Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terjebak dalam Rahasia
Udara di antara mereka menipis, seolah semua oksigen telah tersedot habis oleh ketegangan yang membeku. Wajah Arlan, yang biasanya memancarkan kehangatan dan ketenangan, kini mengeras, rahangnya mengetat, matanya menatap Raya dengan campuran kekecewaan, kemarahan, dan kebingungan yang membakar.
“Ada apa? Apa yang kamu sembunyikan dariku?” Suaranya rendah, menuntut, dan penuh rasa sakit. Formulir pembekuan sperma Damar yang terbuka lebar di tangan Raya kini terasa seperti bara api yang membakar telapak tangannya. Nama Damar Setiawan, tanggal, dan detail medis yang tersamar seolah menari-nari, mengejek, di bawah tatapan tajam Arlan.
Raya merasa jantungnya mencelos ke dasar perut, berdebar kencang seolah ingin melompat keluar dari rongga dadanya. Udara di paru-parunya serasa lenyap, dan tenggorokannya tercekat, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Ia ingin meraih formulir itu, merobeknya, menghapus bukti bisu pengkhianatan kecilnya. Tapi tangannya membeku. Arlan sudah melihatnya. Semuanya hancur.
“Raya!” Arlan melangkah maju, sorot matanya menuntut jawaban. “Apa ini? Kenapa ada nama Damar di sini? Kenapa ada formulir seperti ini di tanganmu?”
Raya mundur selangkah, menabrak meja di belakangnya. Rasa dingin menjalar dari ujung kaki hingga kepala. “Arlan, aku… aku bisa jelaskan. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan,” bisiknya, suaranya serak dan nyaris tak terdengar.
“Tidak seperti yang kupikirkan?” Arlan tertawa, tawa hambar tanpa sedikit pun kebahagiaan. “Lalu seperti apa, Raya? Apakah Damar tiba-tiba kembali dalam hidupmu? Atau… atau ini ada hubungannya dengan Langit? Dengan sakitnya?” Pertanyaan terakhir itu meluncur keluar dengan nada yang lebih tajam, menusuk tepat ke ulu hati Raya.
Seketika, Raya merasakan nyeri yang menusuk. Itu dia. Pemicu utama dari semua kegilaan ini. Langit. Anaknya. Anak yang bukan darah dagingnya, namun telah merebut seluruh jiwanya. Rasa bersalah menghantamnya bertubi-tubi. Bagaimana mungkin ia menjelaskan tanpa merusak segalanya? Bagaimana mungkin ia menjelaskan tanpa menghancurkan hati Arlan?
“Tidak! Tentu saja tidak!” Raya berusaha membantah sekuat tenaga, namun kegelisahan dalam suaranya terlalu kentara. “Ini… ini hanya kebetulan. Aku… aku hanya… aku sedang mencari informasi tentang masa laluku, tentang Damar. Karena… karena kau tahu, aku belum sepenuhnya berdamai dengan masa laluku. Itu saja.”
Arlan menggelengkan kepala, tatapannya tak bergeser sedikit pun dari formulir di tangan Raya. Ia mengulurkan tangan, pelan namun tegas, mengambil kertas itu dari genggaman Raya yang kini lemas. Raya tak berani menolak, membiarkan kertas itu berpindah tangan. Ia menyaksikan Arlan membaca cepat, alisnya bertaut dalam kebingungan yang berubah menjadi kemarahan.
“Pembekuan Sperma? Damar Setiawan?” Arlan membaca keras-keras, seolah setiap kata adalah bara api yang membakar lidahnya. “Raya, ini bukan formulir biasa. Ini data medis. Data pribadi. Bagaimana ini bisa ada padamu? Dan kenapa? Untuk apa kau mencari tahu tentang hal sekrusial ini dari mantan suamimu?”
Raya terdiam. Ia tak bisa mengatakan bahwa ia menemukan formulir ini saat mencari bukti. Bukti bahwa Langit mungkin bukan anaknya. Bukti yang justru menunjuk pada Damar. Bibirnya bergetar. Ia mencoba menyusun kalimat yang masuk akal, yang tidak akan menimbulkan kecurigaan lebih jauh. Tapi otaknya kosong, dipenuhi ketakutan.
“Aku… aku tidak tahu,” Raya akhirnya mengaku, suaranya tercekat. “Aku menemukannya di antara beberapa dokumen lama yang dulu kukira sudah tidak penting. Aku hanya… penasaran. Aku tahu ini salah, Arlan. Aku minta maaf.”
Penyesalan memang nyata dalam suaranya, namun tidak cukup untuk meredakan badai di mata Arlan. “Penasaran?” Arlan mengulangi, sinis. “Penasaran sampai kau menyelidiki hal sepribadi ini tentang pria yang seharusnya sudah tidak ada dalam hidupmu? Sejak kapan, Raya? Sejak kapan kau menyimpan rahasia ini dariku?”
Raya menunduk. Rahasia ini, rahasia tentang Langit, jauh lebih dalam dari sekadar formulir ini. Formulir ini hanya permukaannya, gunung es yang kini menampakkan puncaknya.
“Ini… ini baru-baru ini,” Raya berbohong, memejamkan mata sesaat. “Setelah Langit sakit… Aku hanya merasa… aku tidak tahu. Aku hanya ingin memastikan tidak ada hal buruk yang terlewatkan dari riwayat kesehatan kami. Riwayat Damar, Langit… maaf.” Kata ‘kami’ terasa begitu palsu di lidahnya. Jika saja ia tahu riwayat genetik Langit jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan.
“Langit?” Mata Arlan menyipit. “Jadi ini ada hubungannya dengan Langit? Kau bilang tidak ada.”
“Aku… aku hanya mencoba mencari tahu kemungkinan genetis dari sisi ayah kandungnya, Arlan,” Raya tergagap, menyadari ia telah membuat kesalahan fatal. “Mungkin ada hubungannya dengan Damar, dengan riwayat keluarganya, yang bisa menjelaskan penyakit Langit. Aku panik, Arlan. Aku takut kehilangan dia.”
Ini adalah kebenaran yang setengah-setengah, kebenaran yang dibungkus rapi dengan kepanikan seorang ibu. Setidaknya, itu lebih mudah diterima daripada kebenaran mengerikan bahwa Langit bukan anaknya, dan semua penyelidikannya justru mengarah pada Damar.
Arlan menatapnya tajam, menimbang-nimbang setiap kata yang keluar dari bibir Raya. Rasa sakit di matanya bercampur dengan keraguan yang menusuk. “Jadi, kau diam-diam menyelidiki Damar karena Langit? Kenapa kau tidak memberitahuku? Kenapa kau tidak minta bantuanku? Kita suami istri, Raya. Kita menghadapi ini bersama.”
Air mata Raya mulai menetes. “Aku takut, Arlan. Aku tidak mau membuatmu khawatir. Aku tidak ingin kau merasa tidak berguna. Aku hanya ingin melindungi Langit, melindungi kita.” Bohong. Ia ingin melindungi dirinya sendiri dari kebenaran yang akan menghancurkan hidupnya, dan dari reaksi Arlan yang tak terbayangkan.
Arlan membuang napas kasar, rambutnya ia sisir dengan jari-jarinya. “Melindungi kita dengan menyembunyikan hal sebesar ini? Apakah selama ini kebahagiaan kita hanya topeng bagimu? Apakah kau masih meragukan cintaku pada Langit? Aku ayahnya, Raya. Aku ayahnya, terlepas dari siapa ayah biologisnya, dia anakku!”
Kata-kata ‘ayah biologisnya’ menusuk Raya seperti belati. Arlan tidak tahu seberapa dekat ia dengan kebenaran. Ia hanya tahu ia harus menahannya. Selama mungkin. Demi Langit. Demi Arlan. Demi dirinya.
“Aku tidak pernah meragukanmu, Arlan. Tidak pernah.” Raya melangkah mendekat, mencoba meraih tangan Arlan, namun pria itu menarik tangannya menjauh. Jarak di antara mereka terasa membentang tak terbatas.
“Lalu kenapa, Raya?” Suara Arlan bergetar. “Kenapa kau tidak jujur padaku? Ada apa lagi yang tidak aku ketahui?” Ia menatap formulir itu lagi, lalu kembali menatap Raya, sorot matanya tajam, curiga. “Apa yang sebenarnya kau cari, Raya? Apa yang begitu penting dari Damar sampai kau harus mendapatkan data medisnya? Apa ini ada hubungannya dengan… dengan tes DNA Langit?”
Jantung Raya serasa berhenti berdetak. Tes DNA Langit. Tes DNA rutin yang menjadi awal dari segalanya. Bagaimana mungkin Arlan bisa menebaknya? Apakah ia terlalu transparan? Terlalu gelisah? Atau Arlan memang sudah mulai curiga?
Raya hanya bisa menatap Arlan, wajahnya pucat pasi, bibirnya terkatup rapat. Matanya memohon, memohon Arlan untuk tidak meneruskan pertanyaannya. Tapi Arlan tidak peduli. Api kecurigaan telah menyala, dan kini ia membutuhkan jawaban. Semua jawaban.
“Jawab aku, Raya!” Arlan menuntut, suaranya meninggi, memecah keheningan yang menyesakkan. Ia melangkah maju, memegang kedua bahu Raya, tatapannya menusuk ke dalam jiwanya. “Katakan yang sebenarnya! Apakah kau tahu sesuatu tentang Langit? Sesuatu yang sangat besar? Sesuatu yang membuatmu mencari Damar? Apakah Langit… apakah dia benar-benar anak kita, Raya? Ataukah…?”
Sebelum Arlan menyelesaikan kalimatnya, Raya bisa merasakan dunianya runtuh. Kata-kata itu, pertanyaan-pertanyaan itu, adalah mimpi buruknya yang menjadi kenyataan. Ia tidak bisa menjawab. Ia tidak bisa mengakui. Jika ia melakukannya, semua akan hancur.
“Katakan padaku, Raya!” Arlan mengguncang bahunya pelan, tapi kekuatan di balik matanya begitu dominan. “Katakan yang sebenarnya, sekarang! Atau aku bersumpah, aku akan mencari tahu sendiri. Dan jika aku menemukannya, kau akan sangat menyesalinya.”
Ancaman itu, tatapan itu, janji di mata Arlan… Raya tahu, ia sudah terjebak. Ia harus memilih. Sekarang. Antara mengungkapkan kebenaran yang akan menghancurkan pernikahannya, atau terus berbohong dan mempertaruhkan segalanya.
“Arlan, aku…” Suaranya tercekat. Ia melihat bayangan dirinya sendiri yang penuh keputusasaan di mata Arlan. Ini adalah akhir. Ini adalah awal dari kehancuran yang tak terelakkan.
“Tidak perlu ada ‘Arlan, aku…’ lagi. Cukup jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Apakah kau tahu sesuatu tentang Langit yang tidak aku ketahui? Sesuatu yang membuatmu mencari mantan suamimu?” Pertanyaan Arlan menggantung di udara, membelah mereka, mengoyak hati Raya. Malam itu, bukan hanya rahasia yang terkuak, tapi juga fondasi rumah tangga mereka yang perlahan mulai retak, dengan Langit sebagai pusat gempa yang tak kasat mata.
Raya menatapnya, air mata mengalir deras, namun bibirnya tetap terkunci rapat. Ia tidak bisa berkata ya, karena itu berarti Arlan akan tahu. Ia tidak bisa berkata tidak, karena Arlan tidak akan percaya. Dan di antara semua itu, Langit, putranya, terbaring sakit di kamar, sama sekali tidak menyadari badai yang akan menghancurkan keluarganya.
“Raya, aku bertanya untuk terakhir kalinya.” Suara Arlan kini penuh keputusasaan, lebih dari kemarahan. “Ada apa dengan Langit?”
Raya memejamkan mata, membiarkan air mata membasahi pipinya. Keheningan yang panjang dan menyakitkan menyelimuti mereka, hanya dipecahkan oleh isak tangis Raya yang tertahan. Ia merasa terperangkap dalam jebakan yang ia gali sendiri. Tidak ada jalan keluar.
“Jika kau tidak mau memberitahuku,” Arlan akhirnya berkata, suaranya datar, “maka aku akan mencari tahu sendiri.” Ia melangkah mundur, melepaskan cengkeramannya. Wajahnya kini tanpa ekspresi, seperti topeng. “Dan jika kebenaran itu lebih buruk dari yang bisa kubayangkan, jangan salahkan aku jika… jika aku tidak bisa memaafkanmu, Raya.”
Kalimat itu, dingin dan tajam, menusuk Raya hingga ke tulang. Arlan berbalik, meninggalkan Raya sendirian di tengah ruang tamu yang gelap, ditemani oleh formulir pembekuan sperma Damar yang kini tergeletak di lantai, menjadi saksi bisu kehancuran yang baru saja dimulai. Pintu kamar mereka tertutup dengan bunyi pelan, namun terdengar seperti ledakan di telinga Raya. Ia tahu, mulai saat ini, tidak ada lagi yang sama.
Raya jatuh berlutut, terisak pilu. Langit. Apa yang akan terjadi pada Langit jika kebenaran ini terkuak? Jika Arlan tidak bisa memaafkannya, lalu bagaimana dengan Langit? Rasa takut dan penyesalan meremukkan jiwanya. Ia telah mempertaruhkan segalanya, dan kini, sepertinya ia akan kehilangan semuanya.
Suara langkah kaki Arlan yang menjauh dari kamar mereka, bukan keluar rumah, tetapi mungkin ke ruang kerja, atau ruang tamu lain, meninggalkan Raya sendirian dengan kehampaan yang menganga. Ia merasa terasing, bahkan di rumahnya sendiri. Arlan sudah tahu sebagian, dan ia tidak akan berhenti sampai ia tahu semuanya. Dan ketika itu terjadi, apa yang tersisa dari keluarga kecil mereka?
"Langit..." bisiknya di antara isakan, seolah nama itu adalah jimat terakhir yang bisa ia pegang. Tapi jimat itu pun kini terasa rapuh, terancam hancur oleh kebenaran yang tak terucap.
Ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Melarikan diri? Mengaku? Menunggu kehancuran?
Udara terasa semakin berat, mencekiknya. Raya mengangkat kepalanya, matanya bengkak. Ia harus menyelamatkan Langit. Ia harus menyelamatkan pernikahannya. Tapi bagaimana? Ketika kebenaran itu sendiri adalah bom waktu yang ia genggam erat.
Ia bangkit, kakinya goyah. Ia tidak bisa menyerah. Tidak sekarang. Tapi Arlan… Arlan sudah berada di ambang batas. Dan ia tahu, sekali Arlan memutuskan untuk mencari tahu, tidak ada yang bisa menghentikannya. Bahkan dirinya sendiri.
Apa yang harus ia lakukan? Memberitahu Arlan semuanya sekarang dan menghadapi konsekuensi terburuk? Atau mencoba lagi menyembunyikan, memperpanjang waktu, berharap ada mukjizat?
Pikirannya kalut. Jantungnya bergemuruh. Masa depan terasa buram, dan ia tahu, malam ini hanyalah permulaan.
Ia harus memikirkan Langit. Hanya Langit.
Namun, suara pintu kamar Langit yang sedikit terbuka, memperdengarkan batuk samar dari putranya, justru membuat air mata Raya semakin deras. Bagaimana ia bisa melindungi malaikat kecil itu dari badai yang akan datang? Badai yang ia sendiri picu.
Dan Arlan, suaminya, pria yang mencintainya tanpa syarat, kini menjauh, hatinya terluka. Raya tahu, ia telah kehilangan Arlan malam ini. Dan mungkin, ia akan kehilangan lebih banyak lagi.
Apa yang akan Arlan temukan? Dan ketika ia menemukannya, apakah masih ada harapan untuk mereka?
Kini, Raya hanya bisa menatap pintu kamar yang tertutup itu, seolah di baliknya, takdir telah menunggu untuk terungkap, lebih kejam dan tak terduga dari yang pernah ia bayangkan.
Apakah ia sanggup menghadapi kebenaran yang akan datang?
Ia tidak tahu. Ia hanya tahu satu hal: ia tidak bisa menyerah pada Langit. Tidak akan pernah.
Tapi harga untuk mempertahankan Langit mungkin adalah kehancuran dirinya, dan Arlan.
Pilihan yang kejam. Dan ia harus membuat keputusan. Segera.