Demi biaya pengobatan ibunya, Alisha rela bekerja di klub malam. Namun kepercayaannya dikhianati sang sahabat—ia terjerumus ke sebuah kamar hotel dan bertemu Theodore Smith, cassanova kaya yang mengira malam itu hanya hiburan biasa.
Segalanya berubah ketika Theodore menyadari satu kenyataan yang tak pernah ia duga. Sejak saat itu, Alisha memilih pergi, membawa rahasia besar yang mengikat mereka selamanya.
Ketika takdir mempertemukan kembali, penyesalan, luka, dan perasaan yang tak direncanakan pun muncul.
Akankah cinta lahir dari kesalahan, atau masa lalu justru menghancurkan segalanya?
Benih Sang Cassanova
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu.peri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEPANIKAN ALISHA
Apartemen Alisha, Malam Hari
Suasana makan malam telah usai. Aroma tumisan bibi Martha masih samar memenuhi ruangan, menciptakan kehangatan khas rumah meski mereka tinggal di apartemen kota yang jauh dari kampung halaman.
Alisha sedang berdiri di dapur, menggulung lengan bajunya hingga ke siku. Di hadapannya, piring-piring kotor menumpuk di wastafel. Ia bekerja sama dengan bibi Martha, saling mengoper piring dan gelas, sambil mengobrol ringan.
Sementara itu, Elsa sudah mengunci diri di kamar. Ia rebahan di atas tempat tidur, mengenakan piyama sutra tipis warna biru laut. Di tangannya, ponsel menyala dengan video call terhubung ke kekasihnya yang kini berada di California.
Pintu kamar sedikit terbuka dan sesosok mungil masuk dengan langkah ringan. Thea, dengan piyama kelinci pink-nya yang lucu, naik ke atas tempat tidur dan duduk bersila di samping Elsa.
"Aunty..." panggil Thea, menarik lengan Elsa yang sedang heboh tertawa dengan pasangannya. "Mana janji aunty? Katanya mau ajak Thea ke supermarket. Mau belikan Thea permen yang banyak..."
Elsa masih asyik menatap layar di kamera. Ia hanya mengangkat satu jari ke arah Thea, semacam kode universal orang dewasa: nanti ya.
Thea mengernyit. Wajahnya cemberut. "Huh, orang dewasa memang tidak bisa dipercaya," gumamnya pelan tapi cukup jelas untuk membuat Elsa melirik sejenak.
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Thea turun dari tempat tidur. Ia menyeret kaki kecilnya menuju ruang tengah, mendekati Alisha yang tengah mencuci piring dengan kedua tangan penuh busa.
"Mommy... ayo kita ke supermarket. Thea mau beli permen," ucapnya sambil menarik ujung baju Alisha dengan penuh harap.
Alisha mendongak, tersenyum sabar. "Thea lihat nih, tangan mommy penuh sabun. Ajak aunty saja ya," ucapnya sambil menggoyangkan tangannya yang berbusa.
Thea mendengus kesal sambil melangkah lunglai ke sofa. Ia menjatuhkan tubuh mungilnya ke sana, memangku dagu dengan kedua tangan, dan memandang pintu apartemen yang tertutup rapat.
Ia terdiam beberapa detik. Kemudian perlahan berdiri, berjalan pelan ke arah pintu. Ia mempunyai satu ide.
"Mommy, Thea keluar sebentar ya~" ucapnya pelan, cukup agar terdengar tapi tidak mencolok. Dan sebelum Alisha bisa menjawab, Thea sudah menutup pintu perlahan sambil menahan tawa kecil di balik tangannya.
“Maaf mommy, ~” bisiknya geli.
Gadis kecil itu berjalan ringan ke arah lift. Tangannya menekan tombol dengan semangat. Tak lama, ting, pintu lift terbuka.
Dan di dalamnya—berdiri seorang pria dengan jaket kulit hitam, kaos ketat yang membentuk badannya yang tegap, dan celana jeans hitam. Kedua tangannya masuk dalam saku, dan wajahnya menunduk sedikit, menatap Thea dengan senyum hangat.
Thea menyipitkan matanya. Ia melangkah masuk ke dalam lift sambil mengamati pria itu dari ujung kepala sampai ujung sepatu.
"Apa kau... uncle bau tadi?" tanyanya polos.
Theo—yang kini bersih dan wangi—langsung terkekeh.
"Ya. Tapi sekarang uncle sudah tidak bau lagi," ucapnya bangga, memutar badan memperlihatkan dirinya. "Lihatlah... Uncle tampan dan wangi."
Thea mengangguk puas. Ia lalu bersandar di dinding lift sambil menatap pria itu dengan kepala miring. "Apa uncle masih mencari anak? Thea mau jadi anak uncle"
Theo menatapnya penuh minat. "Benarkah?"
Thea menyeringai lebar. "Ya.. tapi ada syaratnya."
Mata Theo langsung membesar, lalu tawa kecilnya pecah. Ia meraih tubuh kecil itu dan mengangkatnya tinggi sebelum memeluknya penuh sayang.
"Apa syaratnya?" tanyanya sambil menatap wajah Thea dari dekat.
Thea mengangkat satu jari. "Hanya satu syarat... Belikan Thea permen!"
Theo langsung tertawa keras. "Itu sangat mudah. Uncle bahkan bisa membelikan satu toko permen kalau kamu mau!"
Thea langsung menggeleng cepat. "Jangan! Nanti gigi Thea ompong. Kata mommy, makan banyak permen bikin gigi rusak."
Theo terkekeh sambil mengusap kepala Thea penuh sayang. Hatinya mendadak hangat. Gadis kecil ini benar-benar membuatnya ingin menjadi ayah... entah kenapa.
"Baiklah, kita akan membeli satu permen saja," ucap Theo.
"Kenapa satu? Kita harus membelinya empat" tanyanya sambil memiringkan kepala.
"Empat??," Tanya Theo bingung.
"Untuk Thea satu, mommy satu, aunty satu, dan nenek satu," jawab Thea polos.
"Oke. Empat permen. Tapi kamu yang pilih, ya?" katanya lembut.
"Deal!" seru Thea sambil mengepalkan tangan.
Lift berbunyi pelan saat pintu terbuka. Keduanya keluar. Theo menggandeng tangan kecil itu sambil berjalan pelan menuju supermarket di seberang jalan apartemen. Langkah mereka terlihat seperti ayah dan anak kandung—dengan tawa kecil, obrolan lucu, dan cahaya hangat yang muncul di tengah dinginnya malam kota.
Namun, mereka tidak tahu... Jika alisha tengah kelabakan mencari putri kesayangannya.
**
Alisha membuka pintu kamar Elsa dengan sedikit terburu-buru. Matanya langsung menyorot ke arah perempuan yang tengah bersandar santai di kepala tempat tidur, sambil memegang ponsel dan tersenyum-senyum sendiri.
"Elsa, Thea di mana? Katanya dia mau beli permen," tanya Alisha sambil melangkah masuk dan melirik ke sekeliling kamar.
Mendengar nama Thea disebut, wajah Elsa langsung berubah. Ia menepuk dahinya pelan, lalu menatap Alisha dengan mata melebar.
"Astaga! Aku lupa! Aku memang janji mau bawa dia beli permen. Tapi—aku tadi keasyikan ngobrol sama Nolan..."
Elsa menunjuk ponselnya, menyebut nama kekasihnya di California yang rencana akan menyusul.
Alisha memicingkan mata. "Jadi... dia tidak pergi bersamamu?"
Nada suaranya mulai terdengar tegang.
Elsa mengangkat bahu. "Tadi aku lihat dia keluar kamar, tapi aku kira dia menemuimu. Aku bener-bener tidak fokus."
Alisha langsung pucat. Ia berbalik dan melangkah cepat keluar dari kamar. Wajahnya panik. "Ya Tuhan... Thea..."
Bibi Martha yang tadi duduk santai sambil menyeruput teh pun ikut tersentak mendengar suara panik Alisha.
"Ada apa, Nak?" tanyanya cepat.
"Thea hilang, Bi! Aku tidak tahu dia ke mana. Aku pikir dia bersama Elsa, tapi Elsa juga tidak tahu!"
Tanpa pikir panjang, Alisha langsung berlari memeriksa setiap sudut apartemen. Dapur. Balkon kecil. Bahkan di bawah meja makan.
"Thea! Sayang, kamu di mana?" teriaknya dengan suara gemetar.
Bibi Martha pun ikut keliling.
"Yaa ampun... Kemana gadis itu? Jangan-jangan pergi ke luar?"
"Aku cari ke luar, Alish!" seru Elsa penuh rasa bersalah. Ia langsung membuka pintu apartemen dan melangkah terburu-buru. Tapi tubuhnya malah hampir bertabrakan dengan sosok mungil yang baru saja akan masuk.
"Thea!" teriak Elsa saat melihat gadis kecil itu berdiri di ambang pintu.
Di tangannya, tergenggam kantong plastik kecil berisi beberapa permen warna-warni. Wajah polosnya menatap heran pada tiga orang dewasa yang menatapnya seolah ia baru saja kembali dari planet Mars.
"Aunty, kenapa lari-lari? Nanti aunty bisa jatuh," kata Thea dengan santai.
Elsa langsung memeluk pinggang gadis itu. "Astaga Thea! Kamu ke mana saja?! Kami panik mencarimu! Aunty kira kamu hilang!"
Alisha datang dengan mata berkaca-kaca, langsung membungkuk dan mengangkat tubuh Thea ke dalam pelukannya.
"Sayang... Mommy khawatir... jangan pergi sendirian. Kamu kenapa tidak bilang sama mommy"
Thea menatap wajah ibunya yang pucat, lalu tersenyum manis sambil mengacungkan kantong plastik mungilnya.
"Thea beli permen, Mommy... Untuk Thea, mommy, aunty dan nenek, dan Thea juga tidak pergi sendiri, Thea pergi sama uncle bau.. tuh lihatlah.." Ucap Thea sambil menunjuk seorang pria yang sedang berjalan masuk kedalam lift.
Alisha mengerutkan dahinya saat melihat punggung seorang pria yang sedang berjalan menuju lift.
"Alish, sepertinya itu CEO perusahaan tempat kita bekerja, yang aku ceritain tadi." Ucap Elsa ikut melihat punggung pria itu.
"Thea, mommy harap ini yang terakhir. Mommy tidak ingin melihatmu pergi lagi tanpa izin, mommy takut kamu kenapa-napa sayang. Apalagi pergi dengan orang asing. " Alisha mencoba menasehati sang putri.
"Uncle itu tidak jahat mom, dia baik kok, buktinya Thea dibeliin permen," ucap Thea.
"Tetap tidak boleh, apapun alasannya,," tegas Alisha.
"Baik mommy," ucap Thea sambil menunduk.