Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Gencatan Senjata
Jakarta menyambut kepulangan mereka dengan kemacetan Senin pagi yang brutal dan langit kelabu yang menggantung rendah.
Sesuai janjinya di Yogyakarta, Kaluna benar-benar membangun tembok setinggi langit. Begitu mereka tiba di lobi kantor setelah perjalanan pulang yang membisu, Kaluna langsung pamit dengan anggukan formal, mengambil kopernya, dan menghilang ke dalam taksi tanpa menoleh lagi.
Seminggu telah berlalu sejak hari itu.
Suasana di lantai 40 Adhitama Tower berubah drastis. Jika sebelumnya udara dipenuhi ketegangan panas akibat perdebatan antara CEO dan Arsitek, kini udara terasa dingin dan steril. Sangat tenang, tapi jenis ketenangan yang membuat bulu kuduk meremang—seperti ketenangan sebelum badai, atau ketenangan di ruang jenazah.
"Pak, ini laporan progres mingguan dari Bu Kaluna," Rian meletakkan map biru di meja Bara dengan hati-hati, seolah map itu berisi bahan peledak.
Bara tidak langsung mengambilnya. Ia menatap map itu dengan tatapan kosong.
"Dia tidak mau mengantarkannya sendiri?" tanya Bara, meski ia sudah tahu jawabannya.
Rian menggeleng canggung. "Bu Kaluna bilang dia harus segera ke lapangan untuk cek pengecoran lantai dasar. Jadi dia titip ke saya."
Bara mendengus pelan, senyum miris terukir di bibirnya. Pengecut, batinnya. Tapi ia tahu ia tidak berhak menyebut Kaluna pengecut. Kaluna hanya melakukan apa yang ia minta: menjadi profesional. Menjaga jarak.
"Baik. Kamu boleh keluar," usir Bara halus.
Begitu Rian pergi, Bara membuka map itu. Laporannya sempurna. Rapi, detail, dan komprehensif. Tidak ada celah sedikit pun untuk Bara mengkritik atau memanggilnya demi "revisi". Bahkan memo tempel (sticky note) yang biasanya ditempel Kaluna dengan tulisan tangan cakar ayamnya—seperti 'Tolong cek bagian ini, Pak Bos!'—kini hilang. Semuanya diketik komputer.
Dingin. Tidak personal.
Bara menyandarkan punggung ke kursi kulitnya yang mahal, memutar tubuhnya menghadap dinding kaca yang memisahkan ruangannya dengan area kerja staf (open space office).
Dari balik tirai blinds yang sedikit terbuka, mata Bara mencari satu sosok.
Di sana. Di meja sudut dekat jendela.
Kaluna sedang bekerja. Ia mengenakan kemeja putih polos dan rambutnya dicepol tinggi asal-asalan, memperlihatkan leher jenjangnya. Ia tampak serius menatap layar monitor ganda, sesekali menyeruput kopi dari tumbler yang Bara tahu isinya pasti Americano tanpa gula.
Bara mengamati wanita itu seperti pecandu yang sedang sakau mengamati obatnya dari balik kaca etalase.
Ia rindu.
Tuhan, ia rindu setengah mati.
Ia rindu suara Kaluna yang mendebatnya. Ia rindu aroma vanila samar dari rambutnya. Ia bahkan rindu tatapan marahnya. Keheningan ini membunuhnya perlahan.
Tiba-tiba, Bara melihat Kaluna meringis. Wanita itu melepaskan mouse, lalu memijat tengkuk dan punggung bawahnya. Ia memutar-mutar lehernya, mencoba meregangkan otot yang kaku. Kursi kerja standar kantor itu sepertinya tidak cukup nyaman untuk jam kerja Kaluna yang gila-gilaan—seringkali 12 jam duduk non-stop.
Kaluna mengambil bantal kecil dari tasnya dan mengganjal punggungnya, lalu kembali bekerja dengan wajah menahan lelah.
Rahang Bara mengeras melihat itu.
Ia meraih gagang telepon di mejanya, menekan nomor ekstensi bagian Logistik dan Pengadaan.
"Halo, Pak Rudi? Ini Bara."
"Siang, Pak Bara! Ada yang bisa dibantu?"
"Saya mau pesan kursi kerja baru. Ergonomis. Merek Herman Miller Aeron. Warna Graphite," perintah Bara cepat.
"Siap, Pak. Untuk ruangan Bapak? Kursi Bapak yang sekarang kan baru ganti bulan lalu..."
"Bukan buat saya," potong Bara. "Kirim ke lantai 40. Untuk meja Arsitek Kepala, Kaluna Ayunindya. Pastikan barangnya sampai besok pagi sebelum dia datang."
"Siap, Pak. Nanti tagihannya saya masukkan ke inventaris kantor atau—"
"Jangan masukkan ke inventaris kantor. Tagihkan ke kartu kredit pribadi saya," sela Bara tegas. "Dan satu lagi, Rudi. Kalau dia tanya dari mana..."
Bara jeda sejenak, menatap punggung Kaluna dari kejauhan.
"...bilang saja itu standar baru fasilitas manajemen untuk level manajer ke atas. Jangan sebut nama saya. Paham?"
"Me-mengerti, Pak Bara."
Bara menutup telepon. Ia kembali menatap Kaluna yang masih sibuk memijat bahunya sendiri.
Hanya ini yang bisa kulakukan sekarang, Lun, batin Bara. Mencintaimu dalam diam. Merawatmu dari jauh.
Keesokan harinya.
Kaluna datang terlambat sepuluh menit karena macet di Semanggi. Ia berjalan cepat menuju mejanya sambil membawa segelas kopi dan gulungan kertas A1, pikirannya sudah penuh dengan daftar tugas hari ini.
Saat ia sampai di kubikelnya, langkahnya terhenti mendadak.
Kursi kerja lamanya yang beroda macet dan sandarannya keras sudah hilang.
Sebagai gantinya, sebuah kursi kerja jaring-jaring (mesh) berwarna hitam grafit yang terlihat sangat futuristik dan mahal berdiri gagah di depan mejanya.
Kaluna mengerjap. Ia tahu kursi ini. Ini Herman Miller Aeron. Kursi 'sultan' yang harganya bisa buat beli motor matic baru. Dulu saat kuliah, kursi ini adalah impian semua anak arsitektur karena kenyamanannya yang legendaris.
"Rian?" panggil Kaluna.
Rian muncul dari balik partisi sambil mengunyah roti. "Ya, Mbak?"
"Ini... kursi siapa? Kok ada di meja saya?"
"Oh, itu!" Rian menelan rotinya. "Tadi pagi orang logistik nganterin. Katanya jatah buat Mbak Kaluna."
"Jatah?" Kaluna mengernyit, menyentuh sandaran tangan kursi itu yang terasa halus dan kokoh. "Perasaan saya nggak minta pengadaan barang."
"Kata Pak Rudi logistik sih, ini standar baru fasilitas buat level Lead Architect ke atas, Mbak. Rejeki anak sholeh, terima aja. Kursi lama Mbak kan emang udah kayak kursi penyiksaan."
Kaluna duduk perlahan di kursi itu.
Nyaman.
Sangat nyaman. Penopang punggungnya (lumbar support) pas sekali menekan titik pegal di pinggangnya. Sandaran kepalanya bisa diatur. Rasanya seperti dipeluk awan.
Kaluna memutar kursi itu sedikit, matanya tanpa sadar melirik ke arah ruangan kaca besar di ujung ruangan.
Tirai ruangan CEO tertutup rapat.
Tapi Kaluna tahu.
Tidak mungkin manajemen tiba-tiba membelikan kursi seharga puluhan juta hanya untuk konsultan kontrak seperti dia. Tidak ada dalam SOP perusahaan memberikan fasilitas semewah ini untuk orang luar.
Hanya ada satu orang yang memiliki otoritas (dan uang) untuk melakukan ini tanpa birokrasi berbelit. Dan hanya ada satu orang yang tahu bahwa Kaluna punya riwayat sakit pinggang kalau terlalu lama menggambar.
Bara.
Kaluna merasakan hangat menjalar di dadanya, diikuti rasa perih di matanya.
Pria itu memperhatikannya. Meski mereka tidak saling bicara, meski Kaluna sudah mengusirnya secara emosional, Bara masih memperhatikannya. Kursi ini adalah cara Bara bilang 'Jaga kesehatanmu' tanpa harus melanggar batas yang Kaluna buat.
Kaluna menatap pintu tertutup itu lama sekali.
"Terima kasih," bisiknya tanpa suara, berharap angin bisa menyampaikan pesan itu menembus dinding kaca kedap suara.
Ia membuka laptopnya, mulai bekerja. Rasa pegal di punggungnya hilang, tapi rasa rindu di hatinya justru semakin bertumpuk.
Siang harinya, Bara baru saja selesai conference call dengan investor Singapura ketika pintu ruangannya diketuk.
"Masuk."
Rian masuk, membawa nampan berisi kopi dan... sebuah kotak bekal kecil berwarna biru muda.
Alis Bara terangkat. "Apa itu?"
Rian meletakkan kopi dan kotak bekal itu di meja. Wajah asisten itu tampak geli sekaligus takut.
"Dari Bu Kaluna, Pak."
Jantung Bara berdetak lebih cepat satu ketukan. "Dia ke sini?"
"Nggak, Pak. Dia titip ke saya pas di pantry tadi," jelas Rian. "Katanya... 'Bilang ke Pak Bara, terima kasih untuk fasilitas barunya. Kursinya sangat membantu. Ini sebagai tanda terima kasih, kebetulan saya masak lebih hari ini'."
Bara menatap kotak bekal itu seperti menatap harta karun.
"Oke. Kamu keluar."
Begitu pintu tertutup, Bara menarik kotak bekal itu mendekat. Kotak bekal sederhana, jenis yang biasa dipakai anak TK.
Ia membukanya.
Isinya Nasi Goreng Kampung. Tanpa kecap, banyak bawang merah, cabai rawit utuh, dan suwiran ayam. Di atasnya ada telur dadar iris tipis.
Ini nasi goreng resep rahasia Kaluna. Nasi goreng yang selalu Kaluna buatkan untuk sarapan Bara dulu setiap hari Minggu. Bara pernah bilang, ini adalah makanan terenak di dunia baginya.
Bara mengambil sendok yang disertakan. Tangannya sedikit gemetar.
Ia menyuapkan satu sendok nasi goreng itu ke mulutnya.
Rasa gurih, pedas, dan aroma bawang yang khas meledak di lidahnya. Rasanya persis sama seperti lima tahun lalu. Tidak ada yang berubah. Kaluna masih mengingat seleranya dengan detail yang menakutkan.
Bara makan dengan perlahan, meresapi setiap kunyahan. Tanpa sadar, matanya memanas. Makanan ini bukan sekadar tanda terima kasih atas kursi. Ini adalah pesan perdamaian. Ini adalah cara Kaluna bilang 'Aku juga masih peduli, meski kita tidak bisa bersama'.
Di tengah kunyahannya, Bara menemukan sesuatu di dasar kotak bekal. Sebuah lipatan kertas kecil yang dibungkus plastik agar tidak berminyak.
Bara mengambilnya, membuka lipatannya. Tulisan tangan Kaluna yang rapi menyapanya.
Kursinya terlalu mahal untuk dibilang fasilitas standar, Pak CEO. Jangan boros.
Tapi... punggungku berterima kasih.
Jaga kesehatan lambungmu. Jangan cuma minum kopi.
- K.
Bara tertawa kecil. Tawa yang tulus dan ringan. Secarik kertas kecil itu adalah hal paling membahagiakan yang ia terima dalam sebulan terakhir.
Ia melipat kertas itu kembali, lalu menyimpannya di dompetnya, tepat di selipan terdalam di balik kartu kreditnya—tempat di mana ia dulu menyimpan foto Kaluna.
Gencatan senjata ini mungkin menyakitkan. Mereka mungkin terpisah oleh dinding kaca dan status pertunangan palsu. Tapi setidaknya hari ini, melalui sebuah kursi mahal dan sekotak nasi goreng kampung, mereka tahu bahwa mereka tidak berjuang sendirian.
Rasa cinta itu masih ada, bernapas pelan di antara mereka, menunggu waktu yang tepat untuk kembali membara.
BERSAMBUNG....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️