Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kebersamaan
Mereka satu per satu pun datang ke rumah Arsen tepat pukul tujuh malam. Entah kebetulan atau memang sudah janjian tanpa sadar, ketujuhnya berdiri hampir bersamaan di depan pintu besar rumah Arsen.
“Kok bisa barengan gini ya,” ucap Leo sambil melirik ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang datang belakangan.
Belum sempat ada yang menjawab, Ezra sudah lebih dulu menekan bel rumah dengan penuh semangat. Tak lama kemudian, pintu besar itu terbuka dan seorang pembantu perempuan yang sudah cukup tua muncul sambil menyipitkan mata, mencoba mengenali wajah-wajah di depannya.
“Mau ke den Arsen, bukan?” tanyanya dengan suara agak keras.
“Iya, Bi! Kita mau bakar-bakar,” jawab Ezra tanpa ragu.
“Hah? Mau bakar rumah ini?” suara sang bibi langsung meninggi. “Jangan den, kalau rumah ini dibakar saya kerja di mana?”
Leo refleks menepuk jidatnya sendiri. “Bukan bakar rumah, Bi. Maksudnya bakar sosis sama daging gitu.”
“Ohh…” bibi itu mengangguk pelan. “Bibi kira mau bakar rumah ini.”
Mereka semua langsung tertawa kecil.
“Yaudah masuk sini, nanti bibi panggilin den Arsen,” lanjutnya sambil membuka pintu lebih lebar.
“Makasih, Bi,” ucap Elara sopan.
Mereka pun masuk dan berjalan menuju ruang tengah. Sofa besar di sana perlahan dipenuhi tas-tas belanja berisi camilan, sosis, daging, marshmallow dll, sampai minuman. Ezra bahkan sengaja menumpuk snack-nya sendiri di satu sudut.
“Ini namanya persiapan matang,” katanya bangga.
Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar dari tangga. Arsen muncul dengan kaos hitam dan celana pendek hitam senada. Rambutnya masih sedikit berantakan, seolah baru turun tanpa banyak persiapan.
“Ayo ke belakang rumah,” ucapnya singkat. “Kita siapin panggangannya. Cewek-cewek siapin bumbu aja.”
“Okk,” jawab Elara, Nayomi, dan Keira hampir bersamaan sebelum berjalan ke dapur.
Di dapur, beberapa pembantu langsung menawarkan diri untuk membantu. Elara dengan cekatan mulai mengeluarkan bumbu, sementara Nayomi mencuci bahan dan Keira mengatur piring.
Di halaman belakang, Kairo sudah berdiri di depan panggangan. “Uhuk… berdebu banget ini,” gumamnya sambil batuk kecil.
“Wajar,” jawab Arsen datar sambil mengambil kain lap. “Udah lama panggangan ini nggak dipakai buat bakar-bakar. Keluarga gue sibuk sama urusan masing-masing.”
Nada suaranya terdengar biasa saja, tapi sorot matanya tidak bisa berbohong. Ada kesepian yang singgah sebentar di sana.
Kaizen yang berdiri di sampingnya tak banyak bicara. Ia hanya menepuk punggung Arsen pelan, isyarat sederhana tapi cukup berarti.
“Eh, arangnya tadi mana?” Leo buru-buru mengalihkan suasana.
Mereka mulai membersihkan panggangan bersama. Ezra dan Kairo saling lempar tugas, sementara Kaizen memastikan semuanya siap. Leo yang melihat masih ada debu di atas panggangan refleks meniupnya.
Sialnya, tepat saat itu Ezra sedang membungkuk memasukkan arang.
“Uhuk—uhuk!” Ezra terbatuk keras. Wajahnya yang tadi bersih kini sedikit hitam terkena asap.
“HAHAHAHA!” Kairo langsung tertawa terbahak-bahak. “Muka lo kaya abis perang, Ez!”
Leo sampai harus memegang perutnya sendiri karena tertawa, sementara Nayomi dan Keira yang melihat dari kejauhan ikut cekikikan. Arsen hanya tersenyum tipis, berdiri berdampingan dengan Kaizen.
Beberapa menit kemudian, Nayomi datang membawa nampan berisi sosis dan daging yang sudah dibumbui.
“Ayo, kita mulai bakar-bakarannya!” ucap elara dengan semangat.
Satu per satu bahan mulai dipanggang. Aroma daging bakar perlahan memenuhi halaman belakang. Tawa, obrolan ringan, dan candaan receh terus bersahutan, membuat malam itu terasa hangat—berbeda dari biasanya.
Di balik semua keramaian itu, tak satu pun dari mereka menyadari bahwa malam santai tersebut hanyalah ketenangan sementara. Karena sebentar lagi, hidup mereka akan bergerak ke arah yang tak pernah mereka duga.
★★★
“Ikan lele, kok Lo makan daging punya gue sih?” protes Ezra dengan kesal sambil menunjuk potongan daging di piring Leo. “Kan Lo juga ada bagiannya!”
“Hehehe, maaf gue tergiur sama daging Lo,” jawab Leo sambil tertawa kecil, “tapi tenang, itu daging masih banyak kok, cuman belum dipanggang aja.”
“Gue tau, tapi gue mau sekarang, lapar!” Ezra tetap ngotot sambil menatap piringnya.
Elara yang melihat itu langsung menepuk tangannya ke arah Ezra sambil menyodorkan sepotong daging. “Nih,” ucapnya lembut.
“Makasi, El,” gumam Ezra dengan senyum kecil, lalu langsung menggigit daging itu. Arsen hanya terdiam di sudut, menatap adegan mereka dengan mata setengah tertutup, seolah memikirkan sesuatu. Tak lama kemudian, ia bangkit dan berjalan ke arah panggangan, mengurus beberapa sosis yang belum matang.
Sementara itu, Nayomi dan Keira duduk berdampingan, saling menyuapi satu sama lain dengan penuh tawa. Namun suasana riang itu mendadak kacau ketika Kairo dengan cepat memakan suapan yang nayomi pegang.
“KAIII!!” teriak Keira sambil mengangkat tangannya, kaget dan kesal.
“Hehehe, gue cuman minta dikit,” jawab Kairo polos.
“Tapi kan itu buat gue!” balas Keira, menahan tawa kesal.
“Sini, biar gue suapin Lo,” kata Kairo sambil mencondongkan badan ke Keira.
“Gak mau disuapin cowok kaya Lo,” jawab Keira, sedikit memalingkan wajah.
“Halah, Lo pasti malu-malu kan,” goda Kairo sambil tersenyum lebar.
“Apasih nih cowok, PD banget!” komentar Keira sambil menatap Nayomi, yang sudah ditarik pergi Kaizen ke sisi lain halaman.
“Ckk, gara-gara Lo sih, kan si Yomi pergi,” gumam Keira sambil menghela napas.
“Lohh kok gue?” tanya Kairo bingung, wajahnya masih polos.
Di sisi lain, Elara berjalan perlahan mendekati Arsen yang sedang duduk di bawah pohon, menatap langit malam dan bintang-bintang yang mulai muncul satu per satu. Ia duduk di rumput sebelah Arsen yang menepuk permukaan rumput di sampingnya, memberi isyarat agar Elara duduk lebih dekat.
“Nio,” ucap Elara pelan, mencoba memulai percakapan.
Arsen menoleh, tersenyum tipis, dan mengangguk sambil menepuk rumput di sebelahnya sekali lagi.
“Kamu kenapa sih, akhir-akhir ini banyak ngelamun?” tanya Elara sambil menatap mata Arsen yang teduh.
“Kamu pasti mikirin orang tua kamu, kan?” lanjut Elara pelan, merasakan ada beban yang Arsen bawa sendiri.
“Pliss, lah Nio. Aku kan udah pernah bilang, kamu boleh curhat sama aku sepuasnya,” ujar Elara lagi, suara lembut tapi penuh perhatian.
Arsen hanya menatap mata Elara lebih lama, seolah menahan kata-kata yang ingin keluar. Tanpa peringatan, ia memeluk Elara. Tubuhnya hangat dan kokoh, memberikan rasa aman yang tak bisa dijelaskan. Elara juga merespons, mengusap punggung Arsen pelan, menenangkan perasaan yang tiba-tiba campur aduk dalam dirinya.
“Hiksss…” terdengar lirih dari arsen. Arsen menariknya lebih dekat, menyalurkan ketenangan dan kehangatan melalui pelukan itu.
“Ehh, Nio… kamu nangis,” ucap Elara sambil sedikit mengendurkan pelukannya, ingin menatap wajah Arsen lebih jelas. Namun Arsen memeluknya lagi dengan lebih erat, seakan ingin menahan semua kerisauan itu bersama-sama.
“Biarin gini dulu,” gumam Arsen dengan suara rendah namun tegas. Ada rasa perlindungan yang begitu kuat dari pelukan itu, membuat Elara merasa aman meski hatinya ikut berkecamuk. Ia mengangguk, menyadari bahwa untuk malam ini, cukup untuk hanya duduk di sampingnya, merasakan kehangatan dan ketenangan yang jarang datang.
Di sekitar mereka, tawa dan obrolan teman-teman lainnya masih terdengar, tapi momen itu terasa berbeda. Dunia seakan melambat, dan hanya ada Arsen dan Elara di bawah pohon malam itu. Perlahan, arsen menenangkan napasnya, membiarkan air matanya mengalir, sementara elara tetap memeluknya, diam tapi penuh perhatian.
Malam itu terasa damai, meski di luar rumah masih ada aroma sosis bakar dan tawa teman-teman. Bintang-bintang di langit seakan ikut menyinari momen hangat itu, menandai bahwa di tengah keramaian, ada ruang kecil untuk mereka berdua, berbagi rasa, dan menenangkan hati yang lelah.