Rama dan Ayana dulunya adalah sahabat sejak kecil. Namun karena insiden kecelakaan yang menewaskan Kakaknya-Arsayd, membuat Rama pada saat itu memutuskan untuk membenci keluarga Ayana, karena kesalahpahaman.
Dalih membenci, rupanya Rama malah di jodohkan sang Ayah dengan Ayana sendiri.
Sering mendapat perlakuan buruk, bahkan tidak di akui, membuat Ayana harus menerima getirnya hidup, ketika sang buah hati lahir kedunia.
"Ibu... Dimana Ayah Zeva? Kenapa Zeva tidak pelnah beltemu Ayah?"
Zeva Arfana-bocah kecil berusia 3 tahun itu tidak pernah tahu siapa Ayah kandungnya sendiri. Bahkan, Rama selalu menunjukan sikap dinginya pada sang buah hati.
Ayana yang sudah lelah karena tahu suaminya secara terbuka menjalin hubungan dengan Mawar, justru memutuskan menerima tawaran Devan-untuk menjadi pacar sewaan Dokter tampan itu.
"Kamu berkhianat-aku juga bisa berkhianat, Mas! Jadi kita impas!"
Mampukah Ayana melewati prahara rumah tangganya? Atau dia dihadapkan pada pilihan sulit nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 14
Siang itu, di Paviliun.
Ayana beristirahat, setelah tadi menyajikan menu makan siang bersama beberapa pelayan lainnya. Setelah terjadi sedikit drama di meja makan, dan seperti biasa Bu Anita selalu membuatnya kesusahan.
Wanita cantik itu berjalan menuju Paviliun sambil membawa nampan yang berisikan makan siang untuk Ibunya-Bu Ratih.
"Hai sayang, yuk kita makan siang sama Nek Uti sama-sama," kata Ayana pecah ketika memasuki ruangan itu dari samping.
Zeva menoleh. Ia bangkit meskipun agak tertatih.
"Pelan-pelan, Zeva! Kakinya 'kan masih sakit," tegur Bu Ratih.
Sementara Zeva, bocah kecil itu hanya tersenyum kuda, sudah tidak sabar melihat apa menu makanan yang dibawakan Ibunya saat ini.
"Kok nggak ada puding coklat lagi, Ibu? Zeva pingin makan puding coklat!" rengek Zeva.
"Iya, nanti Ibu buatkan setelah Zeva makan ya! Sekarang Zeva makan dulu yuk," kata Ayana memindahkan lauk serta sayur pada piring Ibunya dan sang Putra.
Dari arah pintu samping, tiba-tiba Bik Sumi datang.
"Non, maaf Bibi ganggu. Bibi masuk ya?!" ucap Bik Sumi sembari masuk kedalam.
"Iya, Bik... Masuk aja! Bibi sudah makan? Kalau belum, ayo kita makan bersama!" balas Ayana menoleh.
Bu Ratih juga ikut menimpali, "Iya, Bik Sumi ... Ayo kita makan sama-sama!"
"Sudah, terimakasih Bu Ratih. Saya juga baru saja makan, kok!" kata Bik Sumi sebelum duduk. "Eh Non, itu... Non di panggil Bu Anita! Katanya mau di suruh beli makanan di Resto. Soalnya Non Milya lagi nggak cocok sama masakan kita."
Ayana bedecak, "Ck! Merepotkan saja sih! Kenapa nggak dia aja yang pergi sih, Mbok? Padahal masakan kita siang ini juga enak."
Bik Sumi menyetujui cercaan Nona mudanya itu. "Benar, Non! Kalau di rumah rewelnya melebihi keponakannya sendiri! Bibi malah suka kalau Non Milya pergi sekolah."
"Ya sudah, Bik... Aya ke sana dulu! Aya titip Zeva sama Ibu, ya?" lalu Ayana menatap Putranya, "Zeva... Jangan nakal sama Bik Sumi ya, Sayang! Ibu mau bekerja lagi."
"Iya, ati-ati, Ibu!" bocah kecil itu melambaikan tangan, lalu kembali menikmati makanannya.
*
*
Ayana sudah berdiri malas di samping sofa ruang tengah.
Dengan wajah acuhnya, Bu Anita hanya menoleh sekilas lalu melempar kertas yang dimana terdapat beberapa catatan makanan kesukaan Milya.
Ayana tertunduk, lalu segera mengambil selembar kertas yang sudah kucel itu.
"Saya nggak mau tahu, pukul 2 kamu harus sampai di rumah!" tekannya.
Ayana terbelalak, wajahnya sudah menahan kesal, hingga bibirnya langsung terbuka. "Yang benar aja, Bu... Perjalanan ke Resto aja udah 1 jam. Belum lagi kalau macet-"
"Saya nggak mau tahu!" selanya.
"Ck!" decak Ayana. Setelah itu ia langsung melenggang keluar begitu saja. "Emangnya saya ini Jiny oh Jiny apa?! bisa sekali langsung menghilang," gerutunya.
Dengan penampilan apa adanya itu, Ayana bergegas menuju garansi, karena ia akan menggunakan motor agar cepat sampai di Resto langganan.
Setidaknya, hitung-hitung Ayana dapat me time, meskipun di kejar oleh waktu. Namun jika tidak seperti itu, jarang sekali ia keluar sendiri, sebab putranya tidak ada yang mengasuh.
Setelah keluar dari perumahan elit itu, Ayana melajukan motornya di jalan raya yang penuh dengan berbagai macam kendaraan. Untuk sejenak, senyum di bibirnya terukir lembut. Meskipun hidup dalam tekanan, namun ia menjalaninya dengan ikhlas. Jadi, ia tak begitu larut dalam kesedihan ataupun penderitaan.
Pikir Ayana, biarkan saja suaminya bebas dengan dunianya sendiri. Yang terpenting, semua kebutuhan keluarganya tercukupi oleh sang Mertua. Dan jikapun ia harus keluar dari Paviliun itu, Ayana pastikan kalimat itu keluar dari mulut Tuan Ibrahim sendiri.
Lampu merah.
Ayana menghentikan motornya paling depan. Ia membuka kaca helmnya, menunggu sambil bernyanyi ringan.
🎶 Menarilah dan terus tertawa...
🎶 Walau dunia tak se'indah surga...
🎶 Bersyukurlah pada yang kuasa...
Aya tak pernah tahu, jika saat ini ada seseorang di balik mobil yang melihat tingkah kekonyolannya itu dengan tersenyum sendiri.
"Bagaimana dia bisa bertingkah se lucu itu?" Pria dibalik mobil itu tersenyum tipis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Lampu sudah berganti merah.
Ayana kembali melajukan tarikan gas motornya, hingga dalam beberapa menit itu, motor motic yang ia kendarai sudah memasuki halaman parkir Resto langganan keluarga Jayantaka.
Cafe and Resto Dejavu
Setelah melepas helm dan merapikan sedikit kuncir rambutnya, Ayana segera berjalan menuju samping, sebab pintu utama sangat ramai akan pengunjung. Dan di pintu samping itu, ia langsung menuju kasir untuk menyerahkan pesanan dari Bu Anita.
Sementara dari depan, yang posisinya terhalang oleh dinding kaca, Rama tampak shock melihat istrinya berdiri di depan kasir.
"Sayang, kamu lihatin apasih?" Mawar sampai ikut menoleh ke belakang, namun ia tak melihat Ayana yang terhalang oleh beberapa orang.
'Ngapain Ayana sampai ke Resto ini? Sama siapa dia?' Rama masih terus menajamkan matanya ke depan.
Mawar semakin di buat bingung. Ia memicingkan matanya, lalu menepuk tangan Rama hingga pria itu tersadar.
"Rama, kamu kenapa? Lihatin apa sih?"
"Oh, em... Nggak, aku nggak lihatin apa-apa! Kamu lanjutin aja makanmu. Aku mau ke toilet bentar," pamitnya seraya bangkit.
Mawar hanya mengangguk sambil tersenyum. "Jangan lama-lama!"
Tak mengidahkan ucapan kekasihnya, Rama dengan langkah tegasnya langsung saja berjalan kedepan menuju kasir.
Ayana-wanita cantik itu akan berniat duduk, karena masih menunggu pesanannya dibuat. Ia hanya mampu menatap kesekeliling, melihat beberapa orang dengan antusiasnya menikmati makanan mahal itu. Senyum getir terbit dari bibir tipisnya, seraya menelan ludah kasar.
"Apa saya boleh duduk disini?" Ucap seseorang yang sudah berdiri di depan Ayana.
Deg!
Rama menghentikan langkahnya. Ia berdiri kaku menatap pemandangan didepannya kini. Wajahnya tegang, hingga dadanya terasa bergemuruh.
Ayana perlahan menghatamkan pandanganya. Ia bangkit, sedikit salah tingkah begitu terkejut.
"Dokter Devan... Si-silahkan duduk! Nggak papa, duduk aja!" balas Ayana terbata.
Devan tersenyum. Lalu ia segera menarik kursi didepannya, dan langsung duduk didepan Ayana.
"Loh, kok hanya duduk saja? Nggak pesen makanan?" Devan mengerutkan dahinya bingung.
"Em, itu... Saya lagi nunggu pesanan buat Majikan saya, Pak Devan."
Devan semakin terlihat serius mendengar kalimat Majikan dari Ayana. "Majikan? Maksud kamu?"
"Iya, saya bekerja sebagai pelayan rumahan, Pak! Hehe...." kata Ayana tersenyum segan.
"Oh... Memangnya, kalau kamu bekerja, lalu... Anak sama Ibu kamu bagaimana?" Devan masih ingin tahu seluk beluk keluarga Ayana.
Ayana sejenak berpikir. Ia tampak begitu kesusahan harus menjawab seperti apa. "Saya menggantikan Ibu saya, Pak! Putra saya titipkan sama Ibu. Dan untungnya tempat saja kerja itu deket, jadi kalau siang masih bisa pulang."
"Lalu, suami kamu?"
Dan disaat itulah, kasir memanggil Ayana sebab pesanannya sudah siap.
"Pak, sebentar ya... Saya mau ambil pesanan saya dulu."
Devan mengangguk, "Oh ya silahkan-silahkan!"
Rama mengepalkan tangannya kuat. Wajahnya sudah memerah menahan emosi yang siap meledak. Entah mengapa, rasanya tidak terlalu menyenangkan melihat istrinya di dekati pria lain. Rama urungkan niatnya ke toilet. Ia kembali menuju depan, namun tidak ke mejanya dengan Mawar.
"Siapa Pria itu? Apa Ayana sengaja membuat janji dengan pria lain di sini?!" geram batin Rama.
Ayana sudah kembali dengan membawa 2 tas bekal makan. Namun sebelum itu ia mendekat ke arah Dokter Devan terlebih dulu.
"Sudah selesai?"
Ayana sedikit mengangkat tas bekal tadi, "Sudah, Dokter! Kalau begitu saya permisi dulu," katanya sedikit tertunduk.
Sret!
Ayana tersentak kala tanganya ditahan sejenak. Wajahnya sampai menoleh sebatas bahu.
"Oh, maaf Ayana... Makanlah dulu, kamu pasti belum makan siang tadi 'kan?"
Lagi-lagi Ayana berpikir. Memang ia sejak pagi belum kemasukan makanan apapun. Tapi, lagi-lagi ia menunduk menatap pesanan Mertuanya itu. Aya hanya tidak ingin menimbulkan masalah lagi, jika ia sampai terlambat tibanya.
"Kamu takut jika Majikanmu marah?" Devan seolah tahu diamnya sang wanita.
Ayana menganguk kecil.
"Sebentar saja! Saya sudah memesankan makan siang untukmu. Jika Majikanmu sampai marah... Sebentar," Devan terlihat mengeluarkan sesuatu dalam dompetnya. "Ini, ambilah! Ada nomor pribadi saya, dan memang jika Majikanmu marah karena kamu terlambat, maka saya yang akan bertanggung jawab!"
Satu tangan Ayana ditarik Devan, dan diberikan tadi kartu nama miliknya.
Waiters sudah datang membawa nampan yang berisikan makanan dan minuman pesanan Devan. Jadi mau tidak mau, Ayana mengiyakan traktiran Dokter Ibunya itu.
"Silahkan, Pak, Bu... Jika masih ada yang di perlukan bisa panggil kami! Terimakasih, selamat makan!"
Devan hanya mengangguk.
"Terimakasih, Mas!" Ayana menimpali.
Makanan Ayana disamakan oleh milik Devan, yakni dua piring steak daging beserta minumnya dua gelas jus alpukat. Devan juga memesan air mineral, karena memang ia tidak pernah bisa lepas dengan air sehat itu.
"Loh, ayo dimanakan Ayana! Kok hanya di lihatin saja?" tegur Devan.
"Maaf, Dok! Tapi saya nggak bisa caranya makan pakai pisau! Saya nggak biasa makan-makanan orang kaya gini," katanya tersenyum getir.
Devan hanya mampu tersenyum hangat. Selanjutnya, ia potong steak daging didepannya itu, dan langsung ia tukarkan miliknya dengan piring steak Ayana.
"Makan, ya! Itu sudah saya potongkan kecil-kecil. Kamu tinggal tusuk saja pakai garpu."
Ayana mengangguk kecil sedikit segan. Dan dengan perlahan namun pasti, ia mulai memasukan suap demi suap daging beserta sayurannya kedalam mulut.
Devan sedikit terkekeh melihat Ayana makan sampai belepotan. Ia sudah berniat menarik satu tisu dari tempatnya.
"Hehe... Maaf, Dok... Saya belepotan ya, makannya?" Ayana mencoba mengelap mulutnya sendiri.
Namun Devan dengan sigap mengulurkan tangannya untuk membantu Ayana mengelap bibirnya, "Sebentar, ini masih ada yang terkena sausnya. Kamu lucu ya, kalau makan?! Tapi saya senang melihat kamu begitu menikmatinya," Devan tersenyum puas.
"Dok, maaf-"
Dan untuk beberapa detik tatapan mereka saling terkunci.