Perjalanan Xiao Chen dan Ling Ye, dua pendekar naga yang akan menjelajahi dunia untuk menumpaskan semua Iblis dan membela kemanusiaan.
inilah kisah suka dan duka 2 pendekar naga yang akan menjadi Legenda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agen one, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Pendek-Broken Home
Pemeran utama rangking:
"Orang tua adalah akar dan kompas kita. Tanpa mereka, kita terlepas dari bumi, mengembara sebagai daun yang jatuh, tak tentu arah dihempas angin kehidupan."
𝓐𝓰𝓮𝓷 𝓸𝓷𝓮
Judul: Keluarga Toxic
Ruangan apartemen kecil itu terasa pengap oleh kabut ketegangan yang sudah bertahun-tahun tidak pernah hilang. Ini bukan kabut asap, melainkan uap dari dendam dan kelelahan yang menguar dari dua sosok di ujung meja makan: Ayah dan Ibu. Tiga pemuda, bersaudara sejiwa namun membawa beban trauma yang berbeda, duduk di antara medan ranjau emosional itu.
Di kepala meja, duduk Ayah, seorang pria yang gagal dalam karier dan memilih menyalurkan frustrasinya lewat kontrol dan teriakan. Di seberangnya, Ibu, sosok yang memilih senyap sebagai senjata dan perisai, seringkali menarik diri ke dalam kamar atau tidur panjang, menganggap ketiadaan adalah solusi terbaik.
(Pangeran Katak), sang sulung, duduk tegap, mencoba meniru ketenangan yang palsu. Ia bertugas sebagai "buffer" tak terlihat. Matanya selalu menatap lurus ke piring, namun telinganya siap menangkap setiap perubahan nada suara Ayah. Di tangannya, ia meremas kuat-kuat struk gaji mingguan dari kerja part-time-nya di minimarket, jumlah yang selalu dirasa kurang oleh Ayah.
Di sampingnya, (Luwak White Coffee), pemuda dengan energi yang terlalu berlebihan untuk dikurung. Ia mengenakan headphone—bukan untuk mendengarkan musik, tapi untuk menyaring. Ia bergerak gelisah, kakinya mengetuk lantai, seolah setiap ketukan adalah ledakan amarah yang ditahan. Ia adalah alarm yang menunggu untuk berbunyi.
Dan di sudut yang paling gelap, (Si Hibernasi). Ia menyusut di kursinya. Di pangkuannya, sebuah buku tebal menutupi hampir seluruh tubuhnya yang kurus. Ia tidak membaca. Ia hanya menghitung ubin, menghafal retakan di dinding, melatih dirinya untuk menjadi tak terlihat, berharap suara-suara itu akan melewati tubuhnya tanpa bekas.
Makan malam seharusnya menjadi waktu berkumpul, tapi bagi mereka, ini adalah ritual hukuman. Ayah tiba-tiba meletakkan garpu dengan bunyi berdebam keras di atas piring porselen.
“Bagaimana tagihan listrik bulan ini bisa setinggi ini?” suara Ayah berat, bergetar, lebih seperti pernyataan penghakiman daripada pertanyaan.
Ibu, tanpa mengangkat pandangan dari makanan, menjawab dengan suara datar dan dingin, sebuah suara yang selalu berhasil memantik Ayah: “Kau harusnya tahu, kau yang bekerja di kantor.”
“Aku tahu, tapi kau yang menggunakannya! Kau yang di rumah seharian!” Ayah membentak, suaranya naik satu oktaf, membuat piring-piring di rak dapur seolah bergetar.
(Pangeran Katak) segera mengangkat tangan seolah ingin menghentikan mobil yang melaju kencang, “Ayah, Ibu, aku akan membayar sisanya dari gajiku. Tenang saja.” Ia menawarkan pengorbanan dirinya, sebuah upaya untuk membeli perdamaian.
Ayah menoleh ke Pangeran Katak, tatapannya tajam dan menghina. “Tawaranmu selalu datang terlambat,Sialan! Kenapa kau tidak belajar menjadi produktif seperti anak orang lain? Gaji segitu hanya cukup untuk membeli jajan, bukan untuk menutupi kerugian rumah ini.”
Kata "kerugian" itu menancap di dada Pangeran Katak. Ia menunduk, bahunya kembali melengkung.
Melihat Pangeran Katak diserang, perisai emosi (Luwak White Coffee) pecah. Ia mencabut headphone-nya dengan sentakan keras, suaranya meledak.
“Ayah, berhentilah! Salahkan saja dirimu sendiri karena tidak bisa memberikan apa-apa kepada kami! Berhenti menjadikan kami sebagai tempat untuk kau dapat meluapkan emosimu itu!”
Ayah terdiam, kaget. Wajahnya memerah karena penghinaan di depan dua anaknya yang lain. “Keluar dari sini, Anak durhaka! Kembali ke kamar sebelum aku—"
“Sebelum kau apa? Menghancurkan piring lagi? Menghancurkan barang? Kau hanya bisa menghancurkan! Kau menghancurkan Ibu, dan sekarang kau menghancurkan kami!” Luwak berdiri, bangku kayu di belakangnya terbalik.
Ibu, yang selama ini diam, akhirnya bereaksi. Tapi bukan dengan kemarahan. Ia menghela napas panjang, tatapan matanya kosong. Ia meletakkan garpu, dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia bangkit dari kursi. Ia berjalan perlahan, tidak ke kamar, melainkan menuju pintu keluar.
(Si Hibernasi) yang sedari tadi mati-matian berusaha menjadi tidak terlihat, kini menatap kepergian Ibunya. Di mata kecilnya, terpantul ketakutan bahwa kepergian ini bukan sekadar melarikan diri untuk tidur.
“Ibu mau ke mana?” Hibernasi berbisik, suaranya sangat lirih, hampir tidak terdengar.
Ibu berhenti di ambang pintu, tapi tidak menoleh. “Mencari udara segar. Jangan tunggu aku.”
Pintu apartemen ditutup dengan bunyi klik yang lembut namun mematikan. Ayah kembali duduk, wajahnya pucat. Ia meraih botol air dan meminumnya dengan gemetar. Kekuasaannya hancur, amarahnya lenyap, digantikan oleh penyesalan kosong yang tak pernah ia akui.Kemudian ia pergi dengan amarah.
(Luwak White Coffee), yang tadinya dipenuhi kobaran api, kini roboh kembali ke kursinya. Ia melihat kepergian Ibunya—sebuah tindakan yang berulang, namun selalu terasa seperti pengkhianatan baru.
Di tengah meja makan yang penuh sisa-sisa makanan dingin dan ketegangan yang kental, (Pangeran Katak) meraih kedua tangan adik-adiknya.
Ia menggenggam tangan Luwak, yang terasa panas dan bergetar karena emosi. Lalu tangan Si Hibernasi, yang terasa sedingin es.
(Pangeran Katak) menatap kedua adiknya, melupakan sejenak pandangan menghina Ayah dan penuh kebencian seolah-olah anaklah yang salah.
“Dengar,” bisiknya dengan suara yang memaksa dirinya untuk stabil. “Mereka adalah badai kita. Tapi kita... kita adalah jangkar satu sama lain. Kita tidak akan tenggelam. Kita tidak akan menjadi seperti mereka.”
Si Hibernasi akhirnya meletakkan bukunya. Ia tidak lagi menatap ubin. Ia menatap kedua kakaknya, air mata akhirnya mengalir tanpa suara, membasahi pipinya. Untuk pertama kalinya malam itu, ia tidak bersembunyi.
Di meja makan yang dingin itu, dengan kursi Ayah dan kursi Ibu yang kosong, tiga pemuda itu berjanji. Bukan dengan kata-kata, melainkan dengan sentuhan tangan yang saling menguatkan. Mereka adalah korban, tapi di saat yang sama, mereka adalah penyelamat satu sama lain dari kehancuran yang diciptakan oleh orang tua mereka.
TAMAT
makanya pembaca langsun hiatus