraksi yang datang tanpa ampun.
Di saat yang hampir bersamaan...
Di barak, Raska baru saja selesai mandi setelah seharian beraktivitas. Rambutnya masih basah saat ia duduk di tepi ranjang.
Lalu… ia berhenti bergerak.
Perutnya terasa seperti diremas dari dalam. Keringat dingin langsung membasahi punggung dan pelipisnya. Ia menarik napas dalam, mengunci rahang, berusaha menahan rasa sakit itu tanpa suara.
Disiplin sudah tertanam terlalu dalam. Namun wajahnya kehilangan warna.
“Ras?” Jovi mendekat, panik melihat kondisi sahabatnya. “Lo kenapa?”
Raska tidak langsung menjawab. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuh.
“Ada apa?” tanya taruna lain, mulai mendekat.
Raska akhirnya menggeleng pelan. “Gak tahu…”
Tubuhnya goyah.
Jovi tak menunggu lebih lama. Ia dan beberapa taruna lain segera menopang Raska, membawanya menuju klinik barak.
Langkah-langkah mereka cepat. Tegang.
Di bawah lampu lorong yang mulai menyala, Raska menunduk, napasnya tertahan, tangannya kembali menggenggam cincin di saku celananya. Erat, seolah itu satu-satunya pegangan.
Jauh di luar sana, di negeri asing yang tak pernah ia datangi...
Seseorang yang tak pernah lepas dari pikirannya sedang berjuang menahan sakit yang sama sekali berbeda.
Dan keduanya belum tahu—
Saat malam jatuh di tempat Raska,
dan fajar menyingsing di tempat Elvara,
segalanya akan berubah.
Lampu putih di ruang bersalin terasa terlalu terang, dingin, steril, nyaris menyilaukan.
Elvara menggenggam sisi ranjang dengan napas terputus-putus. Keringat membasahi pelipis dan tengkuknya, rambut hitamnya menempel di wajah. Di sekelilingnya, mesin monitor berdetak pelan, layar digital menampilkan garis-garis yang naik turun mengikuti detak jantung.
Setiap kontraksi datang seperti gelombang yang tak memberinya waktu bernapas.
“Deep breath… slowly… push,” suara dokter terdengar tegas, beraksen asing tapi menenangkan.
Elvara mengangguk lemah. Tangannya gemetar.
Sakitnya bukan sekadar di perut. Pinggangnya seperti diremukkan. Tubuhnya seolah ditarik dari dua arah berlawanan, tanpa ampun.
“Aaah—!” erangnya pecah.
Air mata jatuh tanpa bisa dicegah, mengalir ke pelipis, hilang di seprai putih.
Di antara rasa sakit yang menghantam bertubi-tubi itu, bayangan lain menyusup tanpa izin.
Wajah Raska.
Bukan Raska yang dingin. Bukan yang menjadikannya obyek taruhan.
Tapi Raska di hari itu, duduk tegak di sampingnya, rahangnya mengeras, bahunya kaku oleh tanggung jawab yang tak pernah ia minta, suaranya mantap mengucap ijab kabul.
"Saya terima nikahnya…"
Dada Elvara bergetar.
Ia terisak, napasnya patah-patah.
“Fokus, Ra. Kamu kuat,” suara Elda terdengar di sisi ranjang, sedikit bercampur bahasa asing yang baru saja ia ucapkan pada perawat. Tangannya menggenggam tangan Elvara erat-erat, hangat di tengah ruang yang terasa dingin.
Elvara mengangguk, meski rasanya tubuhnya hampir menyerah.
“Push—now!”
Elvara mengerahkan tenaga.
Di negeri asing yang bahasanya belum sepenuhnya dipahami sang ibu, di bawah lampu putih yang tak memberinya belas kasihan,
Elvara berjuang, sendirian, namun tidak sepenuhnya sendiri.
Sementara itu—
Di klinik barak, Raska terbaring di ranjang pemeriksaan.
Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipis. Napasnya tertahan, tidak terengah, lebih seperti ditahan paksa oleh disiplin yang sudah mendarah daging.
Tangannya mencengkeram sisi ranjang. Bukan ingin mengeluh. Tapi menahan.
“Nyeri di mana?” tanya dokter militer sambil memeriksa perutnya.
“Perut… tengah,” jawab Raska pendek.
Dokter mengernyit. “Sejak kapan?”
“Baru… satu jam,” sahut Jovi cepat dari samping. Wajahnya jelas cemas. “Tapi dari pagi dia udah aneh, Dok.”
Dokter menoleh. “Aneh bagaimana?”
Jovi menggaruk tengkuknya. “Gelisah. Padahal hari ini latihan terakhir. Biasanya dia fokus banget.”
Raska menutup mata sebentar. Napasnya berat.
“Waktu latihan tadi?” dokter bertanya lagi.
Jovi mengangguk. “Sempat kehilangan fokus. Sedikit. Tapi untung latihan tetap jalan lancar.”
Dokter menatap Raska lebih saksama. “Kamu sendiri ngerasa apa?”
Raska membuka mata. Tatapannya kosong sesaat.
“Gak tahu,” katanya jujur. “Cuma… dari pagi kayak ada yang narik-narik dari dalam. Gelisah.”
Ia menelan ludah.
“Saya terus kepikiran… orang yang saya cintai.”
Jovi terdiam. Dokter ikut terdiam.
Dokter menghela napas pelan, lalu menyuntikkan obat pereda nyeri.
“Ini harusnya membantu,” katanya.
Namun menit berlalu.
Lima.
Sepuluh.
Raska masih menggigit bibir. Nyeri itu tidak pergi.
Sebaliknya, semakin menekan.
Di ruang bersalin, Elvara menahan teriakan. Tangannya mencengkeram seprai putih hingga ruas jarinya memutih.
“Aku bisa… aku bisa…” gumamnya lirih, entah ditujukan pada siapa.
Tubuhnya bergetar hebat. Lampu putih di atas kepalanya terasa terlalu terang, bau antiseptik menusuk hidung. Monitor di samping ranjang berdetak teratur, berlawanan dengan napas Elvara yang tersengal.
“Good… breathe… now push,” suara dokter terdengar tegas namun terkontrol, dengan aksen Eropa yang kental.
Seorang bidan memberi isyarat pelan, tangannya terangkat, mengatur ritme napas.
“Slowly. You’re doing well.”
Di sisi ranjang, Elda menggenggam tangan putrinya erat-erat.
“Dorong, Ra, kamu bisa,” ujarnya, suaranya bergetar tapi tegar.
Elvara mengangguk lemah. Air mata mengalir tanpa ia sadari.
"Aaahhh...."
Ia mengejan, mengumpulkan seluruh sisa tenaga yang ia miliki, seolah seluruh hidupnya bertumpu pada detik itu.
Di klinik barak, Raska tiba-tiba melengkungkan tubuh. Tangannya menekan perut, napasnya tercekik.
“Ras!” Jovi refleks menahan bahunya.
Dokter jaga langsung mendekat. Gerakannya cepat, efisien. “Nyeri meningkat?” tanyanya singkat.
Raska mengangguk. Rahangnya mengeras, giginya mengatup menahan erang.
“Pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya?” suara dokter datar, profesional.
Raska menggeleng.
Dokter menatap monitor, lalu wajah Raska yang mulai pucat, kemudian beralih ke Jovi.
“Ada peristiwa emosional besar akhir-akhir ini?” tanyanya.
Jovi terdiam sesaat. Lalu menjawab pelan, “Tidak ada, Dok.”
Dokter tak langsung percaya. Ia kembali menatap Raska. “Kamu sudah menikah?” tanyanya tiba-tiba.
DEG.
Jantung Raska seperti dipukul keras.
“Atau pernah memiliki keterikatan emosional yang intens,” lanjut dokter tanpa basa-basi. “Hubungan yang melibatkan kedekatan fisik.”
Raska terdiam. Napasnya tertahan di dada.
Dokter menghela napas pendek. “Saya menduga ini sindrom,” katanya.
Raska mengangkat wajah, keringat dingin membasahi pelipis.
“S-sindrom?”
...🔸🔸🔸...
...“Takdir tidak selalu mempertemukan dua hati....
...Kadang, ia hanya perlu satu jiwa kecil…...
...untuk memaksa mereka saling menemukan kembali.”...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏
Kak, up lagi donk 🤭
membuatku srlalu memejamkan Mata sejenak untuk meresapi maknanya
lanjutkan ka...
Tapi... Yang nggk di sadari Orang tua yang bilang begitu, anak laki-laki kan juga manusia biasa. Bukan Robot, yang nggk bisa menangis dan terpuruk. Laki-laki juga pernah menangis juga dan terpuruk, sama Seperti Wanita. Jadi Salah, kalau ada yang bilang laki-laki itu, nggk boleh nangis dan Rapuh Seperti Perempuan. Laki-laki juga manusia biasa 😁😁😁🙏
Nangis Saja Rava, kalau kamu mau nangis, nggk papa kok 😁😁😁🙏
tapi wajahmu gak berubah kan Vara??