Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Langkah Kaki
Pertemuan singkat dengan Aulia meninggalkan jejak yang kuat dalam benak Arjuna. Ada semacam energi kompetitif yang kini membakar semangatnya, melengkapi tekad yang sudah ada sebelumnya. Ia tidak lagi hanya ingin lulus demi dirinya sendiri, kini ia juga ingin membuktikan bahwa anak desa yang diremehkan ini mampu berdiri di panggung yang sama dengan seorang Aulia.
Dengan pikiran yang berkecamuk, Arjuna melangkah keluar dari area kampus Universitas Nusantara Global. Tujuannya adalah kembali ke kosan di Bekasi. Ia berjalan menuju halte bus terdekat, tangannya secara otomatis merogoh saku celana untuk menghitung sisa uangnya.
Lembaran uang yang ada di sana tampak begitu menyedihkan. Setelah membayar biaya warnet dan ongkos transportasi seharian, uangnya benar-benar di ambang batas. Cukup untuk ongkos pulang, tapi mungkin tidak cukup untuk makan malam nanti.
Ia terdiam sejenak di depan halte. Melihat bus-bus kota yang berlalu lalang, sebuah ide terlintas di benaknya. Entah mengapa, ia merasa enggan untuk langsung pulang dan kembali terkurung dalam penantian. Energi dari ujian tadi masih terasa di dalam dirinya, dan ia merasa perlu melakukan sesuatu yang produktif.
‘Jaraknya mungkin jauh, tapi kalau aku jalan kaki sebagian, aku bisa menghemat ongkos,’ pikirnya. ‘Sekalian… aku bisa lihat-lihat, siapa tahu ada informasi pekerjaan.’
Keputusan itu terasa tepat. Daripada hanya pasrah menunggu nasib, ia harus bergerak. Dengan tekad baru, Arjuna pun mulai berjalan kaki, menyusuri trotoar lebar di kawasan elit Jakarta Selatan. Ia berjalan tanpa tujuan pasti, hanya mengikuti arah jalan yang membawanya menjauh dari menara gading UNG.
Pemandangan di sekelilingnya perlahan berubah. Gedung-gedung perkantoran yang megah dan kafe-kafe mewah perlahan digantikan oleh deretan ruko yang lebih sederhana, restoran-restoran keluarga, dan bengkel-bengkel kecil. Hiruk pikuk kota menjadi lebih terasa di sini.
Sambil berjalan, matanya awas memperhatikan setiap pintu dan jendela toko. Ia mencari satu kata keramat bagi para pencari kerja sepertinya: "LOWONGAN" atau "DICARI".
Beberapa kali ia melihatnya. "Dicari: Karyawati, min. D3," "Dicari: Sales, berpengalaman," "Dicari: Akuntan, min. S1." Semua di luar jangkauannya yang hanya berbekal ijazah SMA dan pengalaman kerja nol.
Ia terus berjalan. Keringat mulai membasahi kemejanya, namun ia tidak merasa lelah seperti seharusnya. Cincin di jarinya seolah mengalirkan stamina yang tak ada habisnya, membuat langkah kakinya tetap ringan meski matahari masih terasa menyengat.
Setelah berjalan hampir satu jam, langkahnya terhenti di depan sebuah rumah makan yang tampak ramai. Bukan restoran mewah, melainkan sebuah kedai makan sederhana yang bersih dengan papan nama "Warung Nasi Ibu Susi - Masakan Rumah". Aroma tumis kangkung dan ayam goreng tercium hingga ke jalan, membuat perut Arjuna yang kosong berbunyi.
Dan di jendela kaca kedai itu, tertempel selembar kertas HVS yang ditulis tangan dengan spidol hitam:
"DICARI TENAGA BANTUAN DAPUR / CUCI PIRING. JUJUR & MAU BEKERJA KERAS. LAMARAN LANGSUNG KE DALAM."
Jantung Arjuna berdebar sedikit lebih cepat. Ini dia. Pekerjaan yang tidak butuh ijazah tinggi, pekerjaan yang hanya butuh kejujuran dan kerja keras. Dua hal yang ia miliki.
Ia berdiri sejenak di depan kedai itu, mengamati kesibukan di dalamnya. Para pelayan hilir mudik mengantar pesanan, sementara dari area dapur terdengar suara wajan dan spatula yang beradu. Ada sedikit keraguan dalam dirinya. Apakah ia akan diterima?
Ia menatap kepalan tangannya, melihat cincin biru yang melingkar di jarinya. Ia teringat nasihat Eyang Prabu tentang ketulusan hati. Ia teringat perjuangan Mbah Darmi. Ia teringat hinaan yang ia terima pagi tadi.
‘Aku harus mencoba,’ tekadnya dalam hati.
Menghela napas panjang untuk mengumpulkan segenap keberaniannya, Arjuna meluruskan kemejanya yang kusut dan melangkah mantap memasuki pintu Warung Nasi Ibu Susi, siap untuk menghadapi ujian berikutnya dalam hidupnya: sebuah wawancara kerja pertama di rimba beton Jakarta.
Tepat saat Arjuna hendak mendorong pintu kaca "Warung Nasi Ibu Susi", sebuah teriakan panik yang memilukan memecah hiruk pikuk sore itu.
"TOLONG! YA ALLAH, TOLONG! PAK... BANGUN, PAK!"
Suara serak seorang wanita tua itu sontak membuat semua orang menoleh. Arjuna berbalik. Di trotoar yang ramai, tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang kakek renta tergeletak di tanah, tak sadarkan diri. Di sampingnya, seorang nenek menangis histeris, mengguncang-guncang tubuh suaminya yang terkulai lemas.
Niat Arjuna untuk melamar pekerjaan sirna seketika. Tanpa pikir panjang, instingnya mengambil alih. Ia berlari menerobos kerumunan orang yang mulai terbentuk, rasa urgensi mendorongnya maju.
"Permisi, Bu... Pak, tolong beri jalan!" serunya sambil dengan sopan namun tegas menembus barisan para penonton yang hanya bisa menatap dengan cemas.
Ia akhirnya berhasil mencapai pusat kerumunan. Ia berlutut di samping sang kakek. Wajah pria tua itu sudah membiru, bibirnya pucat, dan ia tidak bernapas. Sang nenek terus menangis, "Pak... jangan tinggalkan Ibu, Pak..."
Arjuna menatap sang kakek dengan penuh konsentrasi. Seluruh dunianya seolah menyempit, hanya terfokus pada sosok tak berdaya di hadapannya. Di dalam benaknya, sebuah pertanyaan berputar kencang, begitu kuat dan mendesak: 'Kakek ini kenapa? Kenapa tiba-tiba pingsan seperti ini?'
Tanpa ia sadari, di tengah kepanikannya, sepasang matanya mulai memancarkan cahaya biru yang sangat samar. Batu safir di cincinnya berdenyut, merespons pertanyaan dan niat tulusnya untuk menolong. Seketika, pandangannya berubah.
Dinding realitas seolah menipis. Ia masih bisa melihat wajah sang kakek, namun kini ada lapisan transparan lain di atasnya. Ia bisa melihat menembus kulit dan daging, melihat organ-organ dalam dengan detail yang aneh namun jelas. Jantung sang kakek masih berdetak, meskipun lemah. Paru-parunya tampak normal. Namun, lebih ke atas, di saluran tenggorokannya... ada sesuatu. Sebuah gumpalan berwarna gelap—sepertinya sepotong daging bakso—tersangkut dengan sempurna, menghalangi seluruh jalan napasnya.
Tersedak! Bukan serangan jantung! batin Arjuna.
Mengetahui penyebabnya, Arjuna tahu ia harus bertindak cepat. Waktu sang kakek tinggal hitungan menit. Ia hendak memposisikan tubuh sang kakek untuk melakukan hentakan perut—sebuah gerakan yang entah bagaimana ia tahu caranya—namun sebuah tangan kekar tiba-tiba menahan bahunya.
"Tunggu! Jangan diapa-apakan!"
Arjuna mendongak. Seorang pria berusia 40-an dengan kemeja rapi dan tatapan penuh percaya diri kini berlutut di seberangnya. "Saya seorang dokter. Biar saya yang periksa."
Kerumunan orang bergumam lega. "Syukurlah, ada dokter." "Tolong, Dok!"
Pria yang mengaku dokter itu melakukan pemeriksaan yang sangat singkat. Ia menempelkan telinganya ke dada sang kakek, meraba denyut nadinya sekilas, lalu dengan wajah serius ia menatap kerumunan.
"Ini serangan jantung," katanya dengan suara lantang dan penuh otoritas. "Cepat panggil ambulans! Jangan ada yang menyentuh pasien, bisa memperburuk kondisinya!"
Beberapa orang langsung sibuk mengeluarkan ponsel untuk menelepon ambulans. Sang nenek menangis semakin keras mendengar diagnosis itu.
Arjuna, yang tadinya hendak menyingkir, kini membeku di tempatnya. Ia menatap 'dokter' itu, lalu menatap sang kakek yang wajahnya semakin membiru. Ia tahu diagnosis itu salah besar. Menunggu ambulans sama saja dengan membiarkan kakek ini meninggal kehabisan napas. Gumpalan bakso itu masih ada di sana, terlihat begitu jelas di dalam penglihatannya yang aneh.
Sesuatu yang tak terduga terjadi pada diri Arjuna. Rasa paniknya hilang, digantikan oleh ketenangan yang dingin. Ia seharusnya marah, seharusnya berteriak dan memberitahu semua orang bahwa dokter ini salah. Tapi entah mengapa, sebuah senyum tipis yang ganjil tersungging di bibirnya. Sebuah senyum yang tajam dan penuh penilaian.
Ia menatap 'dokter' yang kini sibuk memberi instruksi pada orang-orang di sekitarnya, berlagak seperti seorang pahlawan yang mengendalikan situasi. Arjuna tidak lagi melihat seorang penolong, melainkan seorang penipu atau orang bodoh yang angkuh.
Ia memutuskan untuk tidak langsung bertindak. Ia ingin melihat. Sejauh mana 'dokter' ini akan memainkan perannya? Apa yang akan ia lakukan selanjutnya saat ia sadar pertolongannya tidak membawa hasil apa-apa?
Arjuna mundur selangkah, memberikan panggung pada sang 'dokter'. Namun matanya tak pernah lepas dari gumpalan kecil di tenggorokan sang kakek, dan waktu yang terus berjalan tanpa ampun.
biar nulisny makin lancar...💪