Winter Alzona, CEO termuda dan tercantik Asia Tenggara, berdiri di puncak kejayaannya.
Namun di balik glamor itu, dia menyimpan satu tujuan: menghancurkan pria yang dulu membuatnya hampir kehilangan segalanya—Darren Reigar, pengusaha muda ambisius yang dulu menginjak harga dirinya.
Saat perusahaan Darren terancam bangkrut akibat skandal internal, Winter menawarkan “bantuan”…
Dengan satu syarat: Darren harus menikah dengannya.
Pernikahan dingin itu seharusnya hanya alat balas dendam Winter. Dia ingin menunjukkan bahwa dialah yang sekarang memegang kuasa—bahwa Darren pernah meremehkan orang yang salah.
Tapi ada satu hal yang tidak dia prediksi:
Darren tidak lagi sama.
Pria itu misterius, lebih gelap, lebih menggoda… dan tampak menyimpan rahasia yang membuat Winter justru terjebak dalam permainan berbeda—permainan ketertarikan, obsesi, dan keintiman yang makin hari makin membakar batas mereka.
Apakah ini perang balas dendam…
Atau cinta yang dipaksakan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 — “Aku Benci Diriku yang Terlalu Lemah”
Keheningan setelah malam di ruang kerja terasa jauh lebih mematikan daripada ledakan emosi apa pun. Winter tidak bisa tidur. Ia menghabiskan sisa malam itu bersandar di pintu yang baru dikuncinya, berusaha menenangkan detak jantungnya yang histeris. Ia membenci cermin. Ia membenci dirinya sendiri.
Aku adalah Winter Alzona. Aku tidak pernah tunduk pada emosi. Aku tidak pernah lemah.
Namun, memori sentuhan Darren di pipinya, kehangatan napasnya yang hampir mencium bibirnya, terasa begitu nyata hingga ia ingin berteriak. Yang paling ia benci adalah fakta bahwa ia membiarkannya mendekat. Ia tidak menamparnya. Ia hanya memejamkan mata, memohon agar momen itu tidak berakhir.
Kini, setiap kali ia melihat Darren di penthouse, ia harus memasang perisai yang lebih tebal. Ia tidak makan di rumah, tidak pulang hingga larut malam, dan menghindari tatapan mata Darren dengan resolusi yang dingin.
Pagi itu, Winter memutuskan untuk kembali ke rutinitas kejamnya. Dia bekerja keras untuk membuktikan bahwa ia tidak terganggu. Ia berhasil menutup salah satu celah hukum Wray Group, menjamin tuntutan balik mereka akan berjalan mulus.
Siang hari, Adrian Vellion datang ke kantor Winter. Pengacara itu tampak lelah dan gugup.
“Nona Winter, saya membawa dokumen finalisasi kontrak pinjaman. Ini adalah addendum yang kami susun untuk memastikan seluruh aset Reigar kini terintegrasi secara hukum di bawah Alzona Group. Ini akan mengamankan tuntutan kita terhadap Wray,” jelas Adrian, meletakkan berkas tebal di meja.
Winter mengambil pena. Ia tidak hanya melihat Adrian sebagai pengacara; Adrian adalah simbol kendalinya, benteng rasionalitasnya. Pria yang selalu melayaninya tanpa tuntutan emosional, tanpa pertanyaan pribadi.
“Laporan bagus, Adrian. Aku menghargai profesionalismemu,” kata Winter, wajahnya melembut. “Kita harus merayakan keberhasilan kecil ini. Bagaimana jika kau bergabung makan siang denganku di luar?”
Adrian terlihat terkejut. Winter hampir tidak pernah mengajaknya makan siang bersama, apalagi di tengah minggu yang sibuk.
“Tentu saja, Nona Winter. Sebuah kehormatan.” Adrian tersenyum, senyum yang tulus.
Saat mereka berdua bersiap meninggalkan kantor—Winter mengambil tasnya, dan Adrian merapikan dokumen—pintu kantor Winter dibuka tanpa ketukan.
Darren masuk, wajahnya tegang, tetapi matanya memancarkan amarah yang dingin.
Darren tidak melihat Winter. Ia hanya melihat Adrian yang berdiri terlalu dekat dengan Winter, memegang berkas yang tampak penting.
“Adrian,” sapa Darren, suaranya tajam. “Kau di sini lagi. Aku pikir semua laporan harus diserahkan melalui server aman.”
Adrian menegakkan tubuh. “Tuan Reigar, ini adalah dokumen legal yang sensitif, addendum pinjaman. Nona Winter harus menandatanganinya secara langsung.”
“Addendum pinjaman,” ulang Darren, langkahnya maju. Ia kini berdiri di hadapan Adrian. Winter merasa suasana di ruangan itu berubah menjadi dingin.
Darren menoleh ke Winter. “Kau tidak memberitahuku tentang addendum pinjaman baru, Winter. Bukankah kita sepakat bahwa aku harus meninjau semua keputusan finansial yang berkaitan dengan Reigar?”
“Ini adalah formalitas internal Alzona, Darren. Itu tidak melanggar klausul kontrak bisnis kita,” balas Winter, mempertahankan suaranya tetap tenang. “Dan bisakah kau menyingkir? Aku dan Adrian akan pergi makan siang.”
Frasa ‘Adrian dan aku’ terasa seperti percikan api di mata Darren. Kecemburuan itu tersembunyi dengan baik, tetapi terasa sangat nyata.
Darren tidak bergerak. Ia justru mengabaikan Winter dan mencondongkan tubuh sedikit ke arah Adrian.
“Kontrak apa yang kau pegang, Adrian? Kontrak pinjaman? Atau kontrak baru yang lain?” tanya Darren, nadanya berbahaya. “Apakah kau di sini untuk bernegosiasi lagi dengan Winter? Apakah kau membawa dokumen perceraian?”
Adrian tampak bingung. “Tuan Reigar, saya tidak mengerti. Ini murni dokumen korporat.”
Darren tertawa sinis, tawa yang tidak lucu sama sekali. “Kau datang ke sini setiap hari, Adrian. Kau adalah satu-satunya pria yang Winter izinkan di dekatnya. Kau satu-satunya pria yang bisa membuatnya tersenyum sedikit di tengah kekacauan ini. Wray mencoba membelinya. Kau mencoba mendapatkan hatinya.”
“Darren, hentikan!” perintah Winter. Ia tidak tahan melihat Darren mempermalukan Adrian. “Kau salah paham. Adrian hanyalah pengacaraku.”
Darren akhirnya menoleh ke Winter. Matanya penuh dengan tuduhan dan kepahitan.
“Aku tahu kau membenciku, Winter. Aku tahu kau ingin aku menderita. Tapi jangan gunakan pria lain untuk membalas dendam padaku,” bisik Darren, suaranya rendah, hanya untuk didengar Winter. “Apakah kau berpikir, dengan melihatmu pergi makan siang bersamanya, itu akan membuatku cemburu? Itu tidak akan berhasil.”
Winter merasakan kemarahan karena tuduhan itu, tetapi yang lebih kuat adalah rasa sakit karena ia tahu Darren sedikit benar. Ia memang ingin membuat Darren cemburu, untuk mendapatkan kembali kendali.
“Aku tidak menggunakan siapa pun, Darren. Aku yang mengendalikan hidupku,” balas Winter, mengambil tasnya dengan sentakan. “Adrian, ayo pergi.”
Adrian terlihat sangat tidak nyaman, tetapi ia segera mengikuti Winter.
Darren berdiri di ambang pintu, melihat mereka pergi. Ia tidak berteriak atau membanting pintu. Ia hanya berdiri di sana, mengamati.
Makan siang di luar terasa seperti kegagalan yang menyedihkan. Winter tidak bisa fokus. Ia hanya bisa melihat Adrian dari sudut pandangnya: sosok yang stabil, pendamping yang logis. Ia membandingkan Adrian dengan Darren, yang liar, panas, dan berbahaya.
“Nona Winter, apakah Tuan Reigar baik-baik saja?” tanya Adrian hati-hati. “Dia terlihat sangat… tegang.”
“Dia baik-baik saja,” jawab Winter tajam. “Dia hanya kesulitan menyesuaikan diri dengan peraturan baru Alzona Group.”
Winter mencoba mengalihkan pembicaraan ke kasus Wray, tetapi pikirannya terus kembali ke kata-kata Darren: “Kau adalah satu-satunya pria yang Winter izinkan di dekatnya.”
Winter menyadari: Darren melihat Adrian sebagai rival. Dan rasa cemburu yang terpendam itu, meskipun mengganggu, memberi Winter sedikit rasa kemenangan.
Namun, kemenangan itu berumur pendek. Di tengah makan siang, ponsel Winter berdering. Itu Lysandra.
“Winter, kau harus segera pulang!” seru Lysandra, suaranya panik.
“Ada apa, Lysandra? Aku sedang makan siang.”
“Aku baru saja mendengar dari Mama. Dia ada di penthouse sekarang. Dia ingin ‘mengunjungi pengantin baru’ dan melihat bagaimana ‘putriku yang malang’ tinggal bersama pria yang seharusnya dia benci!”
Wajah Winter pucat pasi. Ibunya, Ny. Alzona, adalah ratu masyarakat kelas atas. Ibunya adalah orang yang paling ia takuti, yang selalu menuntut kesempurnaan dan yang akan paling cepat mencium bau sandiwara di pernikahan kontrak ini.
“Aku akan segera kembali. Kau urus dia, Lysandra.”
“Aku tidak bisa! Dia menanyakan Darren. Dia ingin tahu tentang kamar terpisah! Dia bahkan mengukur jarak antara kamarmu dan kamar Darren!” seru Lysandra.
Winter mematikan telepon. Ia memelototi Adrian.
“Batalkan semua janji. Adrian, kita harus segera kembali. Ibuku ada di penthouse,” kata Winter.
“Apakah itu masalah besar?” tanya Adrian.
“Ibuku adalah orang yang akan membongkar seluruh kontrak ini dalam lima menit jika dia mencium bau sandiwara. Dia tidak boleh tahu tentang kamar terpisah,” jelas Winter, bangkit berdiri.
Winter dan Adrian bergegas kembali ke penthouse.
Di lift, Winter mulai panik. Ia tahu ibunya akan mengajukan pertanyaan yang mustahil dijawab, seperti, "Kenapa tidak ada foto kalian berdua di kamar tidur?" atau, "Kenapa pakaianmu tidak bercampur dengan pakaian suamimu di lemari?"
Tiba-tiba, Winter mendapat ide. Ide yang gila, berisiko, dan melibatkan penghancuran sisa-sisa aturan rumah tangga mereka.
“Adrian,” kata Winter, wajahnya pucat tetapi matanya tajam. “Kau harus melakukan satu hal untukku. Kau harus masuk ke kamar Darren dan pindahkan barang-barang pribadinya—secepat mungkin—ke kamarku. Pakaian, sikat gigi, apa pun yang terlihat intim.”
Adrian terkejut. “Nona Winter, itu melanggar privasi Tuan Reigar. Dan… dan kamar itu terkunci.”
“Kau punya kunci cadangan. Kau yang memasang Master Access Control yang baru, kau punya kuncinya,” balas Winter, mendesak. “Lakukan! Ini penting untuk menjaga rahasia kontrak ini. Ibuku tidak boleh tahu!”
Adrian, meskipun tampak tidak nyaman, mengangguk. Loyalitasnya pada Winter jauh lebih besar daripada rasa hormatnya pada Darren.
Saat lift terbuka, Winter berjalan cepat menuju pintu utama. Ia melihat Lysandra yang tampak gelisah di ruang tamu.
“Dia ada di kamar utama!” bisik Lysandra. “Dia baru saja keluar dari kamarmu. Aku mencoba mengalihkan perhatiannya, tapi dia melihat kamar tamu! Dia bertanya kenapa kamar itu begitu rapi.”
Winter menelan ludah. Ibunya sudah berada di kamarnya.
“Adrian, kau masuk. Sekarang!” perintah Winter, menunjuk ke kamar tamu Darren.
Winter menarik napas panjang, berjalan masuk ke kamar tidurnya. Ibunya, Ny. Alzona, berdiri di tengah kamar, mengamati sprei sutra yang masih licin.
“Winter, akhirnya kau datang,” sapa Ny. Alzona, suaranya lembut, tetapi dingin. “Aku hanya ingin melihat bagaimana anakku yang paling dingin akhirnya menjadi seorang istri. Aku melihat suamimu tidak ada di sini. Apakah dia sedang bekerja keras untukmu?”
“Tentu saja, Ma. Dia ada di kantor pusat Reigar. Kami sedang mengurus masalah Wray,” jawab Winter, mempertahankan postur sempurna.
Ny. Alzona berjalan ke lemari pakaian Winter. “Lemari ini indah. Tapi, Winter, aku tidak melihat pakaian suamimu di sini. Hanya gaunmu. Apakah dia tidak mencampur pakaiannya dengan milikmu?”
Winter merasakan keringat dingin. Ia tidak sempat memikirkan lemari.
Saat itu, pintu kamar Winter terbuka lagi.
Bukan Adrian. Melainkan Darren.
Ia masuk, mengenakan setelan kantor, tetapi ia tampak baru berlari maraton. Napasnya terengah-engah, dan ia memegang beberapa helai pakaian di tangannya: kemeja, dasi, dan celana panjang yang kusut.
Ia melempar pakaian itu ke lantai di samping lemari Winter.
“Aku minta maaf, Sayang,” kata Darren, suaranya dipenuhi frustrasi yang palsu. Ia berjalan ke arah Ny. Alzona, lalu mencium pipinya dengan hormat.
“Selamat datang, Mama. Saya sangat senang Anda berkunjung,” kata Darren. Ia menoleh ke Winter, dan matanya menyala dengan api yang berbahaya.
“Winter, aku sudah bilang padamu untuk tidak mengunci lemari di sisi kamarmu. Aku ingin cepat ganti pakaian, dan aku harus membongkar pintu penghubung hanya untuk mengambil beberapa pakaian. Maafkan kekacauan ini, Ma. Istriku ini masih suka bermain-main dengan ‘ruang pribadinya’,” jelas Darren, dengan senyum yang sangat menawan.
Ny. Alzona tersenyum. “Anak muda. Aku mengerti. Butuh waktu untuk berbagi ruang.”
Winter menatap Darren, merasa perutnya melilit. Ia tahu Darren berbohong. Ia tidak pernah mengunci lemari itu.
“Kenapa kau tidak menaruh pakaianmu di kamar tamu, Darren?” tanya Ny. Alzona, mencoba menguji.
“Kamar tamu?” Darren tertawa. Ia merangkul Winter dengan tangan yang sangat posesif, menariknya ke pelukannya. Winter menegang, tetapi ia membiarkannya. “Mama. Tentu saja kami tidur bersama. Kami adalah pengantin baru. Kamar tamu hanya untuk jika kami bertengkar hebat, yang sejauh ini belum terjadi.”
Darren mencondongkan tubuh sedikit ke arah Winter, bibirnya menyentuh telinga Winter, dan ia berbisik.
“Aku baru saja mengunci Adrian di kamar tamu, Winter. Aku mengira kau ingin memberinya kontrak yang sangat sensitif di sana. Aku akan melepaskannya setelah Mama pergi. Kau berhutang padaku, istriku.”
Winter tidak bisa berkata-kata. Adrian, yang seharusnya memindahkan barang-barang Darren, kini terkunci di kamar tamu! Darren pasti melihat Adrian masuk dan mengambil tindakan cepat, mengunci pengacara itu di ruangan itu.
Darren memeluk Winter di depan ibunya, menegaskan peran suami yang baru menikah. Ia telah menyelamatkan Winter, tetapi dengan harga yang sangat mahal: ia kini benar-benar mengambil alih kendali.
Winter Alzona membenci dirinya sendiri. Ia membenci betapa lemahnya ia, dan ia membenci betapa panasnya rasa pelukan posesif Darren di depan ibunya. Dendamnya tidak lagi penting. Yang penting adalah, ia terperangkap.