Zahira terpaksa bercerai setelah tahu kalau suaminya Hendro menikah lagi dengan mantan pacarnya dan pernikahan Hendro di dukung oleh ibu mertua dan anak-anaknya, pernikahan selama 20 tahun seolah sia-sia, bagaimana apakah Zahira akan melanjutkan pernikahannya atau memilih bercerai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kz 28
“Papah... buku-buku kuliahku ke mana untuk hari ini?” tanya Anggi dari dalam kamarnya.
“Cari sendiri,” sahut Hendro sambil memasukkan sesendok nasi ke mulutnya. Harusnya pagi ini ia bisa sarapan dengan tenang, tapi sejak bangun tidur, sudah banyak gangguan datang silih berganti—termasuk teriakan anak gadisnya itu.
Sementara itu, Anggi merasa pusing sendiri. Kamar yang biasanya tertata rapi kini berubah menjadi lautan barang-barang berserakan. Sejak kecil, Zahira selalu menyiapkan segalanya—baju, buku, bahkan sepatu. Tapi sekarang, semua harus ia cari sendiri.
Di ruang makan, Hendro menyuapkan nasi ke mulutnya sambil sesekali melirik ponsel.
“Papah, sepatu basket aku ke mana?” teriak Angga dari kamarnya.
“Papah, baju kuliah Anggi mana?”
“Papah, kaus kaki aku juga enggak ada!”
Suara Angga dan Anggi bergantian memanggil, membuat sarapan Hendro tak lagi nikmat.
“Brisik!” teriak Hendro, meletakkan sendoknya dengan kasar ke atas meja hingga menimbulkan bunyi keras.
Ia berdiri dan berjalan cepat ke kamar Anggi. Begitu membuka pintu, matanya langsung terbelalak melihat kondisi kamar.
“Anggi!” bentaknya. “Apa-apaan ini? Kenapa kamar kamu bisa berantakan begini? Kamu pikir siapa yang bakal beresin semua ini, hah?”
"Ini malah marah-marah, bukannya bantu cari buku kuliah aku!" gerutu Anggi kesal.
Hendro hanya menggeleng pelan. Dalam hati ia heran, anak 17 tahun tapi masih belum bisa mengurus dirinya sendiri.
"Biasanya kamu nggak seperti ini, Anggi," ucap Hendro, nada suaranya mulai kesal.
"Biasanya aku tinggal berangkat, semuanya sudah disiapin Mama!" sahut Anggi dengan nada tinggi, wajahnya kesal, nada suaranya sinis.
Hendro menarik napas panjang. "Kamu ternyata terlalu bergantung pada orang yang selama ini kamu benci," ucapnya tajam.
“Pah, aku mau tinggal sama Mamih Ratna, ya. Di sini membosankan, Papah marah melulu,” ucap Anggi kesal.
“Harusnya Mamih Ratna yang tinggal di sini, ngurusin kamu,” balas Hendro, menahan emosi.
“Enggak bisa, Pah. Mamih Ratna itu wanita karier. Nggak mungkin ngurus hal-hal remeh kayak gini,” jawab Anggi santai.
“Hal remeh-temeh, tapi bikin kamu pusing sendiri. Lihat jam, udah siang begini. Sudahlah, enggak usah kuliah hari ini. Sore nanti Papah mau jemput Mamah kamu pulang. Hidup kita bisa benar-benar berantakan tanpa dia,” ucap Hendro tanpa sadar telah mengakui bahwa hidupnya tak teratur sejak Zahira pergi.
Anggi menatap Hendro, lalu berkata pelan, “Benar, Pah... Tapi kasih pengertian ke Mamah nanti. Jangan terlalu ortodoks soal perempuan. Jadi wanita itu harus modern, Pah. Wanita modern rela berbagi lelaki dengan perempuan lain.”
Tiba-tiba terdengar teriakan dari ruang tengah.
“Angiiiii!” seru Angga.
“Apa sih, lu teriak-teriak! Emang gue budek?” balas Anggi dengan nada kesal.
“Lihat ini,” ucap Angga sambil menyodorkan ponselnya. “Si David lagi gandengan sama Laras di pantai Bali.”
Anggi mendekat dan menatap layar ponsel itu. Wajahnya langsung memerah. Giginya gemeretak, matanya menajam, dan tanpa pikir panjang ia hendak membanting ponsel itu.
Namun Angga lebih sigap. Ia menarik ponselnya dari tangan Anggi sebelum sempat terbanting.
“Udah tiga kali lu banting HP gue. Jangan sampai ini jadi yang keempat,” gerutu Angga sambil menyembunyikan ponselnya ke belakang.
Anggi berbalik, berteriak ke arah Hendro. “Papah! Aku mau ke Bali! Minta uang sekarang!”
“Mau ngapain kamu ke Bali?” tanya Hendro tenang, meski sudah curiga.
“Mau ngelabrak si David sama si Laras!” jawab Anggi, penuh emosi.
Hendro hanya menggelengkan kepala. “Baru saja kamu bilang wanita modern harus bisa berbagi lelaki. Sekarang pacarmu jalan sama cewek lain, kamu udah ngamuk?”
Anggi terdiam, tak mampu menjawab.
Baru kali ini ia benar-benar merasakan bagaimana rasanya sakit hati karena cinta dibagi. Dan itu hanya seorang pacar—bagaimana dengan mamahnya, yang harus menerima kenyataan suaminya diambil wanita lain... dan disetujui oleh anak-anaknya sendiri?
“Enggak ada acara ke Bali! Kalian harus ikut membujuk mamah kalian pulang. Papah jamin, hidup kalian bakal berantakan tanpa dia,” ucap Hendro tegas.
“Papah terlalu berlebihan. Kami baik-baik saja, kok,” sahut Anggi sambil melipat tangan di dada.
“Baik-baik saja? Kalian berdua sudah empat hari enggak kuliah, selalu dengan alasan sepele. Kalau begini terus, kalian bisa di-DO!” balas Hendro dengan nada meninggi.
“Setuju, Pak,” ucap Angga tiba-tiba.
Anggi menoleh cepat. “Kenapa kamu setuju, sih, Angga?”
Angga mengangkat bahu. “Enggak tahu... Aku malah kangen, tiap pagi ribut sama Mamah. Meski cerewet, dia yang bikin rumah ini hidup.”
..
..
Sementara itu, di rumah Zahira,
ia melihat kedua orang tuanya sedang menonton televisi bersama, ditemani segelas kopi dan ubi rebus.
“Andai aku punya suami seperti Bapak, setia menua bersama,” gumam Zahira lirih.
Zahira membuka aplikasi menulis onlinenya. Ternyata tulisannya sudah mencapai lebih dari 60.000 kata.
“Ini gimana cara dapet uangnya, sih?” gumamnya bingung. Ia hanya bisa menulis, tapi belum mengerti bagaimana cara menghasilkan uang dari sana.
Ia membuka kotak masuk. Banyak komentar masuk, tapi Zahira belum tahu cara membalasnya satu per satu.
“Aku harus kursus sama Zaenab, ini,” pikirnya dalam hati.
Lalu matanya tertuju pada bagian bawah layar.
22.000 orang sedang membaca.
300.000 total tayangan.
Ia pun berpindah ke aplikasi lain.
“Kalau yang ini lebih simpel,” ucapnya pelan.
“Sudah 80 bab, dan aku dapat Rp1.600.000. Ini karya baruku yang ketiga. Popularitas: 2,07 juta…”
“Sudah hampir sebulan aku nulis, kok nggak ngasih duit juga,” keluhnya, masih belum menyadari hal besar di depan matanya.
Zahira belum sadar, dua karya tulisannya itu sebenarnya sudah menghasilkan potensi puluhan juta rupiah. Bahkan, beberapa notifikasi penting ia abaikan, termasuk satu dari agen perfilman yang ingin mengangkat ceritanya ke layar lebar.
..
..
Sementara itu, di desa yang sama, di sebuah rumah paling besar, Senja duduk bersama seorang pria bernama Langit.
“Kenapa kamu tidak menjadikan Mamah Zahira sebagai kepala konveksi, malah memilih Romlah?” tanya Langit heran.
“Kalau hanya soal mengungkap kasus pencurian, sih, gampang. Tapi aku ingin tahu siapa sebenarnya pembeli barang-barang kita,” jawab Senja tenang.
“Pesaingmu itu berat, Senja. Mereka licin dan sulit dicari bukti kesalahannya,” ujar Langit, mulai khawatir.
“Awalnya aku juga mentok. Tapi setelah membaca novel online Wanita Sekeras Baja, pikiranku jadi terbuka dan lebih cerdas,” ucap Senja mantap.
“Masa, sih?” Langit mengernyitkan dahi.
“Beneran. Kamu baca aja sendiri. Penulisnya cerdas banget. Ada satu kalimat yang bikin aku sadar harus ambil tindakan ini.”
“Apa itu?” tanya Langit penasaran.
‘Jika ikan tidak terpancing, maka paksa dia memakan kailnya,’” ucap Senja menirukan kutipan itu dengan serius.
Langit tertawa pelan. “Aku semakin nggak ngerti. Sejak kamu baca novel online, pemikiranmu jadi aneh.”
Senja menoleh dan tersenyum penuh keyakinan. “Lihat saja nanti. Jika ada kesempatan, maka tangkaplah. Jika tidak ada kesempatan, maka ciptakanlah.”
Pa lagi gk Ada cctv dan bekingan km akn kalah zahira.
sebagai orang Awam dan baru hrse diam dulu jng nantangin terang terangan.
kl dah lama dan tau kondisi lingkungan br lah gerak.
kl dah gini km bisa apa.😅.