Rania menjalani kehidupan yang monoton. Penghianatan keluarga, kekasih dan sahabatnya. Hingga suatu malam, ia bertemu seorang pria misterius yang menawarkan sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Kesempatan untuk melihat masa depan."
Dalam perjalanan menembus waktu itu, Rania menjalani kehidupan yang selalu ia dambakan. Dirinya di masa depan adalah seorang wanita yang sukses, memiliki jabatan dan kekayaan, tapi hidupnya kesepian. Ia berhasil, tapi kehilangan semua yang pernah ia cintai. Di sana ia mulai memahami harga dari setiap pilihan yang dulu ia buat.
Namun ketika waktunya hampir habis, pria itu memberinya dua pilihan: tetap tinggal di masa depan dan melupakan semuanya, atau kembali ke masa lalu untuk memperbaiki apa yang telah ia hancurkan, meski itu berarti mengubah takdir orang-orang yang ia cintai.
Manakah yang akan di pilih oleh Rania?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#6
Happy Reading...
.
.
.
Jordi sedikit berlari mengejar Rania dengan napas terengah- engah.
Rania semakin mempercepat langkahnya, tetapi ternyata Jordi dapat menyusul lebih cepat. Dalam beberapa detik tangannya sudah ditarik cukup kuat hingga membuat tubuh Rania sedikit tersentak.
“Apa lagi?!” bentak Rania sambil berusaha melepaskan tangannya.
Jordi tidak menjawab. Ia hanya menarik Rania masuk ke pintu tangga darurat yang berada di dekat lorong kantor. Pintu itu terbuka dan menutup kembali dengan suara keras ketika Jordi mendorongnya.
“Apa maksudmu menarik aku seperti itu?” tanya Rania dengan nada tajam. "Apa kamu tahu kamu menyakitiku?" Protes Rania.
Jordi memejamkan kedua matanya sambil mencoba menahan emosinya. “Aku tidak mau kita bertengkar di depan banyak orang.” Jawabnya.
“Kenapa?” Tanya Rania. “Apa kamu malu??” Sindir Rania.
Jordi menatapnya dengan tatapan tajam.
“Rania, Apa kamu tahu? kamu tidak bisa bersikap seenaknya seperti ini kepadaku. Kamu mempermalukan aku di depan semua orang!”
Rania tertawa getir. “Aku mempermalukan kamu? Jordi, aku hanya mengatakan apa adanya! Aku mengatakan yang sebenarnya. Lalu apa kata kamu? Memperlakukan kamu seenakknya. ”
“Apa adanya menurut kamu,” sahut Jordi cepat. “Kamu bahkan tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskannya.”
Rania mendengus. “Menjelaskan apa? Bahwa kamu memanfaatkanku? Bahwa kamu dan Laras sedang merencanakan sesuatu di belakangku?”
Jordi memukul dinding dengan tinjunya, ia semakin merasa kesal dengan jawaban Rania. “Kamu selalu berlebihan, Ran. Selalu.” Keluh Jordi.
“Bagian mana dari tindakkanku yang berlebihan?!” Rania membalas lantang.
Hening sejenak. Lalu, Jordi mendekat satu langkah, menunduk sedikit agar wajah mereka sejajar.
“Aku diam selama ini karena kamu memang… seperti itu, Ran. Selalu seperti itu.”
Rania mengerutkan kening. “Maksud kamu?”
Jordi menarik napas kasar. “Kamu itu terlalu ambisius.”
Kata itu seolah seperti menamparnya. Rania membeku.
“Kamu selalu ingin terlihat sempurna, selalu ingin terlihat paling hebat di kantor.” Nada Jordi meninggi. “Kamu terlalu fokus pada pekerjaan kamu sampai-sampai kamu tidak pernah benar-benar melihat aku.”
“Aku?” Rania menunjuk dirinya sendiri, hampir tidak percaya.
“Ya!” Jordi membalas tanpa ragu. “Kamu tidak pernah sadar kalau selama ini kamu sibuk membangun citra sebagai perempuan pekerja keras. Kamu ambisius, Ran. Kamu selalu ingin diakui. Selalu ingin dianggap paling bisa.”
Rania merasa dadanya ditusuk. Kalimat itu bukan hanya menyakitkan, tetapi juga tidak adil untuknya. Selama ini ia membantu mengerjakan pekerjaan siapapun tanpa memandang orang itu. Tapi apa ini? Jordi malah mengatakan hal- hal yang membuatnya semakin sakit.
“Kamu benar-benar tidak tahu apa-apa tentangku.” ucap Rania dengan suara bergetar, bukan karena ia takut tetapi karena menahan ledakan amarah. “Aku bekerja keras bukan untuk ambisiku. Aku bekerja karena aku ingin… aku ingin merasa berharga. Karena tidak ada seorang pun, tidak di rumah, tidak di kantor, bahkan kamu juga. Tidak ada yang benar- benar pernah menganggapku cukup.”
Jordi memutar bola matanya. “Kamu selalu mengatakan alasan itu.. kamu...”
“Jordi…” Potong Rania. Ia menatapnya dengan raut tidak percaya. “Kamu memang tidak pernah mau mengerti aku.”
“Karena kamu sendiri tidak pernah membiarkan aku untuk mengerti.”
Perdebatan semakin panas. Rania menggigit bibir, menahan air mata karena ucapan Jordi semakin menyakiti dirinya lebih dalam dari sebelumnya.
“Dan lagi.” Lanjut Jordi, suaranya lebih tajam. “Kamu selalu merasa jadi korban. Padahal kamu juga punya salah. Kamu sering mengabaikan aku...”
“Aku mengabaikan kamu?” Rania memotong cepat. “Kapan?!”
“Setiap kali aku ajak bicara kamu sibuk dengan laptop. Setiap kali aku ingin jalan, kamu bilang ada deadline. Kamu selalu memprioritaskan pekerjaan dibanding hubungan kita.”
Rania menatapnya dengan mata membesar. “Itu bukan alasan sehingga kamu bisa memperlakukan aku seperti ini. Dan pekerjaan yang aku kerjakan itu sebagian besar adalah pekerjaan kamu kalau kamu lupa.”
Jordi mendengus sinis.
Beberapa detik Rania hanya menatap Jordi dalam diam. Lalu ia mengangguk pelan seolah akhirnya memahami sesuatu.
Rania menutup matanya sesaat, menahan napas, menahan emosi, menahan semua sakit yang menusuk dadanya. Lalu… ia membuka mata dengan tatapan yang sangat berbeda. Tatapan itu dingin dan penuh luka.
“Baik,” ucap Rania pelan. “Kalau begitu…”
Tanpa pikir panjang, telapak tangannya bergerak cepat.
Plak!
Suara tamparan menggema cukup keras di dalam ruang tangga darurat itu.
Pipi Jordi langsung memerah. Ia memegang pipinya terkejut, sementara Rania menatapnya tanpa berkedip.
“Aku tidak menampar kamu karena kamu berselingkuh di belakangku.” ucap Rania, suaranya serak menahan emosi. “Aku menampar kamu karena kamu sudah meremehkan luka yang aku rasakan.”
Jordi membuka mulut untuk bicara, namun tidak ada kata yang keluar.
Rania melangkah mundur, napasnya memburu. “Sudah cukup.”
Tanpa memberi Jordi kesempatan mengatakan apapun lagi, Rania berbalik dan berlari keluar dari tangga darurat. Pintu besi terbuka keras dan menutup kembali dengan suara menggema.
Jordi hanya bisa terpaku di tempatnya, memegang pipinya sambil menatap pintu yang baru saja ditutup Rania.
Rania berlari tanpa arah, tanpa peduli ke mana kakinya membawanya. Yang ia tahu hanyalah, jika ia tetap tinggal di sana bahkan hanya sebentar, ia mungkin akan benar-benar semakin hancur.
.
.
.
Sesampainya di kamar, Rania meletakkan tasnya dengan gerakan malas. Ia menghempaskan tubuhnya ke kasur dan menghela napas.
Pandangan matanya tertuju pada salah satu sisi dinding kamarnya. Di sana tergantung sebuah foto. Foto dirinya bersama Jordi dan Laras. Mereka bertiga tersenyum bahagia. Rania memandangi foto itu cukup lama. Matanya terasa panas, tetapi tidak ada air mata yang jatuh.
“Aku bodoh sekali, ya…” bisiknya lirih kepada dirinya sendiri.
Foto itu seolah sedang mengejeknya, menggambarkan kebahagiaan palsu yang begitu berlawanan dengan kenyataan sekarang. Rania bangkit perlahan, mendekati foto itu.
“Kenapa aku baru sadar sekarang…” gumam Rania pelan. Dari beberapa foto yang ia punya lebih banyak Jordi tersenyum dengan saling menatap dengan Laras.
Ia berdiri mematung di depan foto itu, seolah sedang menatap masa lalu yang terasa sangat menyakitkan.
“Kalian…” Rania mencoba tersenyum, namun tidak berhasil. “Kalian benar-benar membuatku merasa seperti orang paling bodoh di dunia ini.”
Sunyi. Hanya ada suara detak jarum jam di dinding yang masih setia berputar. Ia masih menatap foto itu. Ia mencoba mencari jawaban atas rasa sakit yang ia rasakan.
“Kalian pura-pura tertawa bersamaku.” lanjutnya “Padahal… kalian berdua sedang menertawakan aku.”
Ia akhirnya menyentuh bingkai foto itu, namun bukan dengan lembut. Rania menariknya dari dinding sedikit kasar hingga paku di dinding terlepas. Foto itu kini berada di tangannya. Ia menatapnya sekali lagi.
“Aku tidak butuh ini.”
Dengan gerakan tegas, ia meletakan foto itu di meja. Tidak merobeknya. Tidak membuangnya, hanya menyingkirkannya dari pandangannya.
Rania menghela napas panjang. “Aku lelah… sungguh lelah…”
Ia kembali duduk di kasur, memeluk lututnya sambil menunduk. Rania merasa seolah seluruh beban hidup menimpanya dari segala sisi.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak..