NovelToon NovelToon
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Poligami
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Naim Nurbanah

Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.

Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1

Naykesha menarik napas dalam-dalam, dadanya terasa sesak. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi dia menahan air mata itu jatuh.

"Lebih baik kita putus saja, bang," suaranya bergetar.

"Daripada terus pacaran jarak jauh, yang akhirnya cuma bikin kita saling curiga. Aku di Semarang, Abang di Jakarta. Jarang banget kita ketemu, apalagi kita sama-sama sibuk sebagai pengajar."

Hampir setengah tahun tak bertemu, Naykesha sengaja datang ke Jakarta demi Umar. Kini mereka duduk berhadapan di sebuah kafe di Jakarta Selatan. Umar, dengan wajah tenang, mengusap pelan tangan Naykesha yang mulai mengepal.

"Nay, sabar ya," katanya lembut.

"Kasih aku waktu sedikit lagi. Aku janji akan menikahimu. Aku juga nggak mau lama-lama pacaran kayak gini. Lagipula, jarak ini malah bikin kita bisa jaga diri sesuai agama."

Mata Naykesha masih berkaca-kaca, tapi ia mencoba mengangguk, berharap kata-kata Umar benar-benar nyata.

Umar melangkah masuk dengan postur tubuh yang ideal, wajahnya tampan tanpa perlu usaha berlebihan. Setiap langkahnya mengalir tenang, memberi kesan pria dewasa yang percaya diri tapi tak berlebihan. Rambutnya tersisir rapi, kulitnya putih bersih, semua menunjang citra dosen muda yang jadi pusat perhatian banyak mahasiswi di kampus. Nay dalam hati tersenyum, yakin Umar memang primadona di kampus, dosen single yang tampan dan dingin sekaligus menarik.

Di sisi lain, Naykesha berdiri dengan penampilan sederhana namun rapi, rambutnya tertutup sempurna oleh hijab, tapi sorot matanya cerah dan senyumnya mudah merekah. Meski pakaiannya tertutup, ia memancarkan aura ceria yang membuat suasana jadi lebih hangat.

Dalam dirinya terkumpul keseimbangan antara kewanitaan muslimah yang anggun dan sosok guru yang pantas dijadikan teladan oleh murid-muridnya. Umar dan Nayke berdiri bersebelahan, seperti pasangan serasi yang saling melengkapi tanpa harus banyak bicara.

Naykesha berdiri dengan postur tinggi dan tubuh yang tetap proporsional, seolah selalu menjaga keseimbangan antara berat dan tinggi badannya. Di kampus yang berbeda, dia dan Umar sering bertemu di ruang-ruang pertemuan organisasi kemahasiswaan.

Jarak usia mereka memang tiga tahun, membuat Umar menjadi kakak tingkat yang tak hanya membimbing tapi juga teman ngobrol yang mudah didekati. Setiap kali bertemu, tawa dan cerita mengalir tanpa beban, membuat kedekatan mereka tumbuh begitu alami.

Dari kegiatan bersama itulah, tanpa disadari, benih rasa mulai berkembang, mereka memutuskan untuk menjalani hubungan sebagai pasangan. Hubungan mereka sederhana, seperti dua sahabat yang sedang menikmati petualangan kecil di kota yang sama. Jalan-jalan sore, makan bersama di warung kecil, tanpa drama berlebihan, hanya kenyamanan yang terasa dari kehadiran satu sama lain.

Meski berasal dari tempat berbeda, Nay dari Solo yang hangat dan Umar dari Semarang yang penuh kenangan kedua jiwa merantau itu menemukan titik temu. Kini Nay tetap tinggal di Semarang, bukan hanya sebagai pendatang tapi sebagai guru yang mencintai kota ini, di sisi Umar yang selalu memberi rasa aman dan akrab.

Umar memiringkan kepala, matanya menatap Nay dengan lembut.

"Sudah, jangan sedih, ya! Ayo, makan makanannya. Atau aku yang suapin?" suaranya hangat, berusaha meruntuhkan dinding kesedihan di wajah Nay. Tapi di balik senyum tipis yang ditunjukkan Nay, tersembunyi rindu yang mengganjal.

Enam bulan berlalu tanpa mereka bertemu langsung. Pacaran jarak jauh memang penuh ujian seperti ini. Nay menarik napas dalam, bibirnya membentuk senyum kecil saat melihat Umar yang selalu berhasil membuatnya lupa sejenak pada jarak dan waktu.

"Aku bisa makan sendiri kok," jawabnya, lalu menundukkan kepala, pipinya sedikit memerah.

"Kamu juga makan, jangan terus-terusan lihat aku." Matanya berkilat malu tapi bahagia. Di balik layar ponsel, kasih sayang mereka tetap mengalir, meski jarak memisahkan.

Umar melempar senyum lebar, matanya berbinar melihat pipi Nay yang memerah, seakan warna itu hanya untuknya. Tapi di benaknya, ada pertanyaan mengganjal. Kapan dia akan benar-benar melamar wanita yang sudah lama dipacarinya ini?

Kedua orang tua mereka masih asing satu sama lain, dan rumah masing-masing pun belum pernah saling dikunjungi, padahal mereka sama-sama tinggal dan sekolah di Semarang. Umar memang memilih ngekost selama kuliah meski rumah orang tuanya tidak jauh dari kampus. Dengan lembut, Umar mengangkat sepotong iga bakar dan menyuapkan ke mulut Nay. Wanita itu tidak menolak, membuka mulut dan mengunyah pelan, matanya tampak menikmati rasa gurih daging itu.

"Enak gak?" Umar menanti respons dengan harap. Nay cepat mengangguk, senyum manis mengembang di wajahnya.

"Enak banget!" jawabnya penuh semangat. Senyum Umar mengembang makin lebar, bahagia melihat Nay tetap ceria seperti dulu.

Umar menatap Nay dengan wajah berseri-seri, suaranya hangat.

"Oh iya, Nay! Malam ini kamu tidur di kontrakan Airin, ya? Aku nanti antar kamu ke sana. Kamu nggak keberatan kan?" Nay mengunyah makanannya pelan, lalu mengangguk ringan.

"Iya, tapi apa Airin nggak repot ya? Aku sebenarnya bisa pulang malam ini juga kok. Yang penting aku sudah ketemu kamu, dan tahu kamu baik-baik saja." Umar mengepalkan tangan seolah ingin membujuk, senyumnya semakin manis.

"Eit, jangan buru-buru pulang dong. Kita baru saja ketemu, masa cuma sebentar terus langsung pergi? Huff, andai aku boleh, kamu bisa bobok di kontrakan ku..." Nay menutup mulutnya, bibirnya cemberut sejenak sebelum melempar senyum kecil.

"Makanya, cepetan nikahi aku dong!" ujarnya sambil tertawa pelan. Umar mengangguk, sorot matanya penuh janji.

"Iya, insyaallah nggak lama lagi. Sabar ya, Nay. Aku janji, aku nggak bakal berpaling dari kamu."

Tapi di balik senyumnya, mata Nay menyipit pelan. Keraguannya menyelinap masuk, membayangi hatinya. Bagaimana mungkin percaya begitu saja? Umar pria tampan, dan jelas banyak mahasiswi muda yang diam-diam mengaguminya. Nay menarik napas dalam-dalam, berusaha menepis bayang-bayang itu.

Nay menatap Umar dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, suaranya bergetar,

"Semoga kita berjodoh, Mas."

Hatinya dipenuhi harap yang sederhana namun dalam. Tanpa pikir panjang, Umar meraih kepala Nay yang tersembunyi di balik hijab, perlahan membelainya.

"Boleh nggak aku mengkhawatirkan kamu, Mas?" Nay menarik napas dalam, suaranya melembut tapi penuh rasa takut.

"Pacaran jarak jauh kayak gini, aku nggak bisa bohong, aku benar-benar khawatir. Pasti banyak yang naksir dan coba dekat sama kamu. Jadi, apakah sudah ada cewek-cewek mahasiswi atau sesama dosen yang suka sama kamu?"

Tatapannya menuntut jawaban, sedikit cemas sekaligus penasaran. Umar membalas dengan senyum nakal yang mengembang,

"Ada sih. Banyak lagi." Matanya berbinar, seakan sengaja menggoda Nay. Bibir Nay mengerucut, mukanya manyun.

"Tuh kan, aku bilang apa? Pasti banyak yang coba dekati dan godain kamu, ya?" suaranya meninggi sedikit, tapi tetap manja.

Umar tiba-tiba meledak tertawa lepas, suaranya bergema penuh kebahagiaan. Ia memang suka kalau Nay cemburu, melihat reaksi kecil itu membuat hatinya hangat dan semakin sayang.

Nay melipat tangan, mukanya masih cemberut saat mendengar godaan Umar.

"Nay, resikonya jadi cowok ganteng dan pintar seperti kekasihmu ini. Kamu yang sabar, ya. Hehehe," ujar Umar sambil menyingkirkan rambut dari dahinya dengan senyum nakal.

Tapi Nay tetap khawatir, matanya sesekali melirik ke arah jalan yang mulai ramai.

“Kalau sampai suatu saat kamu suka sama wanita lain yang sering kutemui di kota ini?” gumam Nay dalam hati, dadanya serasa sesak. Dengan nada tegas, dia menjawab,

“Kalau sudah, aku mau cari kerja di Jakarta saja. Biar nggak ada yang berani ganggu kamu.”

Suaranya terdengar seperti anak kecil yang cemburu, bibirnya mencibir sedikit tapi matanya berbinar. Umar malah terkekeh lepas, pandangannya penuh hiburan saat melihat sikap Nay.

“Ih, masa malah kamu yang cemberut? Aku serius, lho!” Nay mendelik, tapi belum sempat menjawab, Umar sudah menyahut,

“Iya, iya. Silakan saja kalau mau kerja di Jakarta. Malah aku senang, kita bisa sering ketemu.”

Suara Umar lembut, tahu betul bagaimana menjinakkan kekhawatiran Nay yang realistis dan idealis—wanita yang takkan gegabah meninggalkan pekerjaan yang sudah nyaman di Semarang.

Nay terkekeh kecil, wajahnya memerah. "Enggak, enggak! Aku cuma bercanda kok." Tapi kemudian dia menarik nafas pelan, matanya menatap dalam ke arah Umar.

"Doaku sekarang, semoga kita benar-benar berjodoh. Tapi, kalau kamu ketemu cewek yang lebih baik dari aku, insyaallah aku ridlo. Kan kita masih pacaran, kamu bebas pilih. Aku juga begitu," ujarnya lirih.

Umar terdiam, dadanya bergetar mendengar kata-kata itu. Tak menyangka Nay bisa punya pikiran sejauh itu.

"Nay, jangan bilang begitu. Aku cuma mau kamu jadi istriku nanti. Ibu dari anak-anakku. Insyaallah aku takkan pernah berpaling."

Suaranya berat tapi tulus, membuat Nay langsung terhanyut. Dia menunduk, bibirnya tersungging senyum malu-malu.

"Mas, ya sudahlah, jangan terlalu serius gitu. Eh, ini aku beliin sesuatu buat Mas. Murni dari gajiku ngajar. Semoga Mas suka."

Nay mengulurkan kotak kecil ke Umar dengan tangan sedikit gemetar. Umar menerima kotak itu, matanya berkaca-kaca. Hatinya hangat, sesosok wanita yang dia kagumi kini semakin dekat jadi pendamping hidupnya.

"Terima kasih, Nay. Ini berarti banget buat aku," bisiknya pelan, memeluk kotak itu seolah berharga sekali.

Umar tersenyum lebar sambil menggenggam tangan Nay erat-erat.

"Bagus banget! Terima kasih, sayang," ucapnya penuh rasa bahagia. Mendengar kata-kata itu, mata Nay membelalak kaget sekaligus tersipu malu.

"Kamu tahu nggak, aku punya kejutan spesial buat kamu. Kamu boleh pilih sendiri, ya. Abis dari sini, aku ajak kamu ke mall," ujar Umar sambil menyandarkan kepalanya ke bahu Nay.

Perasaan hangat menyeruak di dada Nay. Senyumnya melebar tanpa bisa ia tahan, pertemuan mereka kali ini benar-benar membuat hatinya berbunga-bunga. Dengan cekatan, Nay melihat Umar memasang jam tangan pemberian tadi di pergelangan tangannya. Meski harga jam itu hanya sekitar tiga jutaan, bagi Umar, benda itu jauh lebih berharga karena berasal dari wanita yang dia cintai.

"Hehehe, siap-siap ya, aku akan menghabiskan uang kamu," Nay berkata sambil tertawa ringan, wajahnya memancarkan kebahagiaan yang tulus.

1
Shaffrani Wildan
bagus
Dhani Tiwi
kasuhan nay... tinggal aja lah si umar nay..cari yang setia.
tina napitupulu
greget bacanya thorr...gak didunia maya gak didunia nyata banyak kejadian serupa../Grievance/
Usman Dana
bagus, lanjutkan
Tini Hoed
sukses selalu, Thor
Ika Syarif
menarik
Sihna Tur
teruslah berkarya Thor
Guna Yasa
Semangat Thor.
NAIM NURBANAH: oke, terimakasih
total 1 replies
Irma Kirana
Semangat Mak 😍
NAIM NURBANAH: Terimakasih banyak, Irma Kirana. semoga nular sukses nya seperti Irma menjadi penulis.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!