Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24: Terjebak di Neraka Kegelapan
Udara di loteng yang pengap terasa menipis. Risa hanya punya sepersekian detik untuk bereaksi saat sosok itu menerjang. Bukan sekadar melangkah, tapi melayang, seolah tak terikat gravitasi, dengan kecepatan yang membuat pandangannya kabur. Jeritan itu akhirnya lolos dari tenggorokannya, memecah keheningan yang menyesakkan, berubah menjadi lengkingan horor murni.
Ia tak berpikir, hanya naluri bertahan hidup yang mengambil alih. Tubuhnya otomatis menunduk, berguling ke samping, nyaris menyentuh lantai kayu yang berdebu. Angin dingin dan bau amis seperti tanah kuburan yang baru digali menyapu wajahnya saat sosok itu melesat melewatinya, menabrak tumpukan kotak usang di belakangnya dengan suara gedebuk memuakkan. Debu beterbangan, menyerupai kabut tipis di antara cahaya rembulan yang samar.
"Risa!" Suara Kevin lagi, lebih dekat, lebih putus asa. Risa bisa merasakan getaran langkah kakinya di tangga loteng yang reyot. Apakah ia akan berhasil naik? Atau justru menjadi korban berikutnya?
Sosok hantu itu tidak tinggal diam. Ia berbalik, gerakannya patah-patah seperti boneka yang rusak. Matanya yang cekung menyala merah di kegelapan, terfokus padanya. Senyum miringnya semakin mengerikan, menunjukkan deretan gigi taring yang kini terlihat jelas, berkilauan di bawah rembulan.
"Kau pikir bisa lari, gadis kecil?" Suara serak itu terdengar seperti pecahan kaca, menusuk telinga Risa. "Di sini… tidak ada yang bisa lari." Ia mengangkat tangan kurus keringnya, kuku-kukunya yang panjang mencakar-cakar udara, seolah ingin merobek-robek sesuatu yang tak terlihat.
Risa merasakan jantungnya berpacu gila-gilaan, memompa adrenalin ke seluruh tubuhnya. Ia tahu ia harus bergerak. Cepat. Ia menoleh ke belakang, mencari jalan keluar. Pintu cermin itu… masih terbuka, menyisakan celah sempit ke lorong bawah. Kevin pasti sudah melewatinya.
"Risa! Kamu di mana?!" Kevin berteriak lagi, kali ini suaranya terdengar sangat dekat, di ambang pintu loteng. Sebuah bayangan muncul di sana, siluet Kevin yang buru-buru menaiki anak tangga terakhir. Matanya langsung menemukan Risa, yang masih meringkuk di lantai, dan kemudian… sosok mengerikan di depannya.
Kevin terdiam. Ekspresi skeptisnya lenyap, digantikan kengerian murni. Matanya membelalak, melihat langsung ke arah hantu itu. Risa bisa melihat Kevin menelan ludah, seluruh tubuhnya menegang. Ini bukan lagi soal logika atau ilmiah. Ini adalah… kenyataan yang tak masuk akal.
"Apa… apa itu?" Kevin berbisik, suaranya tercekat. Ia meraih tangan Risa, menariknya untuk berdiri. Tangannya dingin, gemetar. Ia memang cerdas, tapi tak pernah siap untuk ini.
Sosok hantu itu tertawa. Tawa yang kering, seperti ranting patah yang digerus angin. "Oh, ada mangsa baru rupanya. Dua ekor tikus tersesat di sarangku." Ia mengayunkan tangannya, dan kali ini, Risa merasakan hembusan angin yang jauh lebih kuat, disertai bau busuk yang menyengat. Rasanya seperti ada tangan tak kasat mata yang mendorongnya ke belakang. Ia dan Kevin terhuyung.
"Kita harus pergi dari sini!" Kevin menarik Risa dengan sekuat tenaga, berusaha menyeretnya menuju pintu cermin. Namun, hantu itu tidak akan membiarkan mereka begitu saja.
Dengan kecepatan tak terduga, ia melayang ke depan, memotong jalur mereka. Ia kini berdiri di antara mereka dan pintu cermin, senyumnya semakin lebar, semakin jahat. Udara di sekitarnya terasa semakin dingin, seolah semua kehangatan di ruangan itu tersedot habis oleh keberadaannya.
Risa mencengkeram erat liontin bulan sabit di tangannya. Entah mengapa, ia merasa ada sedikit kehangatan yang menjalar dari liontin itu, memberinya kekuatan yang entah datang dari mana. Matanya menatap tajam ke arah hantu itu, sebuah keberanian baru tumbuh di dalam dirinya, bercampur dengan ketakutan yang mencekik. Ini bukan hanya tentang dia. Ini tentang ibunya. Ini tentang Kevin. Ia tidak bisa menyerah begitu saja.
"Kau tidak akan mendapatkan kami!" Risa berteriak, suaranya sedikit gemetar, tapi tegas. Ia tak tahu apa yang membuatnya mengucapkan itu. Mungkin dorongan dari liontin di tangannya, atau mungkin karena tatapan Kevin yang penuh harapan di sampingnya.
Sosok hantu itu tampak terkejut sesaat. Senyumnya sedikit memudar, digantikan ekspresi bingung. "Gadis bodoh… beraninya kau…" Ia menunjuk Risa dengan jari telunjuknya yang kurus. "Kau pikir seuntai kalung murahan itu bisa melindungimu?" Ia kembali tertawa, kali ini lebih mengejek.
Kevin menarik Risa ke belakangnya, menjadi perisai. "Lari, Risa! Aku akan menahan…" Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, hantu itu sudah melesat maju, mengabaikan Kevin, langsung mengincar Risa. Kevin segera merentangkan tangannya, berusaha menghalangi, namun tubuh hantu itu seolah menembusnya, melayang melewatinya begitu saja, tidak terpengaruh oleh sentuhan fisik.
Kevin terhuyung ke belakang, terbatuk, seolah udara di paru-parunya ditarik paksa. Risa melihat kengerian di mata Kevin saat ia berusaha menstabilkan diri, tak berdaya melihat hantu itu melaju ke arahnya.
"Ibumu… mencoba melindungimu, bukan?" suara hantu itu berbisik, tepat di depan wajah Risa, begitu dekat hingga Risa bisa merasakan dinginnya nafasnya yang seperti es. "Tapi dia lemah. Seperti kau. Dan dia sudah mati. Sama sepertimu nanti." Ia mengangkat tangan kirinya, bersiap untuk mencakar wajah Risa.
Pada saat yang genting itu, liontin bulan sabit di tangan Risa tiba-tiba bersinar. Cahayanya redup, namun cukup untuk mengusir kegelapan di sekitar mereka, memancarkan aura lembut berwarna perak. Cahaya itu memancar dari liontin Risa, kemudian terpantul pada cermin besar di ruang tamu yang terlihat dari celah pintu loteng, menciptakan pantulan cahaya yang berkelip-kelip, seolah ada sesuatu yang membangunkan cermin itu.
Sosok hantu itu terkesiap, mundur selangkah. Tangannya yang hampir menyentuh Risa membeku di udara. Matanya yang merah menyala kini tampak lebih panik, menatap liontin itu dengan campuran rasa takut dan marah. "Cahaya itu… Tidak mungkin…" Ia mendesis, suaranya kini terdengar lebih mirip desisan ular daripada bisikan angin.
"Apa yang terjadi?" Kevin, yang sudah mulai pulih, merangkak maju, melihat liontin Risa yang bersinar dan reaksi aneh hantu itu. "Risa, apa yang kamu lakukan?"
Risa sendiri tidak tahu. Ia hanya menggenggam liontin itu erat-erat, seolah mencari kekuatan. Dan kekuatan itu, entah bagaimana, datang. Cahaya dari liontin semakin terang, mengusir bayangan di sekitar mereka, menciptakan lingkaran perlindungan kecil di tengah loteng yang gelap. Hantu itu semakin gelisah, mundur selangkah demi selangkah, menjauh dari cahaya perak itu.
"Kau… anak yang terkutuk!" hantu itu meraung, suaranya kini penuh amarah dan kebencian. "Keturunan wanita itu! Tidak akan kubiarkan kau mengganggu rencanaku! Rencana kami!"
Rencana Bibi Lastri, pikir Risa. Dia tidak salah. Hantu ini memang bersekutu dengan bibinya. Dan ibunya… ibunya pasti tahu sesuatu tentang semua ini. Tentang hantu ini. Tentang cermin itu. Liontin ini… bukan hanya perhiasan biasa.
Cahaya dari liontin memudar perlahan, seiring dengan kepanikan hantu itu yang juga mereda, digantikan oleh tatapan tajam yang penuh ancaman. Namun, ada jeda. Sebuah celah. Kevin menyadari itu. Ia menarik Risa lagi, lebih kuat kali ini. "Sekarang, Risa! Lari!" Ia mendorong Risa menuju pintu cermin yang masih terbuka, tanpa memedulikan dirinya sendiri. Ia tahu, Risa harus keluar dari sini.
Risa sempat melihat hantu itu kembali menatapnya, matanya menyala merah, berjanji akan membalas. Sebuah ancaman yang dingin, membekukan darah. Namun, dorongan Kevin lebih kuat. Risa terhuyung, kakinya melangkah, menuruni anak tangga loteng yang reyot, membiarkan Kevin menutup pintu cermin di belakangnya dengan suara gedebuk yang memekakkan telinga. Ia berlari. Berlari sekencang-kencangnya, menjauhi kegelapan dan kengerian yang baru saja ia saksikan. Namun, di dalam hatinya, ia tahu. Ini belum berakhir. Ia baru saja membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap tidur. Dan entitas itu, dan Bibi Lastri, tidak akan pernah membiarkannya pergi semudah ini. Risa berbalik, ingin memastikan Kevin sudah keluar, namun pintu cermin itu kini tertutup rapat, hanya menyisakan kegelapan yang pekat.
Jantungnya berdebar kencang, rasa panik merayap naik. "Kevin!"